Selasa, 19 Mei 2015

Implikasi Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 Terhadap Kewenangan Penanganan Sengketa Perbankan Syariah

Khopiatuziadah[1]
Dimuat dalam Jurnal Perundang-undangan PRODIGY, Vol 2, No.1 Juni 2014
Abstrak
Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 memberikan kewenangan kepada pengadilan di lingkungan peradilan agama sebagai satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur litigasi. Namun demikian putusan tersebut masih meninggalkan catatan terkait dengan dihapuskannya secara keseluruhan penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU tentang Perbankan Syariah yang juga menyebutkan cara-cara penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi, padahal norma Pasal 2 yang membuka peluang penyelesaian sengketa selain di pengadilan pgama tidak dihapuskan. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian karena adanya multi-interpretasi terhadap ketentuan tersebut yang tidak sepenuhnya menuntaskan permasalahan. Bagi pengadilan agama, Putusan MK ini menjadi titik awal bagi terbukanya peluang sekaligus tantangan guna meningkatkan kinerja pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Setidaknya terdapat 3 (tiga) aspek penting yang menjadi peluang dan tantangan yakni, aspek formil, materil dan sumber daya manusia.
Kata kunci: penyelesaian sengketa, perbankan syariah, peradilan agama.

Abstract
Based on decision of The Constitutional Court No. No.93/PUU-X/2012, the religious court is the one and only authority to resolve shari’ah banking dispute case through litigation. However, the decision remains have a problem associated with the elimination of an overall explanation of Article 55 paragraph (2) of the Islamic Banking Act which also mentions other alternative ways of resolving disputes through non-litigation, even though the norms of Article 2 which opens opportunities for dispute resolution other than in the religious court is  not eliminated. This result in uncertainty due to the multi-interpretation of such provisions and doesnot fully resolve the problem. For the religious court, the Constitutional Court Decision is the starting point for opening up opportunities and challenges in order to improve the performance of religious courts in Islamic banking disputes. There are three important aspects namely:  formal, material and human resources.  
Keywords: dispute resolution, shariah banking, the religious court

I. Pendahuluan
A. Latar belakang
Pasal 55 Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU tentang Perbankan Syariah) beserta penjelasannya dinilai mengandung dualisme pengaturan dalam hal penanganan sengketa perbankan syariah. Pasal 55 ayat (1) menyebutkan dengan jelas bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dualisme muncul akibat adanya alternatif pilihan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi pada lembaga peradilan umum.
Pasal 55 ayat (2) menyatakan bahwa ”Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),  penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.” Sedangkan penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyatakan:  “Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Penjelasan ayat (2) huruf a sampai dengan huruf c merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi. Dalam hal ini diberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih jalur non litigasi di luar pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, jika disepakati sejak awal dalam akad perjanjian. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar dalam bidang keperdataan bahwa perjanjian bagi para pihak menyepakatinya merupakan suatu undang-undang yang mengikat. Prinsip yang dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak inilah yang kemudian menjadi dasar dibukanya suatu choice of forum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah. Ketentuan inipun pada dasarnya sejalan dengan beberapa peraturan perundang-undangan terkait lainnya seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU tentang Arbitrase dan APS).

Senin, 18 Mei 2015

Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah: Antara Ada dan Tiada

(Lack of Legal Basis for Regional Owned Enterprise Management)
Khopiatuziadah

dimuat dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.11 No.3 September 2014
Abstrak
Landasan hukum bagi beroperasinya BUMD pada hakikatnya masih merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Undang-Undang yang lahir pada masa demokrasi terpimpin ini belum digantikan hingga hari ini, meskipun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 telah mencabut Undang-Undang tersebut  dengan syarat terdapat pengaturan pengganti terkait BUMD. Ketidakjelasan landasan hukum bagi pengelolaan BUMD terjadi akibat tidak mutakhirnya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan politik dan dinamika legislasi saat ini. Hal ini disadari sepenuhnya oleh Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang dengan memasukkan rencana penggantian terhadap Undang-Undang tersebut dalam Prolegnas dua periode keanggotaan (2004-2009 dan 2010-2014). Namun wacana ini baru dapat diwujudkan pada akhir periode 2014, pun bukan dalam bentuk RUU pengganti namun penyisipan ketentuan mengenai BUMD dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Kata Kunci: perusahaan daerah, badan usaha milik daerah, pemerintah daerah.
Abstract
Legal basis for the regional owned enterprises (as called ROE/BUMD) basically refers to the Law number 5 year 1962 regarding regional enterprise. Until nowadays There is no amandment yet  towards this law that passed during guided democracy regim. In fact, there is the Law number 6 year 1969 which revoked such law with condition that there is an amandemnt and replacement  for ROE regulation. To the lack of a legal basis for the management of ROE is a result of old fashioned the law number 5 year 1962. It is not  in accordance with the political developments and the dynamics of the current legislation. This fact is fully realized by the Government and the House of Representatives as the embodiment of the law, then they insert a replacement plan for the Law in the National Legislation Program within two periods (2004-2009 and 2010-2014). However it can be created recently at the end of the period of 2014. It is actually not an amandment and substitute bill, but insertment of the regulation reganding ROE into the amandemnt of the Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Government.
Keywords:  regional company, regional owned enterprises, local/regional government
A.                Pendahuluan
1.             Latar Belakang
Pengaturan tentang perusahaan daerah yang sering disebut sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), pada hakikatnya masih merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah ( UU tentang Perusahaan Daerah). UU tentang Perusahaan Dearah ini kemudian  dicabut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2901) yang mencabut beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang materi muatannya dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi politik dan hukum itu.