EVALUASI PENGADILAN PERIKANAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG PERIKANAN DALAM RANGKA PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG TENTANG PERIKANAN

ditulis oleh: Khopiatuziadah

dimuat dalam Jurnal Legislasi Indonesia -  Vol 14, No 1 (2017), Maret 2017 hal : 17 - 28

Abstrak

Pengadilan perikanan lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Tulisan ini menyajikan berbagai permasalahan, kendala, dan hambatan yang harus dihadapi dalam pelaksanaan kewenangan yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut setelah 10 tahun lebih berlaku. Mengingat akan dilakukannya perubahan kedua terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 perlu dilakukan pengkajian terhadap peran pengadilan perikanan dalam menjalankan kewenangannya dengan mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya guna optimalisasi peran pengadilan perikanan dalam proses penegakan hukum di bidang perikanan sejalan dengan rencana perubahan undang-undang secara keseluruhan.

Kata kunci: pengadilan perikanan, penegakan hukum

Abstract 

A court for fisheries cases created under Law Number 31 of 2004 on Fisheries with the authority to examine, hear, and decide the case of criminal offenses in the field of fisheries occurring in the territory of fisheries management of the Republic of Indonesia, whether committed by Indonesian citizens and foreign nationals. This paper presents various issues, barriers, and obstacles that must be faced in the implementation of the authority that is mandated by law after 10 years in force. Considering the plan to enact the second amendment to the Law Number 31 of 2004, it is necessary to do an assessment of the role of the courts fishery by identifying the contributing factors in order to optimize the role of the courts fishery in the process of law enforcement in the field of fisheries in line with the plan to amend the law as a whole 

Keywords: Court for fisheries cases, law enforcement 


A. Pendahuluan 

Salah satu potensi yang menjadi modal pembangunan nasional adalah kekayaan alam yang terdapat di laut Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, memiliki 17.504 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, dengan panjang pantai 99.093 km yang menempati urutan keempat di dunia setelah Kanada (265.523 km), Amerika Serikat (133.312 km) dan Rusia (110.310 km)1. Sedemikian besar potensi yang terkandung dalam lautan Indonesia, terutama sumberdaya ikan yang tentunya harus dijaga secara maksimal. Pemanfaatan kekayaan laut Indonesia terutama sektor perikanan harus dijaga sedemikian rupa agar tidak terjadi eksploitasi yang merugikan bangsa dan masyarakat Indonesia. Salah satu faktor penting dalam menjaga kekayaan sumber daya laut adalah proses penegakan hukum. Penegakan hukum di bidang perikanan harus didukung oleh perangkat hukum yang memadai serta dukungan kelembagaan  peradilan yang baik. Keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki pemahaman tentang kasus-kasus di bidang perikanan, hukum acara yang kurang mendukung proses peradilan yang cepat, serta kurangnya dukungan sarana dan prasarana yang memadai merupakan faktor yang menghambat penegakan hukum di bidang perikanan. Penyelenggaraan perikanan termasuk di dalamnya penegakan hukum di bidang perikanan saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang 

Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan. Undang-Undang ini menginstruksikan dibentuknya pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Dalam penyusunan Program Legislasi Nasional Tahun 2015-2019 Pemerintah dan DPR bersepakat akan melakukan perubahan kedua terhadap Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang telah dilakukan perubahan pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Baik Pemerintah maupun DPR rupanya menemukan permasalahan dan urgensi untuk melakukan perubahan kembali terhadap Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan). Berdasarkan kesepakatan tersebut Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Tahun 2015-2019 pada nomor urut 68. 

DPR menilai bahwa potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki Indonesia merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi. Kehadiran UU Perikanan diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya perubahan yang sangat besar di bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern2. Di sisi lain ada berbagai masalah di sektor kelautan dan perikanan antara lain adanya pencemaran laut, gejala penangkapan ikan yang berlebihan, degradasi fisik habitat pesisir, pencurian ikan (illegal fishing) dan pembuangan limbah secara illegal3. Senada dengan hal tersebut Pemerintah menilai bahwa UU Perikanan belum mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum di bidang perikanan. Pemerintah ingin melakukan penguatan sejalan dengan visi misi Pemerintahan untuk mendukung pembangunan ekonomi maritim. Pemerintah juga menekankan penguatan penegakan hukum di bidang perikanan dan mekanisme pengawasan pemanfaatan perikanan yang jelas4. UU Perikanan dianggap masih memiliki beberapa kelemahan. 

Lahirnya UU Perikanan yang di dalamnya mengamanatkan dibentuknya pengadilan perikanan juga sempat mendapat sorotan publik. Tak kurang Ketua Mahkamah Agung sendiri telah dibuat kaget dengan lolosnya ketentuan dalam Undang-Undang tersebut mengenai pembentukan pengadilan perikanan, yang konon pembahasannya tidak melibatkan pihak Mahkamah Agung. Kritik terhadap pembentukan pengadilan perikanan juga dilontarkan oleh pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji yang menilai bahwa pembentukan pengadilan khusus hanya akan menimbulkan kesimpangsiuran dan inkonsistensi atas asas penyatuatapan, serta melanggar sistematisasi lembaga peradilan yang mengakui MA sebagai top judicial. Selain itu dalam pengaturan dan pelaksanaan penyidikan, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme koordinasi antara instansi penyidik5. Akan tetapi, pembentukan pengadilan perikanan pada dasarnya dilandasi oleh semangat mengatasi krisis ketidakberdayaan lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum yang terkait penegakan hukum pelanggaran di bidang perikanan. Selain itu dengan semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan di bidang perikanan, dibutuhkan lembaga peradilan khusus yang lebih profesional yang didukung dengan sumber daya manusia yang menguasai persoalan khusus di bidang perikanan6. 

Setelah lebih dari sepuluh tahun berlakunya UU Perikanan, bagaimana peran pengadilan perikanan dalam penyelenggaraan perikanan di Indonesia selama ini terutama dalam aspek penegakan hukum? Dalam konteks penegakan hukum di bidang perikanan terdapat beberapa lembaga yang berwenang menangani pelanggaran hukum di wilayah laut Indonesia yang kewenangannya masih tumpang tindih satu sama lain. Beberapa lembaga tersebut misalnya TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polair, Ditjen Imigrasi, Ditjen Bea Cukai, Kejaksaan, Ditjen Perhubungan Laut (Armada PLP/KPLP), dan Kementerian Kehutanan. Harus diakui bahwa tumpang tindih kewenangan penegak hukum dan proses yudisial menjadi salah satu permasalahan dalam pelaksanaan UU Perikanan. 

Beberapa permasalahan hukum yang berpengaruh terhadap efektifitas pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum yang antara lain berkenaan dengan overlap kewenangan antar instansi penegak hukum, penyusunan peraturan kurang memperhatikan aspek harmonisasi, penormaan yang kabur/samar, belum diadopsinya prinsip pertangungjawaban korporasi secara utuh, perumusan ketentuan pidana yang tidak sejalan dengan prinsip pembetukan peraturan perundang-undangan yang baik, serta adanya swa-regulasi yang dilakukan oleh lembaga yudikatif tidak jarang justru kontraproduktif dan menimbulkan permasalahan baru7

Dalam proses penyelesaian tindak pidana perikanan yang menjadi ranah kewenangan dari pengadilan perikanan juga terdapat berbagai catatan yang menjadi pekerjaan rumah guna meningkatkan efektifitas dari penanganan kasus tindak pidana perikanan melalui lembaga peradilan khusus ini. Selain itu muncul wacana perluasan yurisdiksi dan penambahan jumlah pengadilan perikanan untuk mencakup seluruh wilayah Indonesia agar dapat menangani banyaknya kasus yang terjadi dan tersebar di seluruh wilayah laut Indonesia. Hal inilah yang mendorong penulis mengkaji lebih lanjut peran pengadilan perikanan dan eksistensinya terkait dengan rencana perubahan kedua UU Perikanan. 

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini yakni: 

  1. Bagaimana pengaturan pengadilan perikanan sebagai bentuk peradilan khusus dalam tinjauan peraturan perundang-undangan? 
  2. Bagaimana peluang, kendala, dan hambatan bagi optimalisasi peran pengadilan perikanan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan sesuai dengan amanat UU Perikanan. 

B. Pembahasan 

B.1. Peradilan Khusus dalam Sistem Peradilan di Indonesia 

Menurut Jimly Asshiddiqie peradilan khusus biasanya dimaknai sebagai bentuk peradilan di luar peradilan umum yang berlaku di suatu negara. “dalam sejarah peradilan di Indonesia, istilah peradilan khusus dipahami sebagai antonim dari pengertian peradilan pada umumnya yang berjenjang mulai dari peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, peradilan tingkat banding di Pengadilan Tinggi sampai peradilan tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Sebelum Indonesia merdeka, ketiga jenjang peradilan tersebut bermula dari badan-badan peradilan yang sudah eksis dalam sistem peradilan Hindia Belanda, yaitu ‘Landraad’ yang dijadikan Pengadilan Negeri, ‘Raad van Justitie’ yang menjadi Pengadilan Tinggi, dan ‘Hogeraad’ yang dkembangkan menjadi Mahkamah Agung. Karena itu, semua pengadilan di luar lingkungan peradilan biasa pada umumnya tersebut di atas disebut Pengadilan Khusus, seperti Pengadilan Agama yang berasal dari ‘Priesterraad’ dan lain-lain8” 

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman) mengelompokkan peradilan ke dalam 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu: 1) Peradilan Umum; 2) Peradilan Agama; 3) Peradilan Tata Usaha Negara; dan 4) Peradilan Militer. 

Pada bagian penjelasan Pasal tersebut disebutkan bahwa: “… dalam keempat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan undang-undang”. Ketentuan ini diadopsi dalam perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) pada tahun 2002 yang kemudian dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI tahun 1945, yaitu: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”9. 

Selanjutnya dalam Pasal 13 UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: “Badan-Badan Peradilan Khusus di samping badan-badan peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan undang-undang”. Badan Peradilan Khusus yang dimaksudkan adalah badan peradilan yang kedudukannya sejajar dengan keempat badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Badan Peradilan Khusus yang dimaksud dalam Pasal 13 berbeda dengan badan peradilan khusus seperti Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan Koneksitas, sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 10 UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kedudukannya berada di dalam lingkungan peradilan umum. 

Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut, maka terdapat 2 (dua) alternatif bentuk peradilan khusus yang dimungkinkan oleh UU PokokPokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu: (1) Peradilan Khusus yang berada dalam salah satu dari empat badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan (2) Peradilan Khusus yang berada di samping dan sejajar dengan keempat badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ide pembentukan peradilan khusus sangat berkembang dimasa setelah reformasi, terutama untuk maksud memenuhi tuntutan perkembangan akan keadilan yang semakin kompleks dalam masyarakat. 

Sampai sekarang, pengadilan khusus yang ada sudah tercatat lebih dari 10 (sepuluh) macam, yaitu10: 1) Pengadilan Anak11 (bidang hukum pidana); 2) Pengadilan Niaga12 (bidang hukum perdata); 3) Pengadilan HAM13 (bidang hukum pidana); 4) Pengadilan TIPIKOR14 (bidang hukum pidana); 5) Pengadilan Hubungan Industrial15 (bidang hukum perdata); 6) Pengadilan Perikanan16 (bidang hukum pidana); 7) Pengadilan Pajak17 (bidang hukum TUN); 8) Mahkamah Pelayaran (bidang hukum perdata); 9) Mahkamah Syar’iyah di Aceh18 (bidang hukum agama Islam); 10)Pengadilan Adat di Papua19 (eksekusi putusannya terkait dengan peradilan umum); dan 11) Pengadilan Tilang20. Adapun peradilan khusus perikanan dalam lingkungan peradilan umum dibentuk dengan pertimbangan bahwa pembentukan badan peradilan khusus ini diharapkan akan lebih memungkinkan bagi terlaksananya asas sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 ayat (2) UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

B. 2. Pengadilan Perikanan

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. UU Perikanan mencoba memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana dibidang perikanan, yang mencakup penyidik, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan diatur secara khusus mengenai tindak pidana di bidang perikanan21

Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum material dan hukum formil. Untuk menjamin kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas, sehingga dalam undang-undang ini dirumuskan mengenai hukum acara (formil) bersifat lebih cepat22. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, maka dalam UU Perikanan diatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan pengadilan umum. 

Dalam Pasal 71 disebutkan bahwa: (1) Dengan undang-undang ini di bentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindakan pidana di bidang perikanan. (2) Pengadilan perikanan sebaimana di maksud pada ayat (1) berada di lingkungan pengadilan umum. (3) Untuk pertama kali pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk di pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. (4) Daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan daerah hukum pengadilan Negeri yang bersangkutan. (5) Pengadilan perikanan sebagiamana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku, sudah melaksanakan tugas dan fungsinya. (6) Pembentukan pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.” 

Ketentuan Pasal 71 UU Perikanan ini kemudian diubah dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang bunyinya sebagai berikut: (1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. (2) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum. (3) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. (4) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di pengadilan negeri. (5) Pembentukan pengadilan perikanan selanjutnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 

Ketentuan mengenai pengadilan perikanan ini juga disempurnakan dengan menegaskan yurisdiksi kewenangan pengadilan perikanan dengan menyisipkan satu pasal di antara Pasal 71 dan Pasal 72, yakni Pasal 71A, yang berbunyi: “Pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing.” Perubahan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 antara lain didasarkan oleh fakta empiris dan sosiologis terkait berbagai isu dalam pembangunan perikanan yang perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun pihak lain yang terkait. Isu-isu tersebut diantaranya adanya gejala penangkapan ikan yang berlebihan, pencurian ikan, dan tindakan illegal fishing lainnya yang tidak hanya menimbulkan kerugian bagi negara, tetapi juga mengancam kepentingan nelayan dan pembudi daya ikan, iklim industri, dan usaha perikanan nasional. Permasalahan tersebut harus diselesaikan dengan sungguh-sungguh, sehingga penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan berkelanjutan. 

Adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan23. Pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) menilai UU Perikanan masih belum mampu mengantisipasi perkembangan teknologi serta perkembangan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan dan belum dapat menjawab permasalahan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa substansi, baik menyangkut aspek manajemen, birokrasi, maupun aspek hukum. Perubahan dari aspek hukum di antaranya dengan melakukan penguatan baik dari sisi kelembagaan, kewenangan, hukum materiil dan hukum acara (formil) serta perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. 

Dibentuknya pengadilan perikanan hakikatnya dimaksudkan untuk24: a. menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam hal ini pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan; b. lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan; c. melengkapi dan menyempurnakan hukum acara dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan (di samping mengikuti hukum acara dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, juga memuat hukum acara khusus); d. menjamin hukum materiil dan hukum acara (formil) bersifat lebih cepat; e. meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan. 

Terdapat beberapa peraturan pelaksana yang mengatur pengadilan perikanan yakni antara lain: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2006 Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan, dan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan Negeri Merauke. Mahkamah Agung juga mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengadilan Perikanan. 

B.3. Peran Pengadilan Perikanan dalam Menjalankan Amanat UU Perikanan. 

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kewenangan Pengadilan Perikanan adalah memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. Dalam menjalankan kewenangannya tersebut terdapat berbagai faktor yang mendukung terlaksananya tugas dan kewenangan yang diamanatkan UU Perikanan. Pengadilan Perikanan untuk pertama kali dibentuk di lingkungan pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun demikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka Pengadilan Perikanan yang telah dibentuk tersebut baru melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak UU Perikanan mulai berlaku. Pengadilan Perikanan tersebut bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc. 

Dalam perjalanan lebih dari 10 (sepuluh) tahun sejak pembentukan pertama Pengadilan Perikanan, terdapat beberapa catatan yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka melakukan optimalisasi peran Pengadilan Perikanan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan sesuai dengan amanat UU Perikanan. Secara garis besar faktor pendukung yang sekaligus menjadi tantangan dan hambatan pelaksanaan peran, tugas, dan kewenangan Pengadilan Perikanan dapat dibagi ke dalam beberapa aspek penting yakni kelembagaan termasuk di dalamnya sumber daya manusia, hukum materiil atau pengaturan tentang tindak pidana perikanan, hukum formil atau tata beracara dalam proses pengadilan perikanan, serta masalah yurisdiksi. 

B.3.1. Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia 

Permasalahan dalam penyelesaian perkaraperkara pidana di bidang perikanan tidak dapat dilepaskan dari beragamnya penegak hukum yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan tindakan pro justitia, yang terkadang menjadi kontra produktif dengan upaya penegakan hukum itu sendiri. Hal ini berpangkal tolak dari adanya suatu permasalahan hukum yang timbul berkenaan dengan kewenangan penegakan hukum tersebut25

Adanya “sengketa kewenangan penegakan hukum di laut” sangat erat terkait dengan bagaimana penyelesaian perkara pidana di bidang kelautan dan perikanan dilaksanakan dalam suatu proses dan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. Sengketa kewenangan pada tahapan penyidikan ini tentu saja berakibat langsung pada tahapan pemeriksaan di sidang pengadilan. Kekisruhan di tingkat penyidikan ini juga secara tidak langsung mempengaruhi masuknya berbagai kasus pidana ke tingkat pemeriksaan di pengadilan. Adanya koordinasi antar penegak hukum yang dilakukan secara konsisten bagi semua aparat terkait dalam penegakan hukum di bidang perikanan menjadi penting dan signifikan guna menghindari adanya penafsiran hukum yang berbeda antar aparat penegak hukum sehingga dengan kewenangan masing-masing, satu sama lain dapat mencapai tujuan yang sama26

Secara normatif hal ini sebetulnya telah diatur dalam Pasal 73 UU Perikanan yang menyatakan bahwa: (1) Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI. (3) Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, diutamakan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan. (4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan. (5) Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri membentuk forum koordinasi. Namun sayangnya koordinasi menjadi hal yang sulit diwujudkan. 

Terlebih ketika ada perbedaan wilayah yurisdiksi antar para penegak hukum di mana satu dengan yang lain lebih menguatkan ego sektoralnya masing-masing. Seharusnya koordinasi menjadi hal yang wajib dilakukan mengingat semakin banyak yang menjaga laut kita seharusnya semakin baik dan aman kondisi laut dan sumber daya ikan di dalamnya. Jumlah pengadilan perikanan yang masih terbatas di sejumlah tempat juga menjadi salah satu kendala belum maksimalnya penegakan hukum di bidang perikanan. Kasus pidana perikanan dipastikan selalu terjadi di wilayah laut di mana luas dan jangkauannya tidak terbatas oleh batas-batas wilayah. 

Beberapa pengadilan perikanan mendapat banyak kasus yang harus diselesaikan sementara di pengadilan perikanan yang lain tidak ada kasus yang masuk. Pengadilan Perikanan yang pertama kali dibentuk berdasarkan UU perikanan yakni Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Bitung dan Pengadilan Negeri Tual. Pada tahun 2010 dibentuk lagi pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai. Pada akhir tahun 2014 dibentuk pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan Negeri Merauke. Provinsi Jawa Timur belum memiliki Pengadilan Perikanan seperti yang diamanatkan oleh UU Perikanan. 

Perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah Provinsi Jawa Timur diadili di Pengadilan Negeri terdekat dengan tempat kejadian perkara. Pada Pengadilan Negeri Surabaya, jumlah perkara pidana perikanan bervariasi tiap tahunnya. Pada tahun 2009 perkara perikanan sebanyak 27 (dua puluh tujuh) perkara, tahun 2010 terdapat 13 (tiga belas) perkara, 2011 sebanyak 4 (empat) perkara, 2012 sebanyak 3 (tiga) perkara, 2013 sebanyak 2 (dua) perkara, 2014 sebanyak 2 (dua) perkara dan tahun 2015 sebanyak 5 (lima) perkara. Sementara jumlah perkara pidana perikanan pada Pengadilan Negeri Medan juga bervariasi tiap tahunnya. Pada tahun 2007, sebanyak 3 (tiga) perkara dan meningkat enam kali lipat pada tahun berikutnya sebanyak 18 (delapan belas) perkara. Pada tahun 2009 tercatat 31 (tiga puluh satu) perkara kemudian berturut-turut pada tahun 2010 sebanyak 17 (tujuh belas) perkara, tahun 2011 sebanyak 20 (dua puluh) perkara, tahun 2012 sebanyak 10 (sepuluh) perkara, tahun 2013 sebanyak 29 (dua puluh sembilan) perkara, tahun 2014 sebanyak 4 (empat) perkara, dan tahun 2015 tercatat 11 (sebelas) perkara pidana perikanan yang ditangani sampai dengan bulan Mei27

Untuk penyelesaian perkara di tingkat kasasi relatif berlangsung lama, bahkan hingga mencapai satu tahun. Kondisi ini dimungkinkan karena belum terbentuknya hakim ad hoc perikanan di tingkat kasasi. Hal ini mendorong dibentuknya Pengadilan Perikanan baik di tingkat banding maupun kasasi yang hingga saat ini belum terbentuk28. Terbatasnya jumlah hakim ad hoc perikanan juga menjadi hambatan dalam efektifitas penyelesaian kasus perikanan. Pengetahuan dan pemahaman teknis bidang perikanan menjadi kebutuhan mutlak bagi hakim yang menangani kasus perikanan. Peningkatan kapasitas dan kualitas hakim yang menangani kasus perikanan harus dilakukan secara konsisten, demikian pula dengan kuantitas mereka sejalan dengan kuantitas lembaga Pengadilan Perikanan yang harus dibentuk. 

Sebagai bentuk dukungan terhadap kinerja aparat dalam menegakkan hukum di bidang perikanan, UU Perikanan dalam Pasal 76C ayat (4) mengenalkan adanya insentif bagi aparat penegak hukum di bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dan pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara. Insentif atau penghargaan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Direktorat Polisi Air Polda Kalimantan Barat pada tahun 2014 berhasil menangkap kapal perikanan yang melakukan tindak pidana perikanan yang setelah mendapat putusan dari pengadilan, barang bukti kapal perikanan tersebut berhasil dilelang dengan nilai lebih dari Rp.1 miliar. Akan tetapi, atas keberhasilannya tersebut ternyata tidak ada penghargaan apapun yang diterima oleh Ditpolair Polda Kalimantan Barat. Hal ini dikarenakan masih belum adanya peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 76C ayat (4). 

Padahal pemberian insentif sangat ditunggu oleh penegak hukum sektor perikanan. Untuk kedepannya, terdapat usulan agar dibuat suatu aturan yang memungkinkan bagi penyidik atau para penegak hukum secara keseluruhan untuk dapat menggunakan uang hasil pelelangan barang bukti tindak pidana perikanan untuk meningkatkan sarana prasarana dan fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan29

Akan tetapi menurut Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, ketentuan Pasal 76C ayat (4) UU Perikanan tersebut, terutama pada bagian penjelasannya, yakni penghargaan kepada para penegak hukum yang berupa insentif, bertentangan dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara30. 

B.3.2. Ketentuan Pidana Bidang Perikanan 

Terkait dengan ketentuan pidana, pada dasarnya jenis tindak pidana dalam UU Perikanan telah cukup luas, ada 31 (tiga puluh satu) bentuk pelanggaran/kejahatan dari pra penangkapan hingga pasca penangkapan. Namun seiring dengan perkembangan perkara perikanan tidak ada ketegasan tentang bagaimana tanggung jawab korporasi dalam tindak pidana perikanan, karena pemilik kapal ternyata koorporasi lintas Negara; bagaimana tanggung jawab pemilik kapal dalam keikutsertaannya untuk menanggulangi tidak pidana perikanan, dan pengaturan mengenai perbuatan pembiaran adanya tindak pidana dalam berbagai bentuknya31

Perlu adanya penjelasan mengenai subjek dari Pasal 94 UU Perikanan yaitu bahwa “setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal perikanan.32”. Hal ini dikarenakan pada tindak pidana perikanan yang selama ini dijerat hanyalah pelaku di lapangan, belum menjerat pemilik modal33. Sulit menjerat pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tindak pidana perikanan. Penyidik hanya dapat menjerat pelaku fisik yang berada di lapangan, sedangkan untuk pelaku utama yang berada di belakang layar belum tersentuh. Subyek atau pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana perikanan secara tersurat hanya dapat diterapkan kepada pelaku yang secara langsung melakukan penangkapan ikan secara ilegal maupun kepada kapal ikan yang melakukan transhipment secara ilegal. 

Ketentuan tentang tindak pidana perikanan belum menyentuh pelaku lain termasuk pelaku intelektual yang terkait dengan tindak pidana perikanan secara keseluruhan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam ketentuan pidana pada UU Perikanan adalah belum dimuatnya pengaturan terhadap sanksi bagi kapal asing yang tidak membawa SIPI asli34. Selain itu, belum ada pula pengaturan terkait sanksi pidana bagi penyedia dan pengedar obat ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan/atau kesehatan manusia35. Besaran sanksi pidana dalam Pasal 92 sampai Pasal 94 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 bersifat kumulatif, namun dalam penerapan Pasal 93, bersifat alternatif dan hanya dijatuhi pidana denda, karena dalam Pasal 102 UU Perikanan mengatur bahwa ketentuan pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku untuk tindak pidana perikanan yang terjadi di ZEE, kecuali telah ada perjanjian antara RI dan negara yang bersangkutan. 

Ketentuan Pasal 102 UU Perikanan menimbulkan permasalahan ketika penjatuhan hukuman denda tanpa dibarengi pemberian hukuman pengganti ternyata menyulitkan nelayan asing yang tidak mampu membayar denda. Nasib nelayan tersebut terkatungkatung karena tidak mendapat izin dari petugas imigrasi untuk pulang ke negaranya selama kewajiban denda belum dibayarkan. Kedepan perlu dipertimbangkan suatu bentuk hukuman pengganti berupa kurungan bagi nelayan asing yang tidak mampu membayar denda36

Terkait dengan pelanggaran terhadap jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkap ikan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a UU Perikanan sebaiknya diatur tersendiri dan digolongkan sebagai satu tindak pidana kejahatan sesuai Pasal 103 ayat (1) UU Perikanan, mengingat pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat menyebabkan berbagai jenis dan ukuran ikan non target ikut tertangkap sehingga membahayakan kelestarian sumber daya ikan37

B.3.3 Hukum Acara 

Kendala yang dihadapi dalam proses penyelesaian perkara pidana perikanan di pengadilan antara lain mengenai waktu penyelesaian perkara khususnya tidak pidana yang terjadi di perairan ZEE Indonesia oleh nelayan asing berlangsung lebih dari 30 (tiga puluh) hari akibat Jaksa Penuntut Umum terlambat menyampaikan tuntutan38. Di tingkat penuntutan, penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan. Jangka waktu pemberkasan perkara pidana perikanan di tingkat penuntutan dibatasi paling lama 30 (tiga puluh) hari harus sudah disampaikan ke tingkat pengadilan, sejak berkas perkara tersebut diterima lengkap dari penyidik. Akan tetapi ketentuan dalam Pasal 76 ayat (9) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 terkait penyampaian berkas penuntutan yang harus disampaikan oleh penuntut umum kepada ketua pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap, tidak sesuai dengan KUHAP39. 

Selain itu, jangka waktu tersebut tidak konsisten dengan ayat sebelumnya, yakni Pasal 76 ayat (5) yang menyatakan: “Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut lengkap dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap, penuntut umum harus melimpahkanperkara tersebut kepada pengadilan perikanan.” Kendala teknis lainnya adalah kesulitan komunikasi di sidang pengadilan terkait nelayan asing yang umumnya hanya dapat berkomunikasi menggunakan bahasa daerah asalnya sehingga proses pemeriksaan di pengadilan sangat tergantung penerjemah. 

Secara umum cukup sulit mendapatkan penerjemah yang memahami bahasa daerah nelayan asing tersebut. Permasalahan teknis proses persidangan antara lain kesulitan menghadirkan saksi dari pihak pengawas perikanan yang melakukan penangkapan. Oleh karena tindak pidana perikanan adalah tindak pidana khusus maka penanganannya harus dilakukan dengan spesifik dan dibutuhkan dengan menghadirkan saksi ahli yang mengetahui seluk beluk di bidang perikanan. Kesulitan menghadirkan ahli sesuai bidang kompetensi yang diperlukan dalam proses persidangan perkara pidana perikanan. Kesulitan ini selain berpengaruh pada efektifitas proses peradilan juga mempengaruhi jangka waktu selesainya perkara.40 

Saksi penangkap utama dari Angkatan Laut juga sulit dihadirkan di pengadilan untuk memberikan kesaksian dengan alasan sedang tugas patroli di laut. Hal ini menyebabkan proses pengecekan atau konfirmasi keterangan saat pemeriksaan di pengadilan terutama keterangan saksi penangkap dapat tidak diakui atau dibantah terdakwa.41 

Ketentuan dalam UU Perikanan juga menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap terdakwa atas perkara perikanan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia). Dalam pelaksanaannya, pengadilan memang harus mengikuti ketentuan tersebut tetapi dengan tanpa kehadiran terdakwa, pengadilan akan menghadapi kendala seperti kemungkinan tidak dapat menuntaskan perkara dengan lebih cepat dan tepat. Putusan pengadilan terkait tindak pidana di bidang perikanan dapat dimohonkan banding ke pengadilan tinggi, kemudian dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, di dalam Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Kasasi tersebut belum ada aturan mengenai keterlibatan hakim ad hoc dalam proses pemeriksaannya. Terkait dengan barang bukti, perampasan barang bukti untuk Negara memang bisa saja efektif tapi untuk menyetarakan dengan nilai barang bukti yang dirampas dikaitkan dengan kerugian Negara belum dapat disebut memadai.42 

Untuk efektivitas kegiatan, diperlukan pengawasan dan pemantauan atas barang bukti yang dirampas untuk negara, terutama dalam pelaksanaan eksekusinya. Akan tetapi, hal ini bukanlah kewenangan hakim, melainkan kewenangan antara panitia lelang dengan penuntut umum. Oleh karenanya perlu ada pengawasan apakah hasil lelang tersebut masuk ke dalam kas Pungutan Negara Bukan Pajak( PNBP) atau tidak. Ketersediaan tempat penyimpanan barang bukti berupa kapal dan alat tangkap juga masih belum menemukan titik terang. Barang bukti kemudian biasanya dititipkan kepada Jaksa Penuntut Umum dengan berita penitipan barang bukti.43 

B.3.4 Yurisdiksi 

Kekurangan dan ketidakjelasan dari ketentuan yang ada dalam UU Perikanan terhadap luasnya wilayah hukum pengadilan perikanan menjadi masalah terkait yurisdiksi. Dalam Pasal 71A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dinyatakan bahwa pengadilan perikanan mempunyai yurisdiksi atas Wilayah Pengelolaan PerikananNegara Republik Indonesia (WPPNRI.) Namun yang menjadi pertanyaan, WPPNRI yang manakah yang menjadi kompetensi masingmasing Pengadilan Perikanan? Pembatasan ini belum diatur dalam UU Perikanan yang ada.44 

Belum adanya ketegasan dari UU Perikanan menyebabkan kekosongan hukum dari penegakan hukum pidana perikanan. Penentuan WPPNRI bagi tiap-tiap pengadilan diperlukan agar aparat penegak hukum seperti PPNS Perikanan, TNI AL, maupun Kepolisian RI akan mudah dalam mengkoordinasikan kemana kasus pidana perikanan ini akan dilimpahkan. Dalam perkembangannya, ada tindak pidana lain ditemukan dalam kasus tindak pidana di bidang perikanan. Penegak hukum menemukan kejahatan dan pelanggaraan lain seperti masalah keimigrasian, perdagangan orang (human traficking), tenaga kerja ilegal, tenaga kerja di bawah umur, pemilikan obat dan senjata ilegal, atau bahkan narkoba. 

Dalam hal terjadi temuan adanya kasus pidana non perikanan, saat ini tentu dibutuhkan penanganan dan pemeriksaan di peradilan yang berbeda, yakni peradilan umum dan peradilan perikanan. Mengingat kewenangan Pengadilan Perikanan hanya mencakup tindak pidana bidang perikanan sebagaimana diatur dalam UU Perikanan maka saat ada tindak pidana non perikanan yang ditemukan, pengadilan perikanan tidak memiliki kewenangan untuk menangani perkara non perikanan dan mengharuskan kasus non perikanan ini ditangani oleh peradilan umum. Menghadapi hal tersebut ada wacana untuk memperluas yurisdiksi Pengadilan Perikanan untuk menangani juga tindak pidana ikutan yang terjadi daan ditemukan bersamaan dengan tindak pidana perikanan. Wacana lainnya adalah dengan menghapuskan Pengadilan Perikanan dan menempatkan hakim ad hoc perikanan di semua peradilan umum. Kedua wacana ini tentu harus dikaji lebih mendalam. 

C. Penutup 

Dalam menjalankan kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, Pengadilan Perikanan masih menemukan berbagai kendala yang salah satunya bersumber dari norma dalam UU Perikanan itu sendiri. Permasalahan tersebut setidaknya dapat dikelompokkan ke dalam beberapa aspek yakni aspek kelembagaan termasuk di dalamnya sumber daya manusia, aspek hukum materil dan hukum formil, serta aspek yurisdiksi. Berbagai persoalan tersebut menjadi penting dalam rangka perubahan kedua UU Perikanan yang akan dilakukan pembentuk undang-undang. 

Daftar Pustaka 

Buku/Makalah/Wawancara/Diskusi 

  • Asshiddiqie, Jimly., 2013, Pengadilan Khusus dalam Bunga Rampai Putih Hitam Pengadilan Khusus, Komisi Yudisial RI, Jakarta. 
  •  Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan , 23 April 2015, Makalah disampaikan pada FGD Mengenai UU Perikanan di Bagian Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang, Biro Hukum Setjen DPR Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, 5-8 September 2016, 
  • Pengumpulan Data ke Provinsi Maluku dalam rangka Penyusunan Konsep Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Badan Keahlian DPR RI. 
  • Halim, Abdul., Sekretaris Jenderal KIARA, 12 Mei 2015., Diskusi Mengenai UU Perikanan di Bagian Pemantauan dan Pelaksanaan, Biro Hukum Setjen DPR RI. 
  • Hasil pengumpulan data ke daerah, 23 April 2015, Tim pemantauan pelaksanaan undang-undang tentang perikanan, Bagian Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Biro Hukum Setjen DPR RI. Informasi dari Direktorat Polisi Air Polda Kalimantan Barat dalam Pengumpulan Data ke Daerah, 23 April 2015, Tim pemantauan pelaksanaan Undang-Undang tentang Perikanan, Bagian Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Biro Hukum Setjen DPR RI. 
  • Informasi dari Pengadilan Negeri 1A Surabaya, Jawa Timur dalam Pengumpulan Data ke Daerah, 23 April 2015, Tim pemantauan pelaksanaan Undang-Undang tentang Perikanan, Bagian Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Biro Hukum Setjen DPR RI. 
  • Lestari, Maria Maya., Penegakan Hukum Pidana Perikanan Di Indonesia Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 No. 2 Tim BPHN, 1993/1994, Laporan Penelitian Tentang Aspek-Aspek Hukum Pengelolaan Perikanan Di Perairan Nasional Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta. 
  • Tim BPHN, 2007, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengadilan Perikanan, BPHN Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta. Tim BPHN, 2015, Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Bidang Perikanan, Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta. 
  • Wawancara dengan PPNS Perikanan Stasiun PSDKP Belawan dalam Pengumpulan Data ke Daerah, 23 April 2015, Tim pemantauan pelaksanaan Undang-Undang tentang Perikanan, Bagian Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Biro Hukum Setjen DPR RI.

Website 

  • Deskripsi Konsepsi dari DPR dalam pengusulan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019 lihat http://dpr.go.id/prolegnas/ deskripsi-konsepsi/id/93, diakses tanggal 6 Oktober 2016 pukul 10:59 wib. 
  • Deskripsi Konsepsi dari Pemerintah dalam Pengusulan Perubahan Kedua UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019 lihat http:// dpr.go.id/prolegnas/deskripsi-konsepsi2/ id/93, diakses tanggal 6 Oktober 2016 pukul 10:59 wib. 
  • Peraturan Perundang-undangan 

  • Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (LNRI 1997 No.3, TLNRI No.3668).
  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan 
  • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 
  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 
  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (LNRI 2004 No. 11, TLN No. 4433) 
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (LNRI 2002 No. 27, TLN No. 4189). 
  • Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 179 Tahun 2000 tentang Pembentukan Pengadilan Agama Tarutung, Pengadilan Agama Panyabungan, Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci, Pengadilan Agama Ujung Tanjung, Pengadilan Agama Sarolangun, Pengadilan Agama Muara Sabak, Pengadilan Agama Bengkayang, Pengadilan Agama Banjarbaru, Pengadilan Agama Masamba, dan Pengadilan Agama Lewoleba.


Catatan Kaki.

  • 1 Tim BPHN, 2015, Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Bidang Perikanan, Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta, hlm. 2.
  • 2 Deskripsi Konsepsi dari DPR dalam pengusulan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019 lihat http://dpr.go.id/prolegnas/deskripsi-konsepsi/id/93, diakses tanggal 6 Oktober 2016 pukul 10:59 wib. 
  • 3 Ibid. 
  • 4 Deskripsi Konsepsi dari Pemerintah dalam Pengusulan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019 lihat http://dpr.go.id/prolegnas/deskripsi-konsepsi2/id/93, diakses tanggal 6 Oktober 2016 pukul 10:59 wib. 
  • 5 Deskripsi Konsepsi dari DPR, Loc. Cit. 
  • 6 Tim BPHN, 2007, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengadilan Perikanan, BPHN Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hlm.2.
  • 7 Tim BPHN, 2015, Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Bidang Perikanan, Op. Cit, hlm. 42.. 
  • 8 Jimly Asshiddiqie, 2013, Pengadilan Khusus dalam Bunga Rampai Putih Hitam Pengadilan Khusus, Komisi Yudisial RI, Jakarta, hlm.5-6
  • 9 Ibid., hlm.11-12, 
  • 10 Ibid. 
  • 11 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (LNRI 1997 No.3, TLNRI No.3668). 
  • 12 UU Nomor 4 Tahun 1999 (LNRI 1999 No. 135 dan TLN No. 3778) dan Perpu No. 1 Tahun 1998 
  • 13 UU Nomor 26 Tahun 2000 (LNRI 2000 No.208, TLN No. 4026). 
  • 14 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LNRI 2000 no. 137, TLN No. 4250). 
  • 15 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LNRI 2004 No. 6, TLN No. 4356). 
  • 16 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (LNRI 2004 No. 11, TLN No. 4433) 
  • 17 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (LNRI 2002 No. 27, TLN No. 4189). 
  • 18 Pertama kali dibentuk dengan Keputusan Presiden No.11 Tahun 2002. 
  • 19 Lihat UU tentang Otonomi Khusus Papua. 
  • 20 UU tentang Kepolisian Republik Indonesia
  • 21 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
  • 22 Ibid
  • 23 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
  • 24 Tim BPHN, 2007, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengadilan Perikanan, Op. cit.,hlm. 3-4
  • 25 BPHN, 2015, Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Bidang Perikanan, Op. Cit., hlm.45 
  • 26 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, 5-8 September 2016, Pengumpulan Data ke Provinsi Maluku dalam rangka Penyusunan Konsep Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Badan Keahlian DPR RI.
  • 27 Hasil pengumpulan data ke daerah, 23 April 2015, Tim pemantauan pelaksanaan undang-undang tentang perikanan, Bagian Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Biro Hukum Setjen DPR RI. 
  • 28 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit. 
  • 29 Informasi dari Direktorat Polisi Air Polda Kalimantan Barat dalam Pengumpulan Data ke Daerah, 23 April 2015, Tim pemantauan pelaksanaan Undang-Undang tentang Perikanan, Bagian Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Biro Hukum Setjen DPR RI.
  •  30 Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan , 23 April 2015, Makalah disampaikan pada FGD mengenai UU Perikanan di Bagian Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Biro Hukum Setjen DPR RI
  • 31 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc. Cit., 
  • 32 Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loc. Cit. 
  • 33 Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, 12 Mei 2015., Diskusi Mengenai UU Perikanan di Bagian Pemantauan Pelaksanaan UndangUndang, Biro Hukum Setjen DPR RI. 
  • 34 Wawancara dengan PPNS Perikanan Stasiun PSDKP Belawan dalam Pengumpulan Data ke Daerah, 23 April 2015, Tim pemantauan pelaksanaan Undang-Undang tentang Perikanan, Bagian Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Biro Hukum Setjen DPR RI. 
  • 35 Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loc.Cit.,
  • 36 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan, Loc. Cit., 
  • 37 Ibid. 
  • 38 Ibid
  • 39 Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loc. Cit. 
  • 40 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon dalam pengumpulan data ke Provinsi Maluku, Loc. Cit., Hal senada juga disampaikan oleh Direktorat Polisi Perairan Provinsi Maluku dalam Pengumpulan Data yang sama.
  •  41 Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loc. Cit. 
  • 42 Informasi dari Pengadilan Negeri 1A Surabaya, Jawa Timur dalam Pengumpulan Data ke Daerah, 23 April 2015, Tim pemantauan pelaksanaan Undang-Undang tentang Perikanan, Bagian Pemantauan dan Pelaksanaan, Biro Hukum Setjen DPR RI.. 
  • 43 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon dalam pengumpulan data ke Provinsi Maluku, Loc. Cit
  • 44 Lihat Maria Maya Lestari, Penegakan Hukum Pidana Perikanan Di Indonesia Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 No. 2

Komentar