Khopiatuziadah[1]
Dimuat dalam Jurnal Perundang-undangan PRODIGY, Vol 2, No.1 Juni 2014
Abstrak
Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 memberikan
kewenangan kepada pengadilan di lingkungan peradilan agama sebagai satu-satunya
lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur litigasi. Namun
demikian putusan tersebut masih meninggalkan catatan terkait dengan
dihapuskannya secara keseluruhan penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU tentang
Perbankan Syariah yang juga menyebutkan cara-cara penyelesaian sengketa melalui
jalur non litigasi, padahal norma Pasal 2 yang membuka peluang penyelesaian
sengketa selain di pengadilan pgama tidak dihapuskan. Hal ini mengakibatkan
ketidakpastian karena adanya multi-interpretasi terhadap ketentuan tersebut yang
tidak sepenuhnya menuntaskan permasalahan. Bagi pengadilan agama, Putusan MK
ini menjadi titik awal bagi terbukanya peluang sekaligus tantangan guna
meningkatkan kinerja pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah. Setidaknya terdapat 3 (tiga) aspek penting yang menjadi peluang dan
tantangan yakni, aspek formil, materil dan sumber daya manusia.
Kata kunci: penyelesaian sengketa, perbankan
syariah, peradilan agama.
Abstract
Based on decision of The Constitutional Court No.
No.93/PUU-X/2012, the religious court is the one and only authority to resolve shari’ah
banking dispute case through litigation. However, the decision remains have a problem associated with the elimination of an overall explanation of Article 55 paragraph (2) of the Islamic
Banking Act which also mentions other alternative ways of resolving disputes through non-litigation, even though the norms of Article 2 which opens opportunities for dispute resolution other than in the religious court is not eliminated.
This result in uncertainty due to the multi-interpretation of such provisions and doesnot fully resolve
the problem. For the religious court, the Constitutional Court Decision is the starting point for
opening up opportunities and challenges
in order to improve the performance
of religious courts in Islamic banking disputes. There are three important aspects namely: formal, material and human
resources.
Keywords: dispute resolution, shariah banking, the
religious court
I. Pendahuluan
A. Latar belakang
Pasal 55 Undang-Undang No
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU tentang Perbankan Syariah) beserta
penjelasannya dinilai mengandung dualisme pengaturan dalam hal penanganan
sengketa perbankan syariah. Pasal 55 ayat (1) menyebutkan dengan jelas bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dualisme muncul akibat adanya
alternatif pilihan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi pada lembaga
peradilan umum.
Pasal 55 ayat (2) menyatakan
bahwa ”Dalam
hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.” Sedangkan penjelasan Pasal
55 ayat (2) menyatakan: “Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.”
Penjelasan ayat (2) huruf a sampai dengan huruf c
merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi.
Dalam hal ini diberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih jalur non
litigasi di luar pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, jika disepakati
sejak awal dalam akad perjanjian. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar dalam
bidang keperdataan bahwa perjanjian bagi para pihak menyepakatinya merupakan
suatu undang-undang yang mengikat. Prinsip yang dikenal sebagai asas kebebasan
berkontrak inilah yang kemudian menjadi dasar dibukanya suatu choice of forum bagi penyelesaian
sengketa perbankan syariah. Ketentuan inipun pada dasarnya sejalan dengan
beberapa peraturan perundang-undangan terkait lainnya seperti Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU tentang Arbitrase dan
APS).