Selasa, 19 Mei 2015

Implikasi Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 Terhadap Kewenangan Penanganan Sengketa Perbankan Syariah

Khopiatuziadah[1]
Dimuat dalam Jurnal Perundang-undangan PRODIGY, Vol 2, No.1 Juni 2014
Abstrak
Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 memberikan kewenangan kepada pengadilan di lingkungan peradilan agama sebagai satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur litigasi. Namun demikian putusan tersebut masih meninggalkan catatan terkait dengan dihapuskannya secara keseluruhan penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU tentang Perbankan Syariah yang juga menyebutkan cara-cara penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi, padahal norma Pasal 2 yang membuka peluang penyelesaian sengketa selain di pengadilan pgama tidak dihapuskan. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian karena adanya multi-interpretasi terhadap ketentuan tersebut yang tidak sepenuhnya menuntaskan permasalahan. Bagi pengadilan agama, Putusan MK ini menjadi titik awal bagi terbukanya peluang sekaligus tantangan guna meningkatkan kinerja pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Setidaknya terdapat 3 (tiga) aspek penting yang menjadi peluang dan tantangan yakni, aspek formil, materil dan sumber daya manusia.
Kata kunci: penyelesaian sengketa, perbankan syariah, peradilan agama.

Abstract
Based on decision of The Constitutional Court No. No.93/PUU-X/2012, the religious court is the one and only authority to resolve shari’ah banking dispute case through litigation. However, the decision remains have a problem associated with the elimination of an overall explanation of Article 55 paragraph (2) of the Islamic Banking Act which also mentions other alternative ways of resolving disputes through non-litigation, even though the norms of Article 2 which opens opportunities for dispute resolution other than in the religious court is  not eliminated. This result in uncertainty due to the multi-interpretation of such provisions and doesnot fully resolve the problem. For the religious court, the Constitutional Court Decision is the starting point for opening up opportunities and challenges in order to improve the performance of religious courts in Islamic banking disputes. There are three important aspects namely:  formal, material and human resources.  
Keywords: dispute resolution, shariah banking, the religious court

I. Pendahuluan
A. Latar belakang
Pasal 55 Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU tentang Perbankan Syariah) beserta penjelasannya dinilai mengandung dualisme pengaturan dalam hal penanganan sengketa perbankan syariah. Pasal 55 ayat (1) menyebutkan dengan jelas bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dualisme muncul akibat adanya alternatif pilihan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi pada lembaga peradilan umum.
Pasal 55 ayat (2) menyatakan bahwa ”Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),  penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.” Sedangkan penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyatakan:  “Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Penjelasan ayat (2) huruf a sampai dengan huruf c merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi. Dalam hal ini diberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih jalur non litigasi di luar pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, jika disepakati sejak awal dalam akad perjanjian. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar dalam bidang keperdataan bahwa perjanjian bagi para pihak menyepakatinya merupakan suatu undang-undang yang mengikat. Prinsip yang dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak inilah yang kemudian menjadi dasar dibukanya suatu choice of forum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah. Ketentuan inipun pada dasarnya sejalan dengan beberapa peraturan perundang-undangan terkait lainnya seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU tentang Arbitrase dan APS).
Permasalahan yang kemudian diajukan uji materi ke Mahakamah Konstitusi (MK) disebabkan oleh ketentuan huruf d pada penjelasan Pasal 55 ayat (2) yakni penyelesaian melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat disepakati di dalam akad. Setidaknya ada tiga alasan yang menunjukan adanya suatu permasalahan hukum dari penjelasan huruf d tersebut yaitu:[2]
a.        pengelompokkan pengadilan umum dalam penjelasan ini menjadi rancu dan tidak sealur dengan upaya penyelesaian sengketa yang lain yang merupakan upaya penyelesaian sengketa non litigasi sebagaimana upaya musyawarah, mediasi dan arbitrase (huruf a, b, dan c);
b.        penjelasan huruf d dapat ditafsirkan sebagai suatu norma yang mereduksi kewenangan pengadilan di lingkungan peradilan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). Lebih jauh ketentuan ini dianggap bertentangan atau tidak sinkron satu sama lain.; dan
c.         kekhawatiran akan adanya perbedaan atau dualisme pengaturan dan timbulnya ketidakpastian hukum dengan memberikan kewenangan kepada dua lembaga peradilan yang berbeda.
Meskipun pemohon mengajukan uji materiil terhadap Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) secara keseluruhan, namun terhadap Perkara No.93/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk hanya mengabulkan sebagian permohonan, yakni hanya menyatakan penjelasan Pasal 55 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK tersebut bagi Peradilan Agama menjadi suatu titik awal terbukanya peluang sekaligus tantangan terhadap optimlisasi peran peradilan agama bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang semakin menantang dewasa ini. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dinilai sebagai perkembangan perbankan syariah retail terbesar di dunia. Setidaknya ada 5 hal yang menunjukkan posisi tersebut, yakni: keluasan jaringan kelembagaan[3], jumlah nasabah yang besar yang mengakar dari bawah/grasroot, jumlah Dewan Pengawas Syariah (DPS) terbanyak, banyaknya jumlah bankir yang ahli dan tersertifikasi, dan banyaknya jumlah perguruan tinggi yang menyediakan sumber daya manusia bidang perbankan syariah. [4]
B. Permasalahan
Dengan diterbitkanya Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 terdapat beberapa permasalahan yang akan menjadi dasar dalam pembahasan dalam tulisan ini yaitu:
1.        Bagaimana Implikasi Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 terhadap kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah?
2.        Apakah Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 menjadi solusi atas dualisme kewenangan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah?
3.        Sejauh mana kesiapan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama dalam menangani perkara perbankan syariah?
D. Tujuan
          Tulisan ini ditujukan guna mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana implikasi dari Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 terhadap kewenangan penyelesaian sengketa terutama terkait dengan permasalahan dualisme kewenangannya dan sejauh mana kesiapan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama dalam menangani sengketa perbankan syariah.
E. Metode
          Dalam membahas permasalahan dan guna mencapai tujuan dari penulisan, penulis melakukan kajian secara yuridis normatif terhadap berbagai literatur terkait dengan topik utama penulisan yakni seputar sengketa perbankan syariah, kewenangan penyeselaian sengketa dan mengkaji lebih dalam Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012. Penulis juga melihat bagaimana prospek penerapan dari Putusan MK tersebut terutama dikaitkan dengan kesiapan dari pengadilan di lingkungan Peradilan Agama dalam menangani perkara perbankan syariah pasca Putusan MK dimaksud.
II. Pembahasan
A. Kerangka Konseptual
1)   Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
Sengketa perbankan syariah selayaknya sengketa perbankan konvensional merupakan permasalahan yang tak terelakkan dalam kegiatan transaksional perbankan. Praktik perbankan syariah sebagai suatu kegiatan keperdataan memungkinkan timbulnya suatu sengketa antar para pihak. Munculnya sengketa umumnya diakibatkan oleh tindakan wanprestasi dari salah satu pihak. Secara umum sengketa dalam bidang ekonomi syariah dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni:
a.  sengketa antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
b.  sengketa antara sesame lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah; dan
c.  sengketa antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.[5]
Adapun sengketa antara pihak bank syariah dengan nasabah umumnya berangkat dari a). adanya perbedaan penafsiran mengenai akad yang sudah disepakati; b). perselisihan ketika transaksi sudah berjalan; serta c). adanya kerugian yang dialami oleh salah satu pihak sehingga melakukan wanprestasi.[6]
Penyelesaian sengketa antar para pihak dalam kegiatan perbankan syariah pada dasarnya serupa dengan penyelesaian sengketa perbankan konvensional. Namun demikian, mengingat kekhususan sistem yang dianut dalam kegiatan perbankan syariah maka mekanisme penyelesaianya harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Hal ini tentu saja merujuk kepada konsep perjanjian dalam perbankan syariah yang disebut sebagai akad.
Akad merupakan suatu perjanjian yang dilandasi dengan konsensus (kesepakatan) antara dua pihak atau lebih yang mengikat kedua belah pihak tersebut dan menimbulkan akibat hukum bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut serta bagi objek yang diperjanjikannya. Dalam UU tentang Perbankan Syariah, akad didefinisikan sebagai kesepakatan tertulis antara bank syariah atau unit usaha syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah (Pasal 1 angka 13).
Akad dalam kajian hukum perdata sering dipersamakan dengan perikatan atau perjanjian dan pengaturannya terdapat dalam Buku III KUHPer mengenai perikatan. Dalam Pasal 1313 KUHPer perjanjian mempunyai definisi: “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.[7] Hal ini dapat dilihat dari asas-asas yang mendasari akad dan perjanjian. Beberapa asas yang mendasari suatu akad yang disepakati oleh banyak ahli hukum Islam yaitu:[8] asas kebebasan berkontrak (al Hurriyah)[9], asas persamaan atau kesetaraan (al Musawah/taswiyah)[10], asas keadilan (al-Adalah)[11], asas kerelaan (al Ridha/ikhtiyari)[12], asas kejujuran dan kebenaran (ash Sidq)[13], asas tertulis (al kitabah).[14]
Sebagai perbandingan, asas yang mendasari suatu perjanjian antara lain: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas mengikatnya suatu perjanjian (pacta sunt servanda), asas iktikad baik, dan asas kepribadian.[15]
Secara garis besar tampak adanya kesamaan asas yang mendasari suatu akad dan perjanjian, misalnya asas kebebasan berkontrak dengan asas al hurriyah, kemudian asas konsensualisme dengan asas al Ridha dan asas pacta sunservanda yang maknanya terkandung dalam pengertian akad itu sendiri. Salah satu hal yang sangat mendasar baik dalam konsep akad (maupun perjanjian) sebagaimana tercermin dalam asas al hurriyah atau asas kebebasan berkontrak adalah bahwa para pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian (freedom of making contract), baik dalam menentukan yang diperjanjikan (objek perjanjian) maupun menentukan syarat-syaratnya termasuk menentukan cara-cara penyelesaian jika terjadi sengketa. Kebebasan menentukan persyaratan ini dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini diperkuat dengan asas al musawah/taswiyah yakni pada saat para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing, harus didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan, termasuk dalam menentukan penyelesaian sengketa.
Berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak dan kesetaraan inilah, lahirnya suatu kebebasan untuk memilih media penyelesaian bagi para pihak jika di kemudian hari terjadi sengketa antar keduanya selama kesepakatan ini dimuat di dalam akad. Persyaratan berikutnya setelah adanya kebolehan atau kebebasan dalam membuat isi kesepakatan dalam akad adalah bahwa isi kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Hal ini senada dengan pengaturan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka (para pihak) yang membuatnya,[16] sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[17]
Pasal 55 ayat (2) dan (3) Undang-Undang tentang Perbankan Syariah sesungguhnya didasari oleh adanya pemahaman akan asas al hurriyah atau asas kebebasan berkontrak, sehingga Pasal ini kemudian memberikan alternatif pilihan penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan para pihak pada saat menyepakati akad perjanjian dan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Penjelasan dari ayat (2) lebih lanjut merinci media atau sarana apa saja yang dimungkinkan untuk dipilih oleh para pihak baik melalui jalur litigasi maupun non litigas meliputi a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Basyarnas atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pilihan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi bagi perkara perdata telah lama dipraktikkan. Secara yuridis, praktik ini telah mendapatkan legalitas dengan diundangkannya UU tentang Arbitrase dan APS. Selain itu, jalur non litigasi pada hakikatnya mengedepankan nilai-nilai dalam ajaran Islam bahwa jika terjadi sengketa dalam kegiatan fiqh muamalah, penyelesaian secara damai merupakan sebaik-baik jalan yang dipilih.  Hal ini sejalan dengan fatwa DSN Nomor 04/DSN MUI/IV/2000, penyelesaian yang dilakukan seyogyanya melalui jalur musyawarah untuk mufakat. 
2)   Pilihan Hukum dan Forum dalam Penyelesaian Sengketa
Dalam kajian hukum bisnis, dikenal dua pembedaan dalam mekanisme penyelesaian sengketa, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan dengan menggunakan pendekatan hukum melalui aparat atau lembaga penegak hukum yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, jalu litigasi merupakan upaya terakhir manakala penyelesaian sengketa secara kekeluargaan atau perdamaian di luar pengadilan ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan keluar.
Sebaliknya penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi adalah mekanisme penyelsaian sengketa di luar pengadilan. Pada umumnya ia menggunakan mekanisme yang hidup dalam masyarakat yang bentuk dan macamnya sangat bervariasi seperti cara musyawarah, perdamaian, kekeluargaan, penyelesaian adat dan lain sebagainya. Salah satu cara yang sekarang sedang berkembang dan diminati adalah melalui lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (APS)/Alternative Dispute Resolution (ADR). [18]Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam UU tentang Arbitrase dan APS.
Penyelesaian sengketa juga kerap dibedakan antara yang menetapkan bahwa yang satu benar, sehingga harus menang dan yang lain salah, sehingga harus kalah (win-loose solution) dengan yang menerapkan prinsip semua pihak benar dan menang, dalam artian bahwa semua pihak juga ada salahnya (win-win solution). Jenis penyelesaian sengketa yang pertama dikenal dengan istilah adjudikatif, sementara yang kedua dikenal dengan istilah konsesnus atau kompromi. Mekanisme penyelesaian sengketa secara adjudikatif ditandai dengan kewenangan pengambilan keputusan oleh pihak ketiga dalam sengketa yang berlangsung di antara para pihak. Pihak ketiga ini dapat bersifat sukarela (voluntary) atau tidak sukarela (involuntary).[19]
Penyelesaian secara adjudikatif dibedakan menjadi dua, yaitu adjudikatif publik dan adjudikatif privat. Adjudikatif publik dilakukan melalui institusi pengadilan negara (litigasi). Pihak ketiga dalam hal ini bersifat involuntary, karena hakimnya sudah disiapkan oleh pengadilan dan para pihak tidak bisa memilih dan menentukan sendiri hakimnya. Sedangkan adjudikatif privat dilakukan melalui arbitrase. Pihak ketiga bersifat voluntary, apabila arbiter dapat dipilih dan ditentukan sendiri oleh pihak yang bersengketa. Lembaga arbitrase dapat dikatakan sebagai tingkat atau prosedur penyelesaian tertinggi dari pelbagai mekanisme penyelesaian perkara di pengadilan. Sebaliknya mekanisme penyelesaian sengketa secara konsensus ditandai dengan cara penyelesaian sengketa secara kooperatif/kompromi untuk mencapai solusi yang bersifat win-win solution. Kehadiran pihak ketiga, kalaupun ada, tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. Termasuk dalam kategori ini adalah negosiasi , mediasi dan konsiliasi.[20]
Selain itu, ada dua cara menentukan pilihan di mana sengketa akan diselesaikan berdasar belum atau sudah terjadinya sengketa, yaitu melalui factum de compromittendo dan acta compromittendo. factum de compromittendo merupakan kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai domisili hukum yang akan dipilih jika terjadi sengketa dan biasanya dicantumkan dalam kontrak atau akad sebagai klausula antisipatif guna mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi selama berlangsungnya suatu kontrak. Sedangkan acta compromittendo merupakan suatu perjanjian tersendiri yang dibuat setelah terjadinya sengketa. Namun pilihan tempat penyelesaian lebih mengarah pada wilayah yurisdiksi pengadilan dalam satu lingkungan peradilan, bukan terhadap peradilan di lingkungan yang berbeda.[21]
Terkait dengan Pasal 55 UU tentang Perbankan Syariah yang mengenalkan adanya choice of forum, terdapat beberapa pendapat mengenai hal tersebut. Bagir Manan menyebutkan bahwa ada beberapa argumentasi yang membenarkan choice of forum. Pertama, berdasarkan prinsip, hukum perjanjian adalah hukum yang bersifat terbuka, artinya pihak-pihak dapat menentukan dengan bebas (freedom of contract) mengenai isi perjanjian dan cara penyelesaian sengketa. Prinsip ini sejalan dengan asas-asas yang mendasari suatu akad/perjanjian seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya.  Kedua, pendapat yang menyebutkan bahwa UU tentang Perbankan dianggap telah mengubah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (UU tentang Peradilan Agama) berdasarkan asas hukum lex posteriori derogat legi priori. Asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama.[22]
Namun demikian dalam pandangan Bagir Manan, kedua argumen tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan dalam kasus penyelesaian sengketa perbankan syariah. Terkait asas kebebasan berkontrak, beliau berpendapat dalam kasus ini yang belaku adalah choice of law bukan choice of forum. Ketika para pihak (bank syariah dan nasabah, - muslim maupun non muslim) bersepakat terhadap suatu perjanjian perbankan syariah maka seharusnya kedua pihak tunduk pada asas dan kaidah hukum syariah, dimana kedua belah pihak sepakat untuk memilih hukum syariah (choice of law) bukan memilih forum.[23]
Choice of forum ditentukan oleh choice of law, yaitu jika disepakati untuk tidak menggunakan lembaga yang menerapkan asas dan kaidah hukum syariah, maka yang bersangkutan bukan saja boleh melainkan wajib membawa sengketa ke peradilan umum dan peradilan agama tidak berwenang mengadili sengketa tersebut. Demikian pula jika yang terjadi sebaliknya, saat memilih untuk melakukan perjanjian dengan lembaga yang menerapkan asas dan kaidah hukum syariah maka yang bersangkutan secara suka rela menundukkan diri pada kaidah hukum syariah, yang berdasarkan UU tentang Peradilan Agama menjadi kewenangan peradilan agama. [24] 
Menurut Bagir Manan, terkait dengan kompetensi absolut dari lembaga peradilan, bukan forum yang melahirkan kompetensi absolut melainkan hukum substantif yang (akan) diserahkan dan subjek yang akan menjadi pihak dalam sengketa atau perkara. Adanya dua atau lebih forum tidak serta merta menghilangkan kompetensi absolut. Karena kompetensi absolut merupakan wewenang yang berkaitan dengan hukum substantif atau hukum materiil yang ditegakkan. Walaupun hukum substantif yang ditegakkan sama, masing-masing mempunyai kompetensi absolut. Namun demikian kondisi ini menyebabkan terjadinya concurrent authority (kekuasaan bersama) yang dapat menimbulkan sengketa antar-wewenang (dispute authority). [25]
Perkara ekonomi syariah mengandung makna menerapkan hukum substantif dan prosedural yang sama dan berlaku bagi setiap orang tanpa memandang perbedaan agama. Dengan demikian tidak semestinya ada forum yang berbeda yang bebas dipilih (choice of forum) oleh yang mengajukan sengketa. Suatu pilihan yang opportunistic bukan saja akan menimbulkan disparitas dan ketidak pastian hukum bahkan lebih jauh menimbulkan kekacauan hukum (legal disorder).[26]
Sementara jika menggunakan asas hukum lex posteriori derogat legi priori, Bagir Manan menilai tidak dapat diberlakukan dalam hubungan dengan kompetensi peradilan agama menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menggunakan asas tersebut adalah dua aturan dimaksud berada dalam suatu regim hukum yang sama. UU tentang Perbankan Syariah dan UU tentang Peradilan Agama berada di wilayah/regim yang berbeda sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa UU tentang Perbankan Syariah mengesampingkan UU tentang Peradilan Agama terkait kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah.[27]
3)   Kewenangan  Peradilan Agama
Sebelum diubah dengan UU tentang Peradilan Agama pada tahun 2006, kewenangan dan kompetensi Peradilan agama hanya berwenang memeriksa perkara perdata tertentu di bidang perkawinan, wasiat dan hibah, wakaf dan shadaqoh.[28] Beberapa ketentuan dalam UU tentang Peradilan Agama kemudian memperluas kewenangan peradilan agama antara lain dalam Pasal 2 dan Pasal 49 serta penegasan dalam penjelasan umum.
Kata “perdata” dalam Pasal 2 dihilangkan, sehingga secara keseluruhan pasal 2 berbunyi: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.“ Sedangkan pasal 49 ayat (1) diubah sehingga berbunyi:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:  a. perkawinan;  b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.” [29]
Adapun dalam penjelasan umum disebutkan bahwa:
“Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari’ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus. “
Selanjutnya Dalam Penjelasan Pasal 49 dinyatakan bahwa “Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang  perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya.” Sedangkan penjelasan frasa “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini. Batasan ekonomi syariah dalam Pasal 49 meliputi perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain:[30]
a. bank syari’ah; b. lembaga keuangan mikro syari’ah; c. asuransi syari’ah; d. reasuransi syari’ah; e. reksa dana syari’ah; f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g. sekuritas syari’ah; h. pembiayaan syari’ah; i. pegadaian syari’ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k. bisnis syari’ah.
Berdasarkan penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau unit usaha syariah dari bank konvensional terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Ketentuan dalam UU tentang Peradilan Agama ini selaras dengan ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU tentang Perbankan Syariah yang secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
Kewenangan pengadilan agama terhadap penyelesaian sengketa perdata di perbankan syariah juga meliputi putusan arbitrase syariah terutama putusan dari Basyarnas dalam hal para pihak tidak mau melaksanakan putusan arbitrase syariah secara suka rela.  Mengingat Basyarnas tidak mempunyai kewenangan untuk menjalankan atau mengeksekusi putusannya sendiri maka putusan arbitrase syariah tersebut akan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan agama atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.[31] Akan tetapi jangkauan kewenangan peradilan agama tidak dapat menjangkau klausula arbitrase dari badan arbitrase umum yang menurut  UU tentang Arbitrase dan APS menjadi kewenangan peradilan umum.
B. Implikasi Putusan MK Perkara No.93/PUU-X/2012 terhadap Kewenangan Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama  dalam penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 yang diketuk pada tanggal 29 Agustus 2013 menjadi babak baru bagi penanganan sengketa perbankan syariah. Sebelum adanya putusan MK yang menganulir penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU tentang Perbankan Syariah, penanganan sengketa ekonomi syariah secara litigasi di pengadilan masih menjadi polemik. Dualisme penanganan perkara antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama masih terjadi akibat tersedianya peluang choice of forum dalam Undang-Undang dimaksud. Beberapa pertimbangan MK dalam Putusannya antara lain:
a.     Pilihan forum hukum sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU tentang Perbankan Syariah dalam beberapa kasus konkret telah membuka ruang adanya pilihan forum penyelesaian yang juga telah menimbulkan adanya persoalan konstitusionalitas yang pada akhirnya dapat memunculkan adanya ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan kerugian bukan hanya bagi nasabah tetapi juga pihak Unit Usaha Syariah. Adanya pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah sebagaimana tersebut pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sedangkan dalam UU tentang Peradilan Agama secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah termasuk juga sengketa ekonomi syariah.[32]
b.     Dengan merujuk sengketa yang dialami oleh Pemohon dan praktik dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, menurut MK, hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi nasabah dan juga unit usaha syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Apabila kepastian dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak dapat diwujudkan oleh lembaga yang benar-benar kompeten menangani sengketa perbankan syariah, maka pada akhirnya kepastian hokum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juga tidak akan pernah terwujud.
c.     Mahkamah juga menilai adalah hak nasabah dan juga unit usaha syariah untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah menilai ketentuan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak memberi kepastian hukum.  Walaupun MK  tidak mengadili perkara konkrit, telah cukup bukti bahwa ketentuan Penjelasan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah [vide Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945] yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi;[33]
Dalam amar putusannya, MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian yakni menyatakan penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[34] Terhadap putusan MK, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi memiliki alasan berbeda (concurring opinion) dan Hakim Konstitusi Muhammad Alim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).[35]
Inti dari Putusan MK dimaksud adalah menghapus penjelasan dari Pasal 55 ayat (2) UU tentang Perbankan Syariah. Dengan pertimbangan sebagaimana dijelaskan diatas, MK menilai dihapuskannya penjelasan pasal 55 ayat (2) tersebut akan menjawab ketidakpastian hukum yang dihadapi Pemohon. Namun demikian pertimbangan MK yang sangat sederhana tersebut nampaknya tidak sepenuhnya menjawab persoalan yang ada. Di satu sisi, dengan dihapuskannya penjelasan Pasal 55 ayat (2) secara keseluruhan, maka dapat dipastikan bahwa penanganan sengketa perbankan syariah melalui jalur litigasi hanya dapat dilakukan di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Sampai pada poin ini, maka dualisme kelembagaan peradilan yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa perbankan syariah berakhir sudah. Babak baru telah dibuka, Peradilan agama menjadi satu-satunya lembaga di lingkungan yudikatif yang memiliki kewenangan tersebut, sejalan dengan ketentuan dalam UU tentang Peradilan Agama.
Namun persoalannya kemudian adalah adanya interpresi lebih lanjut dari implikasi putusan MK tersebut menimbulkan beberapa potensi masalah di antaranya, pertama; dengan dihapuskannya penjelasan Pasal 55 ayat (2) secara keseluruhan dapat diartikan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi seperti melalui musyawarah, mediasi perbankan dan Basyarnas atau lembaga arbitrase lainnya juga tidak dimungkinkan sebagaimana melalui jalur litigasi di pengadilan negeri.  Yang artinya hanya ada satu cara dan satu lembaga yang berwenang dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, yakni melalui jalur litigasi di peradilan agama. Sementara norma ayat (2) yang membuka alternatif penyelesaian sengketa sesuai akad para pihak tidak dihapuskan oleh MK. Sebagaimana diketahui norma ayat (2) ini sejalan dengan asas kebebasan berkontrak.
Kedua, dihapuskannya penjelasan pasal 55 ayat (2) saja tanpa menghapuskan ayat (2) apakah menjawab persoalan dibukanya alternatif penyelesaian sengketa di luar ketentuan ayat (1)? Jika Pasal 55 dibaca secara keseluruhan dan runut maka setelah penjelasan pasal 55 ayat (2) dihapus sekalipun, Pasal ini tetap membuka kemungkinan adanya penyelesaian sengketa selain di pengadilan agama selama para pihak menyepakati dalam akad dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Ketiga, dihapuskannya penjelasan pasal 55 ayat (2) secara keseluruhan dapat menimbulkan pemaknaan bahwa ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),  penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad”  tetap memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa selain di pengadilan agama yang justru pilihannya lebih luas dan tidak dibatasi sebagaimana sebelumnya dibatasi dengan penjelasan ayat tersebut. Secara normatif ketiga pemahaman tersebut sangat mungkin terjadi, sehingga tujuan Putusan MK untuk menghapuskan ketidakpastian hukum tidak terpenuhi.
Dalam pandangan penulis, ketiga persoalan multi-interpretasi diatas dapat dihindari jika MK hanya memutuskan untuk menghapus norma yang menimbulkan dualisme kewenangan lembaga peradilan saja, yakni penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d. Hal ini sejalan pula dengan pokok permohonan dari pemohon. Timbulnya dualisme yang kemudian menimbulkan permasalahan ketidakpastian hukum adalah adanya norma penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d tersebut. Sedangkan penjelasan huruf a – c yang merupakan media/sarana dari alternatif penyelesaian sengketa non litigasi seharusnya masih relevan untuk dinormakan jika ketentuan ayat (2) tidak dihapuskan. Hal ini sejalan dengan asas kebebasan berkontrak dan dengan UU tentang Arbitrase dan APS.
Tampaknya MK dalam hal ini tidak melakukan pengkajian secara teliti dalam memutuskan perkara dimaksud, selain putusan menimbulkan implikasi multi-interpretasi yang pada akhirnya (kembali) bermuaranya pada adanya ketidakpastian hukum. Putusan MK tidak memperhatikan bagian lain dari UU tentang Perbankan Syariah yang terkait dengan ketentuan yang dihapus tersebut. Dalam penjelasan umum UU tentang perbankan syariah masih disebutkan bahwa:
“...Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak.

Meskipun ketentuan ini terdapat dalam penjelasan umum, namun jika ketentuan ini tidak turut dihapus maka justru menimbulkan inkonsistensi dalam UU ini. Kealpaan atau entah kesengajaan ini seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi MK dalam memutuskan suatu perkara.
C. Peluang dan Tantangan Pengadilan di Peradilan Agama Pasca Putusan MK
Putusan MK No. 93/PUU-X/2012 telah menyerahkan sepenuhnya kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah dan sengketa ekonomi syariah lainnya pada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Selanjutnya siapkah Peradilan Agama menjalankan perannya di tengah kompleksitas sengketa perekonomian syariah yang semakin menantang? Peran optimal Peradilan Agama itu paling tidak harus diwujudkan dalam dua hal. Pertama, memberikan keadilan bagi para pihak yang bersengketa sehingga mereka merasa puas dengan putusan yang dihasilkan. Kedua, memberikan sumbangsih positif bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia yang kini, menurut Adiwarman A. Karim, sudah menjelma menjadi ‘The Biggest Islamic Retail Banking in the World’. Butuh waktu untuk membuktikan peran itu mengingat kewenangan penanganan sengketa ekonomi syariah ini terhitung masih relatif baru diberikan oleh negara.[36]
Sementara ini paling tidak ada tiga kritik yang mengemuka terkait penanganan sengketa ekonomi syariah di peradilan agama. Pertama, perbankan syariah enggan membawa sengketanya ke pengadilan agama karena mereka seringkali dikalahkan dalam putusan akhir. Kedua, masih kuatnya keraguan pihak perbankan terkait dengan kekuatan eksekutorial (pelaksanaan) dari putusan pengadilan agama dalam sengketa ekonomi syariah.[37] Ketiga, hakim peradilanaAgama selama ini hampir secara ekslusif hanya menangani perkara hukum keluarga. Hakim Peradilan Agama cenderung lambat dalam menggali permasalahan seputar ekonomi syariah yang secara teknis begitu kompleks dan menantang.[38]
Menyikapi adanya peluang dan tantangan tersebut peradilan agama tentunya harus merespon secara positif dan melakukan berbagai usaha guna mengantisipasi permasalahan terkait dengan pemberian kewenangan penuh untuk menyelesakan sengketa perbankan syariah kepada lembaga pengadilan di lingkungan peradilan agama. Ada tiga aspek penting yang menjadi catatan bagi kesiapan peradilan agama menangani sengketa perbankan syariah yakni aspek formil dan materiil, serta aspek sumberdaya manusia.
C.1. Aspek Formil dan Materil
Menyikapi kewenangan yang diberikan oleh UU tentang Peradilan Agama, Mahkamah Agung membentuk tim untuk menyusun perangkat hukum materiil dan formil sebagai landasan hukum mengadili sengketa. Ketua MA yang ketika itu dijabat oleh Bagir Manan, mengeluarkan surat keputusan Nomor: KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober 2006 tentang pembentukan Tim Penyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Tim tersebut bertugas menghimpun dan mengolah materi yang relevan, menyusun draf naskah KHES, menyelenggarakan seminar yang mengkaji draf naskah dengan melibatkan unsur lembaga, ulama dan pakar ekonomi syariah.[39]. Tahun 2008, diterbitkanlah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008 tentang KHES sebagai pedoman dan landasan hukum bagi hakim peradilan agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. [40]

Sampai tahun 2013 terdapat 15 perkara di bidang ekonomi syariah  yang diputuskan oleh pengadilan agama.  Sejauh ini KHES telah menjadi rujukan bagi pertimbangan hukum para hakim agama yang menangani sengketa tersebut, meskipun jumlah perkara yang diadili di pengadilan agama masih sangat minim dibandingkan jumlah perkara secara keseluruhan. Selain KHES, fatwa DSN menjadi salah satu dasar pertimbangan para hakim.
Pembentukan KHES disadari masih meninggalkan beberapa yang harus disikapi guna memperkuat kedudukan dari KHES. KHES sebagai pedoman prinsip syariah bagi hakim pengadilanpAgama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah diterbitkan dalam bentuk PERMA. Hal ini untuk mengisi kekurangan atau kekosongan undang-undang dalam menjalankan praktik peradilan dan untuk menghindari disparitas dalam memberikan keadilan yang menyebabkan kepastian hukum tidak terwujud.
Meskipun dari sisi hirakhi peraturan perundang-undangan, PERMA merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum imperatif,[41] selayaknya peningkatan instrumen hukum dari PERMA kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat diupayakan lebih lanjut guna kepastian hukum. Wacana ini hakikatnya tidak semata-mata bagi KHES tapi juga bagi KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang menjadi dasar atau pedoman bagi hakim pengadilan agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan kewenangan Peradilan Agama yang lain seperti nikah, talak, waris, wasiat, hibah.
Catatan lain dari sisi materi, bahasa, maupun penyusunan muncul dari kalangan akademisi. Abdul Mughits[42] misalnya menyampaikan beberapa catatan, antara lain: Pertama, KHES lebih banyak menyebutkan kaidah-kaidah fiqhiyyah dalam satu rangkaian yang belum diklasifikasikan jenis, cakupan dan fungsinya. Kaidah-kaidah tersebut dibutuhkan sebagai landasan filosofis. Hal ini akan membuat kesimpangsiuran dalam penerapannya, mengingat masih banyak ikhtilaf dalam hukum mu’amalat di kalangan ulama. Kedua, KHES belum menyebutkan sub-sub topik penting dalam akad dan masih terlalu global. Hal itu menimbulkan masalah ketika muncul perkara yang tidak terakomodasi dalam KHES, sehingga penafsiran hakim yang “dipaksakan” cenderung akan menimbulkan masalah lain, yaitu rasa keadilan para pihak.

Ketiga, masalah qardh dan zakat. Dalam akad qardh tidak disinggung tentang status hukum riba, tetapi disebutkan bahwa biaya administrasi dalam akad qardh dibebankan kepada nasabah, dengan tanpa diberi batasan. Hal itu akan menimbulkan masalah ketika kreditur menafsirkan secara berlebihan yang terlalu membebani debitur. Sementara itu, dalam ketentuan zakat tanam-tanaman dan buah-buahan tidak disebutkan ketentuan nisabnya, sedangkan jenis harta yang lainnya disebutkan. Keempat, dari segi penyusunan, KHES hanya mengakomodir sebagian kecil umat Islam dan para pakar, berbeda dalam penyusunan KHI sebelumnya.
Selain itu dari segi penyusunan, Muhammad Amin Suma dalam makalahnya yang berjudul “Kajian Kritis terhadap KHES,” menyatakan bahwa penyusunan KHES kurang memperhatikan tertib pembidangan ekonomi syariah, baik dari sisi keberadaan peraturan perundang- undangan yang terkait maupun dari sisi pembahasan bab-bab dalam kitab-kitab fikih. Misalnya, peletakan Bab Zakat dan Hibah dalam KHES dimuat dalam buku III sesudah sekian banyak jenis transaksi muamalah lainnya yang dimuat di dalam Buku II. Padahal, bab zakat itu tetap mencerminkan nilai-nilai peribadatan (ubudiah) di samping nilainilai ekonomi. Dari sudut pandang filosofi, abwab al-fiqh ke depan memang tetap layak dipertimbangkan. Pasalnya, selain urutan pembahasan bab-bab dalam fikih yang telah baku itu memiliki nilai-nilai kesejarahan yang demikian melekat dan berlangsung terus, juga memiliki pengaruh tersendiri dalam tahapan/ babak pemberlakuan hukum Islam dalam konteks al-tadrij fi-al-tasyri’ al- Islami (legislasi hukum Islam secara evolusi).[43]
Dari segi bahasa, M. Amin Suma juga menyampaikan kritik, misalnya, dalam Buku I bab I Pasal 1 angka 9 KHES disebutkan:
Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis.”

Menurutnya, rumusan teks tersebut selain kurang mencerminkan bahasa hukum yang singkat, padat dan akurat, juga kurang fokus dalam memberikan pemaknaan maksud dari kata amwal yang bersifat komprehensif (menyeluruh) dan utuh. Rumusan teks tentang definisi amwal lebih menekankan pemaknaan kata amwal dalam bentuk benda ekonomis, yang seharusnya juga memperhatikan hak yang mengandung nilai ekonomi. Akibatnya, penambahan kalimat “dan hak yang mempunyai nilai ekonomis,” pada penghujung teks di atas, seakan-akan terpisah dari pemaknaan kata amwal dari semata-mata benda ekonomi dalam pegertian yang sesungguhnya.
Sedangkan untuk aspek formil, saat ini tengah berjalan penyusunan hukum acara ekonomi syariah melalui Kompilasi Hukum Acara Ekonomi Syariah (KHAES) yang rencananya akan disahkan tahun 2014. Mahkamah Agung telah membentuk tim penyusun yang terdiri dari berbagai kalangan baik praktisi maupun akademisi yang saling bersinergi. Dalam kurun waktu dua tahun, tim penyusun yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Ketua MA Nomor: 151/KMA/SK/VIII/2010 tanggal 16 Agustus 2010 ini, telah berhasil menyusun draf KHAES yang berisi 12 Bab dan 268 Pasal.  Rujukan penyusunan draf KHAES, selain berasal dari hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan agama dan peradilan umum, juga  diambil dari ketentuan hukum acara ekonomi syariah yang berlaku di negara-negara Timur Tengah, yakni Mesir, Sudan, Suriah, Iran, dan Abu Dabi.
KHAES yang sedang disusun terdiri dari 12 Bab dan 268 Pasal, secara garis besar sistematika bab-babnya meliputi ketentuan umum, tuntutan hak,  pemberian kuasa khusus, pendaftaran, penetapan hari sidang, dan tata cara pemanggilan, upaya menjamin hak,  perdamaian dan mediasi,  tata cara pemeriksaan perkara, pembuktian, putusan, upaya hukum, eksekusi putusan, dan acara khusus. Upaya penyusunan KHAES juga mendapat respons baik dari kalangan praktisi yang tergabung dalam Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) dengan mengadakan penandatanganan nota kesepahaman antara Badilag, HISSI dan MES. Nota kesepahaman ini antara lain dalam rangka pengembangan hukum ekonomi syariah, pengembangan SDM, dan tukar-menukar informasi dan data mengenai ekonomi syariah.
KHAES yang akan disahkan tahun 2014 menjadi pelengkap KHES yang telah lebih dahulu disahkan berdasaran PERMA Nomor 2 Tahun 2008. Dengan hadirnya KHAES sebagai hukum acara ekonomi syariah, maka diharapkan melahirkan kepastian hukum bagi para hakim peradilan agama sehingga tidak terjadi disparitas dalam praktik penanganan perkara ekonomi syariah. Sejalan dengan itu, hadirnya KHAES ini menjadi obat yang dapat mengundang public trust terhadap peradilan agama.
C.2. Aspek Sumber Daya Manusia
Tantangan berikutnya adalah tersedianya sumber daya manusia yang berkompeten dan diakui oleh pemangku kepentingan ekonomi syariah di Indonesia. Perbankan syariah Indonesia diharapkan memiliki hakim spesialisasi hukum ekonomi syariah terbanyak yang mampu menyelesaikan perkara perbankan syariah. Menyikapi kesiapan di bidang sumber daya manusia, Dirjen Badilag sudah menggariskan bahwa 2014 adalah tahun ekonomi syariah sehingga kegiatan bimbingan teknis aparat peradilan pgama akan diarahkan sepenuhnya untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang tangguh dalam menangani perkara ekonomi syariah. Tahun 2014 memang tak pelak memberikan suntikan harapan baru sekaligus tantangan baru bagi aparat peradilan agama untuk tidak main-main dalam mempersiapkan diri menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.[44]
Selain itu dilakukan pula upaya massif merespons putusan MK Nomor 93/PUUX/ 2012. Ditjen Badilag diharapkan segera mencetak tidak kurang dari 1200 hakim bersertifikat untuk menangani sengketa ekonomi syariah.  kedepan di 359 pengadilan tingkat pertama dan 29 pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan agama teradapat satu majelis hakim khusus perkara ekonomi syariah.  Terkait hal ini Adiwarman, yang juga anggota DSN MUI, mengajak Mahkamah Agung (Ditjen Badilag) untuk bersama-sama mengadakan pelatihan dan sertifikasi hakim ekonomi syariah bersama tiga lembaga lainnya yakni DSN MUI, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
III. Penutup.
          Putusan MK Nomor 93/PUUX/ 2012 di satu sisi memberikan ketegasan bahwa peradilan agama merupakan satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menangani sengketa perbankan syariah (jalur litigasi). Namun demikian, Putusan MK tersebut juga menimblukan ketidakpastian baru mengingat dihapuskanya seluruh penjelasan Pasal 55 ayat (2) juga menghapus ketentuan alternatif penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi sementara ketentuan ayat (2) tidak dihapuskan.
          Peradilan agama menjadikan Putusan MK dimaksud sebagai titik awal guna melakukan berbagai upaya penyiapan lembaga tersebut menghadapi peluang dan tantangan perkembangan perbankan syariah di masa datang. Aspek-aspek yang menjadi penting adalah aspek formil dan materiil serta aspek sumber daya manusia. Penyiapan ketiga aspek tersebut juga dilakukan dengan kerjasama sinergis dengan berbagai lembaga pemangku kepentingan terkait seperti BI, OJK dan asosiasi himpunan sarjana syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Jurnal/Surat Kabar/Website

Amin Summa, Muhammad. Kajian Kritis terhadap KHES, sebagaimana dikutip dalam Majalah Peradilan Agama, Edisi 3, Desember 2013 – Februari 2014.
Bambang, Sulistiyo. Penyelesaian Sengketa Bisnis, Yogyakarta: Citra Media, 2006.

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI, Buku Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi 2010.

Djamil, Fathurrahman. Hukum Perjanjian Syariah dalam Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2001.

H.S. Salim. Hukum Kontrak: Teori dan teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Hasan, Hasbi. Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, Jakarta: Gramata Publishing , 2010

Khopiatuziadah, Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Jurnal Legislasi Indoensia Vol 10 No.3 September 2013.
Kompetensi Pengadilan Agama Terbentur UU Arbitrase, Sabtu 7 Juli 2007, diunduh dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17114/kompetensi-pengadilan-agama-terbentur-uu-arbitrase diakses tanggal  4/03/2013

Lindsey, Tim. Jurnal Sydney Law Review 2012, Vol. 34

Majalah Peradilan Agama, Edisi 3, Desember 2013 – Februari 2014
Manan, Abdul. Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007

Mughits, Abdul. KHES dalam Tinjauan Hukum Islam, Jurnal Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008.

Raharjo, Handri. Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009

Satrio, J. Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, Bandung: Penerbit Alumni, 1999

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah.

Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah





[1] Perancang PUU Muda di Setjen DPR RI, dapat dihubungi via email zaha.alin@gmail.com
[2] Khopiatuziadah, Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Jurnal Legislasi Indoensia Vol 10 No.3 September 2013, hal 287.
[3]Hingga November 2013, tercatat ada 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 156 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dengan jaringan kantor yang mencapai 2.574 kantor. Meskipun dilihat dari jumlah kelembagaan tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun jumlah kantor layanannya mengalami peningkatan hingga 25,31%. Ini berarti, perbankan syariah terus mengembangkan jangkauan pelayanannya ke seluruh negeri. Lihat Majalah Peradilan Agama, Edisi 3, Desember 2013 – Februari 2014 hal. 5
[4] Jaringan kelembagaan yang telah mencapai 191 bank syariah dan akan semakin besar manakala didukung oleh pertumbuhan pada sektor-sektor lainnya, seperti asuransi, reksadana, sukuk, dan lain-lain. Jaringan kelembagaan tersebut didukung jumlah nasabah atau pengguna jasa perbankan yang tidak sedikit, setidaknya 17 juta nasabah. Jumlah nasabah tersebut murni dari unsur masyarakat, tanpa keterlibatan unsur pemerintah atau partisipasi BUMN. Ini berarti, nasabah perbankan syariah di Indonesia tumbuh dan besar dari bawah. Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia didukung oleh jumlah anggota DPS terbesar di dunia hampir seluruhnya telah memiliki sertifikat dasar. DPS bertugas untuk mengawasi dan memastikan operasional perbankan syariah telah memenuhi kriteria-kriteria syariah. Dengan jaringan kelembagaan yang besar, dapat dipastikan Indonesia juga memiliki bankir Islam terbanyak di dunia dengan berbagai spesifikasi keahlian dan dibelaki dengan program sertifikasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan Dewan Syariah Nasional dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Indonesia juga memiliki perguruan tinggi terbanyak yang menawarkan materi perbankan syariah sebagai bahan pembelajaran. Hal ini memastikan ketersediaan kebutuhan sumberdaya manusia untuk pengembangan perbankan syariah selanjutnya. Lihat Majalah Peradilan Agama, Edisi 3, Desember 2013 – Februari 2014 hal. 5 -6
[5] Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007, hal. 8
[6]Kompetensi Pengadilan Agama Terbentur UU Arbitrase, Sabtu 7 Juli 2007, diunduh dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17114/kompetensi-pengadilan-agama-terbentur-uu-arbitrase diakses tanggal  4/03/2013
[7]Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009, hal. 41
[8]Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah dalam Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2001, hal. 249 – 251.
[9]Asas kebebasan berkontrak (al Hurriyah); merupakan prinsip dasar dalam fiqh muamalah dan merupakan prinsip dasar pula dalam perjanjian (akad).
[10]Asas persamaan atau kesetaraan (al Musawah/taswiyah); sebagai landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan akad mempunyai kedudukan yang sama antara satu dan lainnya.
[11]Asas keadilan (al-Adalah);  dalam pelaksanaan akad para pihak harus berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah dibuat dan memenuhi semua kewajibannya.
[12]Asas kerelaan (al Ridha/ikhtiyari); segala bentuk transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan semua pihak. Kerelaan pihak-pihak yang berakad dianggap sebagai syarat terwujudnya semua transaksi.
[13]Asas kejujuran dan kebenaran (ash Sidq); dimaksudkan agar pada pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melakukan pemalsuan. Akad ini diistilahkan pula sebagai asas transparansi yaitu keharusan akad dilakukan dengan pertanggung jawaban secara terbuka oleh para pihak.
[14]Asas tertulis (al kitabah); agar akad yang dilakukan benar-benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak, maka akad harus dilakukan dengan melakukan kitabah  atau secara tertulis dalam penulisan perjanjian dan kontrak terutama transaksi dalam bentuk kredit.
[15]Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya serta menentukan bentuk perjanjian dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Asas konsensualisme dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan (kesepakatan) para pihak dalam melakukan perjanjian. Asas mengikatnya suatu perjanjian (pacta sunt servanda), bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas iktikad baik menginginkan agar setiap perjanjian dapat dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas kepribadian yakni perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitas sebagai individu hanya akan mengikat untuk dirinya sendiri. lihat Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, hal. 43 – 45.

[16]Kata “semua” dipahami mengandung asas kebebasan berkontrak yaitu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan perjanjian dengan siapapun; c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan d. menentukan bentuk perjanjian baik secara tertulis maupun lisan; sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Lihat J Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, Bandung: Penerbit Alumni, 1999. hal 36
[17] Salim H.S.. Hukum Kontrak: Teori dan teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal 9
[18]Bambang Sulistiyo, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Yogyakarta: Citra Media, 2006, hal. 6

[19] Bambang Sulistiyo, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Yogyakarta: Citra Media, 2006, hal. 8

[20]Ibid.
[21] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, Jakarta: Gramata Publishing , 2010, hal 140

[22] Bagir Manan dalam kata pengantar Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, hal xi - xii

[23] Ibid.
[24] Ibid., hal xii
[25] Ibid, hal ix-x
[26] Ibid hal xi
[27] Ibid hal xii
[28] Pasal 2 dan Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
[29]Perubahan pada Pasal 2 dan pasal 49 ayat (1) ini mengadung 3 makna: Pertama, peradilan agama tidak lagi semata-mata mengadili perkara perdata saja, tetapi dimungkinkan untuk memriksa perkara lain (pidana) sejauh diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, kompetensi peradilan agama diperluas sampai kepada ranah ekonomi syariah.  Ketiga, dihapusnya hak opsi dalam  sengketa waris lihat Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, hal.74-75 
[30] Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang tentang Peradilan Agama
[31] Ketentuan ini pada dasarnya merujuk pada Pasal 61 UU tentang Arbitrase dan APS, Namun khusus untuk putusan arbitrase syariah kata Ketua Pengadilan Negeri dibaca Ketua Pengadilan Agama sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah.
[32] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 hal 37-38
[33] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 hal 38
[34] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 hal 39
[35] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 hal 40
[36] Majalah Peradilan Agama, Edisi 3, Desember 2013 – Februari 2014 hal.3
[37] Sebagaimana disampaikan Adiwarman Karim dalam Wawancara dengan Tim Redaksi Majalah Peradilan Agama, Lihat Majalah Peradilan Agama, Edisi 3, Desember 2013 – Februari 2014 hal.3
[38]Pendapat ini dikemukakan Indonesianis dari Australia, Tim Lindsey dalam Jurnal Sydney Law Review 2012, Vol. 34 hlm. 120 , Lihat Majalah Peradilan Agama, Edisi 3, Desember 2013 – Februari 2014 hal.4
[39]Tim menyesuaikan pola pikir, mencari format ideal dengan mengadakan semiloka, pertemuan sekaligus meminta masukan kepada beberapa lembaga seperti Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan Ikatan Ahli Ekonomi Syariah (IAES), MUI serta Bank Indonesia (BI). Di samping itu, tim juga melakukan kajian pustaka terhadap literatur kitab fikih klasik dan ekonomi kontemporer. Dalam rangka kajian pustaka, tim penyusun berkunjung ke Malaysia  dan Pakistan untuk memperoleh gambaran ekonomi syariah serta problematikanya secara lebih mendalam
[40]KHES terdiri dari 4 buku yang terdiri dari 790 pasal. Buku I membahas tentang Subyek Hukum dan Harta (amwal). Buku II membahas tentang Akad. Buku III membahas tentang Zakat dan Hibah. Buku IV membahas tentang Akuntansi Syariah. Dalam Buku I yang terdiri dari 3 bab tersebut mengatur tentang ketentuan umum,  kecakapan subjek hukum yang dapat atau tidak dapat melakukan perbuatan hukum, ketentuan dalam perwalian yang dalam perwalian tersebut terjadi akibat dari orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, serta mengatur tentang amwal atau kebendaan yang di dalamnya dibahas tentang asas kepemilikan, cara memperoleh, dan sifat kepemilikan dari amwal tersebut. Buku II terdiri atas 29 bab dan mengatur tentang akad yang berkaitan dengan kesepakatan dalam mengadakan suatu perjanjian. Dari sekian banyak bab jika dirunut meliputi: ketentuan umum; asas-asas dari akad; rukun dan syarat yang harus dipenuhi, kategori hukum; ‘aib; akibat dan penafsiran akad; bai’; akibat bai’; syirkah; syirkah milk; mudharabah; muzara’ah dan musaqah. Selanjutnya dalam buku II tersebut juga diatur bab tentang khiyar; ijarah; kafalah; hawalah (pengalihan utang); rahn (gadai); wadi’ah; gashb dan itlaf; wakalah; shulh; pelepasan hak; ta’min; obligasi syariah mudharabah; pasar modal; reksadana syariah; sertifikat bank Indonesia syariah; obligasi syariah; pembiayaan multi jasa; qardh; pembiayaan rekening Koran syariah; dan dana pensiun syariah. Buku III membahas tentang Zakat dan Hibah. Pada bagian ini terdiri atas empat bab meliputi ketentuan umum; ketentuan umum zakat; harta yang wajib dizakati serta tentang hibah, mulai dari rukun dan penerimaannya, persyaratan akad hibah, menarik kembali hibah, dan hibah orang yang sedang sakit keras. Buku IV membahas tentang Akuntasi Syariah yang terdiri atas tujuh bab. Bab I membahas tentang cakupan akuntansi syariah. Bab II membahas tentang akuntansi piutang. Bab III membahas tentang akuntansi pembiayaan. Bab IV membahas tentang akuntansi kewajiban. Bab V membahas tentang akuntansi investasi tidak terkait. Bab VI membahas tentang akuntansi equitas, dan bab VII membahas tentang akuntansi ZIS dan qard.   Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI, Buku Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi 2010.
[41]Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur: Jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan…  Mahkamah Agung…”. Dalam Pasal 8 ayat (2) ditegaskan bahwa Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.
[42]Abdul Mughits, KHES dalam Tinjauan Hukum Islam, Jurnal Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008, sebagaimana dikutip dalam Majalah Peradilan Agama, Edisi 3, Desember 2013 – Februari 2014 hal 25.
[43]Muhammad Amin Summa, Kajian Kritis terhadap KHES, sebagaimana dikutip dalam Majalah Peradilan Agama, Edisi 3, Desember 2013 – Februari 2014, hal 25.

[44] Majalah Peradilan Agama, Edisi 3, Desember 2013 – Februari 2014 hal.2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan komentar anda di sini. Untuk penggunaan referensi harap mencantumkan sumber.