Rabu, 29 Januari 2014

PERLINDUNGAN HAK REPRODUKSI WANITA: HAMIL, MELAHIRKAN DAN MENYUSUI PERSPEKTIVE PERUNDANG-UNDANGAN (Bag.II-habis)

Lanjutan dari tulisan sebelumnya (Bagian I)

III. Perlindungan terhadap Wanita Hamil dan Menyusui dalam Perspektif Perundang-undangan

Kesehatan merupakan hak dasar semua warga negara, hal ini secara jelas dinyatakan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945. Terkait dengan hak reproduksi wanita yang merupakan hak khusus dikarenakan fungsi reproduksinya, -yang tidak dimiliki laki-laki, Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa ”Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Selanjutnya, ketentuan mengenai hak reproduksi diatur dalam UU HAM. Pasal 49 ayat (2) UU HAM menyatakan bahwa ”Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita”. Penjelasan ayat (2) menjelaskan aspek perlindungan khusus tersebut pada dua hal yakni pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.

Hal ini diperkuat dengan ketentuan pada ayat (3) yang menegaskan bahwa ”Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.” Dengan kata lain, hak reproduksi harus dijamin dan dilindungi, sehingga serta merta melahirkan kewajiban-kewajiban bagi suami, masyarakat, negara, dan pihak terkait lainnya untuk memenuhi hak-hak perlindungan bagi wanita terkait hak reproduksinya tersebut. Di dalam hak perlindungan itulah, hak reproduksi mendapatkan tempatnya. Perlindungan merupakan segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman dan jaminan terhadap hak perempuan dalam segala aspek kehidupan.

PERLINDUNGAN HAK REPRODUKSI WANITA: HAMIL, MELAHIRKAN DAN MENYUSUI PERSPEKTIVE PERUNDANG-UNDANGAN (Bag. I)

Tulisan ini di muat dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7 No.2 Agustus 2010

Oleh:
Khopiatuziadah

Abstract

Indonesian law recognizes the special right of reproductive rights for women especially on pregnancy, childbirth and breastfeeding. The law ensures that women are entitled to special protection in the execution of work or profession to be matters that could threaten the safety and or health related to women's reproductive function, as called reproductive rights. Such rights are entitled to a protection and guarantee by the law. The idea is to enlighten the society that “pregnancy, childbirth and breastfeeding” is not merely a gender issue, it is nation’s issue. The good quality of maternal phase contributes to the excellence of the next generation; it is a real long term investment. Considering the significance of the safety and health of women reproductive rights, there are some laws and its delegated regulations stipulate on how the government and regional government, the company, the medical personnel and the society should fulfill and support the protection toward the reproductive rights of women. Although there is a gap between the existing provisions and the ideal situation, the regulation has been an adequate base for the overwhelming “reproductive rights” protection. The achievement definitely depends on the implementation and the enforcement of laws, therefore the weaknesses of the existing regulation should be a special notice for the amendment of the related laws.

I. Pendahuluan

Pada bulan September 1994, 184 negara berkumpul di Cairo dalam sebuah Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development/ICPD). Konferensi internasional mengenai kependudukan ini memfokuskan kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan sebagai tema sentral dan menyetujui bahwa secara umum akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi harus dapat diwujudkan sampai tahun 2015.

Tantangan yang dihadapi kemudian bagaimana menjamin bahwa kesepakatan tersebut secara penuh dapat diterapkan di masing-masing Negara. Keberhasilan dari kesepakatan tersebut terletak pada komitmen dan sinergi antara para pembuat kebijakan (pemerintah dan legislative), pelaksana program, lembaga donor dan kelompok-kelompok perempuan serta organisasi nonpemerintah lainnya yang memberikan advokasi mengenai hal tersebut. Pemerintah Indonesia sendiri telah mendandatangani kesepatakan dalam konferensi dimaksud, namun komitmen atas pelaksanaanya masih menyisakan banyak catatan dan persoalan.

Annotated Evaluative Bibliographies: on "Legislative Drafting" Topic

Ackerman, Alice B 1997, Drafting Legislative Intent Statement, The Legislative Lawyer, Vol.11 No.1, Winter 1997, pp.1-4. This article mentions clearly 5 guidelines in making legislative intent statements. Drafters should identify carefully the policy of the use of these statements by checking the manual, memoranda, or unwritten procedures for how such statements should be written, then clearly understand the purpose of the statement. The next step is recognizing how the statements are valued in any statutory construction act relevant to the state. Lastly, the drafter should be acquainted with court decisions in the state concerning to legislative intent statements. I obviously agree with the writer’s hope that these guidelines will be valuable for legislative drafters, of course after they adjust to the principle rules of their own state law system.

Campbell, Lisbeth 1996, Legal Drafting Styles: Fuzzy or Fussy?, Murdoch University Journal of Law, Vol.3, No.2, July, pp. 1-7. This article states lucid differences between “fuzzy” and “fussy” law drafting styles. Campbell explains the detailed distinctions of both styles, particularly in a judicial approach of statutory constructions, which are based on two different traditions (civil law and common law). Campbell argues that there are distinctive judicial attitudes, political expectations and legal procedures, which are being a reason behind the divergences. The advantages and disadvantages of both drafting systems are described clearly and smoothly. The author refers to other sources for every single point; therefore this is very helpful for readers who want to do profound research on the same topic. Campbell also presents such interesting discussion on the drafting style transition by considering the accuracy of purpose of law making. There are some possibilities and requirements to alter drafting styles appropriately.