Minggu, 02 Februari 2014

Kejahatan VS Pelanggaran

Dalam menyusun dan merancang peraturan perundang-undangan, khususnya pada bagian ketentuan pidana , terkadang kita kesulitan membedakan tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, secara garis besar perbedaan antara pidana kejahatan dan pidana pelanggaran adalah sebagai berikut



KEJAHATAN
PELANGGARAN
Sifat melawan hukum telah ada sebelum dinyatakan dalam Undang-Undang
Sifat melawan hukum harus dinyatakan oleh Undang-Undang
Sanksi yang dijatuhkan relatif lebih berat
Sanksi yang dijatuhkan relatif lebih ringan
Alternatif perumusan delik lebih komplek, ada beberapa jenis seperti delik  kesengajaan atau kelalaian
Perumusan delik lebih sederhana
Diancam dengan pidana penjara bahkan dengan hukuman mati
Lazimnya tidak diancam dengan pidana penjara tetapi dengan pidana kurungan
Percobaan dan penyertaan kejahatan diancam dengan hukuman
Percobaan dan penyertaan pelanggaran tidak diancam dengan hukuman
Ada delik aduan
Tidak ada delik aduan
Perbarengan kejahatan dengan pidana penjara dapat dikenakan kumulasi terbatas
Perbarengan pelanggaran dengan pidana denda dikenakan kumulasi tidak terbatas
Daluarsa : tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan
Daluarsa : lebih singkat hanya 2 tahun baik untuk penerapan atau pelaksanaan pidana
Aturan residivis lebih umum
Perkara residivis diatur tersendiri
Penyelesaian di luar pengadilan tidak dimungkinkan
Penyelesaian di luar pengadilan dimungkinkan

Mapping the Recognition of the Rights of Child in Indonesian Legislation Perspective


I. Introduction

The belief that children have the same rights as adults -civil and political, social, cultural and economic- was expressed as the Convention on the Rights of the Child (hereinafter the CRC). The CRC offers an ideal context where the relationship between diverse cultural values and ‘oft-stated aspiration’ of the international society is examined to accomplish universal human rights standards.[2] Though it is originated from Western political philosophy, ‘human rights represent a cross-cultural consensus on fundamental human values’. [3]

Being ratified by most states across regions after its adoption by the United Nations General Assembly and entering into international law on 02 September 1990, the CRC is the first binding international human rights instrument incorporating in the same text social, cultural, economic civil and political rights. Due to the specific characteristic compared with human rights (of adults) in general, children’s rights become very significant. Nowadays, Ninety-six percent of the world’s children live in States including Indonesia that have ratified the CRC and are thus legally obligated to protect children’s rights. In fact, those states have different political, economic and social contexts. Ratification of the CRC reflects a global commitment toward the principle of the rights of the child. On 5 September1990, Indonesia ratified the CRC through Presidential Decree No. 36/1990 (Keppres 36/1990). Consequently, it has a domestic legal authority equivalent to a Presidential Decree. The provisions in the CRC for Indonesia are expected to be an incentive for the government to protect and fulfill the rights of children.

Political reform in Indonesia towards a more democratic state in 1998, along with awareness on the significance of respecting human rights, has resulted in a more conducive situation to recognize, respect and fulfill human rights.[4] Legal recognition of human rights including rights of the child is realized through Law No.39/1999 concerning Human Rights. Meanwhile, the constitution reform from 1999 to 2002, amending the 1945 Constitution, to some extent is directed to uphold human rights values as a prerequisite of the democratic state. As a result, the amendment of the constitution apparently recognizes the human rights provisions in a specific chapter.[5] Moreover, the right of every child to live, to grow and develop, as well as the right to be protected from violence and discrimination is constitutionally guaranteed in Article 28B of the Constitution. Since then, all related-child laws are directed to be in line with the constitution as well as the CRC, due to no constitutional barrier to implement the CRC.

Altering Legislative Drafting Styles

 
I. Introduction

Law made simply to communicate what people should or should not do. In general, “the ideal process” of law making is supported with an academic report which is a result of research and study on the urgency of the law, in term of philosophical, juridical and sociological context.  Instead of being a justification for the making law process, an academic report, helps the drafter in directing drafting process. While the political substance determined by the law maker (parliament and government), In the drafting process, a drafter has to write the structure of the law, compose the rules in appropriate sentences; review substantial and technical content and lastly, do legal proofreading to avoid the mistakes of drafting.

There are many different methods of drafting laws; every country has its own style/method/technique/system/way performing the rule to regulate its people. Every style has advantages and disadvantages. In fact, there is growth in the drafting law system as a result of the concern of the quality of legislation according to the ultimate purpose of legislation making, but the major systems that represent the world styles in drafting law are the styles of the common law system and the civil law system. Both styles, which are some lawyers assert the differences and sometimes contrast them with one another, have specific characteristics and similarities. 

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor Perbankan: Perspektif Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (Institutional Relations of the Banking Sector Supervisory: Perspectif of Law on The Financial Services Authority)


Tulisan saya ini dimuat dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012


Abstrak

Lahirnya UU No.12 Tahun 2011 secara nyata merubah konstalasi kewenangan pengawasan di sektor jasa keuangan termasuk perbankan. Peralihan kewenangan pengawasan di sektor perbankan yang semula berada di satu tangan yakni di Bank Indonesia baik pengawasan bidang macroprudential maupun microprudential, berdasarkan UU ini diserahkan kepada OJK. Namun demikian UU ini memberi ruang kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan kewenangan pengawasan yang bersifat macroprudential dengan tetap berkoordinasi dengan OJK. Pengaturan hubungan kelembagaan yang belum secara rinci dan jelas memungkinkan timbulnya multi penafsiran dan berpengaruh pada arah kebijakan peraturan perundang-undangan terkait di sektor perbankan, Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan-peraturan terkait tersebut harus dilakukan dengan juga menghindari konflik kepentingan jangka pendek.

Kata Kunci: Hubungan kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, pengawasan, jasa keuangan, sektor perbankan.

Abstract

Law No 12/2011 has significantly changed and transformed the supervisory authority constellation of financial services sector including banking. It was the single supervisory of central bank both macroprudential dan microprudential supervisions, under the Law No.12/2011, the authority to supervise banking sector that was originally in the hand of Bank Indonesia submitted to The Financial Services Authority (OJK). However, the law gives space to the central bank to implement macroprudential supervisory authority that is fixed in coordination with the OJK. The unclear stipulation of Institutional relations allows the multi-interpretation which will influence the direction of policyof related legislations in the banking sector. Harmonization and synchronization of related regulations should be emphasized, moreover avoiding short-term conflicts of interest.

Keywords: institutional relations, Financial Services Authority, Bank of Indonesia, supervisory, Financial services, banking sector.


I. Pendahuluan

Secara yuridis, Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) sebagai Lembaga Pengawas Jasa Keuangan lahir dari amanat Undang-Undang No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut UU tentang BI), dimana dalam Pasal 34 diamanatkan pengalihan wewenang pengawasan terhadap bank dari Bank Indonesia sebagai pengawas sektor perbankan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dalam penjelasan Pasal 34 disebutkan pula selain pengawasan terhadap sektor perbankan, lembaga pengawas ini akan pula mengawasi sektor jasa keuangan lainya seperti asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Sehingga pengawasan sektor jasa keuangan selain bank yang semula dilakukan antara lain oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) juga beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Prospek Penegakan Hukum di Laut Indonesia Melalui Rancangan Undang-Undang tentang Kelautan

Tulisan ini dimuat dalam Jurnal legislasi Indonesia Vol. 7 No.3 - Oktober 2010

Abstract

The bill of sea consists of various stipulations regarding the complexity of related marine areas. In addition to regulate new provisions in term of the development of the marine sector in Indonesia, in fact the bill is significantly interrelated to the existing laws on the related marine issues. Therefore, the bill should be synchronized with the existing laws to prevent an overlap regulation. The bill furthermore could be a comprehensive law in favor of the law enforcement in the Indonesian sea. Another important aspect is an integrated stipulation regarding authority in support of the law enforcement of the sea considering there many institutions mandated by many laws whose authority to enforce the law in the Indonesian sea.

Keywords: sea, the bill of sea, law enforcement

Abstraksi


Substansi pengaturan dalam RUU tentang Kelautan mencakup berbagai persoalan di bidang kelautan yang sangat kompleks dan terkait dengan berbagai sektor. Selain mengatur hal-hal baru yang membutuhkan pengaturan dalam rangka pembangunan kelautan di Indonesia, RUU ini sangat erat terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang sudah ada. Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan tersebut merupakan hal yang sangat penting dan signifikan guna menghindari tumpang tindih serta menyinegrikan penegakan hukum di laut Indonesia dalam satu peraturan yang komprehensif. Sinergi ini juga harus dilakukan terhadap aspek kelembagaan aparat penegak hukum di laut yang saat ini masih belum terintegrasi antar aparat penegak hukum yang mendapat kewenangan dari berbagai peraturan perundangan lainnya.

Kata kunci: laut, RUU tentang Kelautan, penegakan hukum.

I. Pendahuluan

Indonesia sebagai Negara kepulauan yang dikelilingi lautan dan memiliki perbatasan laut dengan negara-negara tetangga memikul sebuah tugas berat dalam menjaga kedaulatan wilayah laut. Tentu belum hilang dari ingatan kita lepasnya pulau Ligitan dan Sipadan serta memanasnya kasus Ambalat. Kasus terakhir adalah penahanan para petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia oleh Polis Maritim Malaysia yang menggungah kembali kesadaran bangsa Indonesia betapa lemahnya penegakan hukum laut kita.

Pada hakikatnya, ini bukan semata-mata persoalan kedaulatan, karena permasalahan ini terkait dan berkelindan dengan berbagai isu lainnya, isu ekonomi, sosial bahkan politik. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia , sumber daya laut baik hayati maupun non hayati merupakan aset yang sangat berharga dan mengandung potensi ekonomi yang sangat signifikan bagi kesejahteraan masyarakat jika mampu dijaga, dikelola, dan dimanfaatkan secara baik dan bertanggungjawab.


Permasalahan lain yang menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia dalam upaya penegakan hukum di laut adalah tumpang tindih tugas pokok dan fungsi masing-masing aparat penegak hukum di laut. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada pihak penegak hukum yang berbeda-beda dalam menjalankan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia, antara lain Undang-Undang tentang Kepabeanan, Undang-Undang tentang Perikanan, Undang-Undang tentang TNI dan Undang-Undang tentang POLRI. Disharmonisasi ini menimbulkan masalah tersendiri, terutama terkait dengan sejauh mana masing-masing penegak hukum menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945



  UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
PEMBUKAAN
(Preambule)
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. 

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 


UNDANG-UNDANG DASAR
BAB I
BENTUK DAN KEDAULATAN
Pasal 1
(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. ***)
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.***)

BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat , dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.****)
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu Kota Negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.

Rabu, 29 Januari 2014

PERLINDUNGAN HAK REPRODUKSI WANITA: HAMIL, MELAHIRKAN DAN MENYUSUI PERSPEKTIVE PERUNDANG-UNDANGAN (Bag.II-habis)

Lanjutan dari tulisan sebelumnya (Bagian I)

III. Perlindungan terhadap Wanita Hamil dan Menyusui dalam Perspektif Perundang-undangan

Kesehatan merupakan hak dasar semua warga negara, hal ini secara jelas dinyatakan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945. Terkait dengan hak reproduksi wanita yang merupakan hak khusus dikarenakan fungsi reproduksinya, -yang tidak dimiliki laki-laki, Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa ”Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Selanjutnya, ketentuan mengenai hak reproduksi diatur dalam UU HAM. Pasal 49 ayat (2) UU HAM menyatakan bahwa ”Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita”. Penjelasan ayat (2) menjelaskan aspek perlindungan khusus tersebut pada dua hal yakni pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.

Hal ini diperkuat dengan ketentuan pada ayat (3) yang menegaskan bahwa ”Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.” Dengan kata lain, hak reproduksi harus dijamin dan dilindungi, sehingga serta merta melahirkan kewajiban-kewajiban bagi suami, masyarakat, negara, dan pihak terkait lainnya untuk memenuhi hak-hak perlindungan bagi wanita terkait hak reproduksinya tersebut. Di dalam hak perlindungan itulah, hak reproduksi mendapatkan tempatnya. Perlindungan merupakan segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman dan jaminan terhadap hak perempuan dalam segala aspek kehidupan.

PERLINDUNGAN HAK REPRODUKSI WANITA: HAMIL, MELAHIRKAN DAN MENYUSUI PERSPEKTIVE PERUNDANG-UNDANGAN (Bag. I)

Tulisan ini di muat dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7 No.2 Agustus 2010

Oleh:
Khopiatuziadah

Abstract

Indonesian law recognizes the special right of reproductive rights for women especially on pregnancy, childbirth and breastfeeding. The law ensures that women are entitled to special protection in the execution of work or profession to be matters that could threaten the safety and or health related to women's reproductive function, as called reproductive rights. Such rights are entitled to a protection and guarantee by the law. The idea is to enlighten the society that “pregnancy, childbirth and breastfeeding” is not merely a gender issue, it is nation’s issue. The good quality of maternal phase contributes to the excellence of the next generation; it is a real long term investment. Considering the significance of the safety and health of women reproductive rights, there are some laws and its delegated regulations stipulate on how the government and regional government, the company, the medical personnel and the society should fulfill and support the protection toward the reproductive rights of women. Although there is a gap between the existing provisions and the ideal situation, the regulation has been an adequate base for the overwhelming “reproductive rights” protection. The achievement definitely depends on the implementation and the enforcement of laws, therefore the weaknesses of the existing regulation should be a special notice for the amendment of the related laws.

I. Pendahuluan

Pada bulan September 1994, 184 negara berkumpul di Cairo dalam sebuah Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development/ICPD). Konferensi internasional mengenai kependudukan ini memfokuskan kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan sebagai tema sentral dan menyetujui bahwa secara umum akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi harus dapat diwujudkan sampai tahun 2015.

Tantangan yang dihadapi kemudian bagaimana menjamin bahwa kesepakatan tersebut secara penuh dapat diterapkan di masing-masing Negara. Keberhasilan dari kesepakatan tersebut terletak pada komitmen dan sinergi antara para pembuat kebijakan (pemerintah dan legislative), pelaksana program, lembaga donor dan kelompok-kelompok perempuan serta organisasi nonpemerintah lainnya yang memberikan advokasi mengenai hal tersebut. Pemerintah Indonesia sendiri telah mendandatangani kesepatakan dalam konferensi dimaksud, namun komitmen atas pelaksanaanya masih menyisakan banyak catatan dan persoalan.

Annotated Evaluative Bibliographies: on "Legislative Drafting" Topic

Ackerman, Alice B 1997, Drafting Legislative Intent Statement, The Legislative Lawyer, Vol.11 No.1, Winter 1997, pp.1-4. This article mentions clearly 5 guidelines in making legislative intent statements. Drafters should identify carefully the policy of the use of these statements by checking the manual, memoranda, or unwritten procedures for how such statements should be written, then clearly understand the purpose of the statement. The next step is recognizing how the statements are valued in any statutory construction act relevant to the state. Lastly, the drafter should be acquainted with court decisions in the state concerning to legislative intent statements. I obviously agree with the writer’s hope that these guidelines will be valuable for legislative drafters, of course after they adjust to the principle rules of their own state law system.

Campbell, Lisbeth 1996, Legal Drafting Styles: Fuzzy or Fussy?, Murdoch University Journal of Law, Vol.3, No.2, July, pp. 1-7. This article states lucid differences between “fuzzy” and “fussy” law drafting styles. Campbell explains the detailed distinctions of both styles, particularly in a judicial approach of statutory constructions, which are based on two different traditions (civil law and common law). Campbell argues that there are distinctive judicial attitudes, political expectations and legal procedures, which are being a reason behind the divergences. The advantages and disadvantages of both drafting systems are described clearly and smoothly. The author refers to other sources for every single point; therefore this is very helpful for readers who want to do profound research on the same topic. Campbell also presents such interesting discussion on the drafting style transition by considering the accuracy of purpose of law making. There are some possibilities and requirements to alter drafting styles appropriately.