Oleh:
Khopiatuziadah[i]
Dimuat dalam Jurnal Rechtsvinding Online, 1 September 2014
Pada akhir masa
sidang III lalu, Rapat Paripurna DPR mengesahkan salah satu RUU usul inisatif
DPR mengenai Konservasi Tanah dan Air. RUU ini diinisiasi oleh Komisi yang
mebidangi pertanian, perkebunan dan kehutanan, yakni Komisi IV. Jika dilihat dari runtutan waktu, RUU tentang
Konservasi Tanah dan Air sebenarnya bukan ide baru. Usulan pembentukan RUU ini
sudah muncul sejak periode keanggotaan 2000-2004 dan 2004-2009. Pada Prolegnas Jangka Panjang 2010-2014, RUU ini kembali masuk ke dalam
daftar RUU yang akan diselesaikan pada periode tersebut di nomor urut 153 dan
beberapa kali masuk dalam daftar prioritas tahunan, terakhir pada Prolegnas Tahun 2013 Nomor 04A/DPRRI/II/ 2012-2013 dengan nomor urut 61.
Urgensi Konservasi Tanah dan Air
Perlu diketahui
bahwa cakupan “tanah dan air” dalam RUU ini merupakan satu kesatuan. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam yang
tidak terbarukan merupakan sistem pendukung kehidupan yang strategis sebagai modal dasar pembangunan yang berkelanjutan, sehingga
perlu dilindungi kelestariannya untuk kepentingan lintas generasi. Berdasarkan definisinya, tanah diartikan
sebagai lapisan permukaan bumi yang terdiri atas zat padat berupa mineral dan bahan
organik; zat cair; serta udara sebagai satu kesatuan yang berfungsi sebagai
penyangga kehidupan dan media pengatur tata air. Adapun pengertian air dalam konteks
RUU ini adalah air yang terkandung dalam butiran tanah.
Sebagai sumberdaya
yang tidak tak terbatas dan tak dapat diperbaharui, pembentukan lapisan tanah secara alami sangatlah lamban bahkan bisa sampai ratusan
atau ribuan tahun. Sebaliknya
kerusakan dan erosi tanah terjadi secara cepat, dapat dipastikan setiap hari
terjadi erosi tanah sehingga tanah menjadi semakin
kritis dan rusak. Di lain pihak ketersediaan air tanah semakin terbatas
dibandingkan kebutuhannya.
Akibat lanjut dari kekritisan dan kerusakan lahan antara lain terjadinya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan yang mengakibatkan
kerugian triliunan rupiah, korban jiwa dan terganggunya tata kehidupan ekonomi
dan sosial.
Tujuan akhir dari
kegiatan konservasi tanah pada hakikatnya adalah sekaligus mengkonservasi air.
Konservasi tanah dan air merupakan upaya pelindungan,
pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan
kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan
dan kehidupan yang lestari.
Tanah dan air
perlu dimanfaatkan secara optimal dan harus dilindungi dari kerusakan demi
kelangsungan kehidupan masyarakat Indonesia pada saat ini dan waktu yang akan
datang. Hal ini mengingat kemampuan dan kualitas sumberdaya alam khususnya yang berupa tanah tidak
tak terbatas, sedangkan kebutuhan akan tanah dan air makin meningkat antara
lain sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk yang membutuhkan tanah serta
meningkatnya pengetahuan dan teknologi yang pada gilirannya meningkatkan
kebutuhan manusia terhadap sumberdaya tanah dan air.
Konsep Imbal Jasa
Lingkungan dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air
Salah satu materi
dari RUU tentang Konservasi Tanah dan Air yang menekankan konsep hubungan
antara wilayah hulu, tengah, dan hilir yang harmonis dan saling menguntungkan
adalah adanya konsep imbal jasa lingkungan dalam penyelenggaran konservasi
tanah dan air. Dalam kegiatan konservasi tanah dan air
dimungkinkan dikembangkan suatu mekanisme insentif disinsentif melalui
pengembangan jasa lingkungan mengingat kegiatannya sangat dipengaruhi keterpaduan
antar-wilayah administrasi sebagaimana telah dikembangkan dalam bidang
lingkungan hidup.
Ada beberapa pengertian yang
mendefinisikan tentang jasa lingkungan, salah satunya menurut Sriyanto (2007)
dalam Suprayitno (2008:1) jasa lingkungan didefinisikan sebagai jasa
yang diberikan oleh fungsi ekosistem alam maupun buatan yang nilai dan
manfaatnya dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh para
pemangku kepentingan (stakeholder)
dalam rangka membantu memelihara dan/atau meningkatkan kualitas lingkungan dan
kehidupan masyarakat dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem secara
berkelanjutan.
Imbal jasa lingkungan atau Payment for Ecocystem Services adalah instrumen berbasiskan pasar untuk tujuan
konservasi, berdasarkan prinsip bahwa siapa yang mendapatkan manfaat dari jasa
lingkungan, harus membayar untuk keberlanjutan penyediaan jasa lingkungan, dan
siapa yang menghasilkan jasa tersebut harus dikompensasi. Dalam mekanisme imbal jasa lingkungan, penyedia jasa lingkungan menerima pembayaran tergantung dari kemampuan
mereka menyediakan jasa lingkungan yang diinginkan atau melakukan suatu
kegiatan yang sifatnya dapat menghasilkan jasa lingkungan tersebut.
Beberapa prinsip yang harus dipegang
dalam pelaksanaan Payment for Ecocystem
Services, yaitu (1) transaksi sukarela; (2) jasa lingkungan terdefinisikan
dengan baik untuk ditransaksikan; (3) minimal ada satu pembeli; (4) dengan
minimal satu penyedia; dan (5) jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan
mengamankan provisi jasa lingkungan (conditionality).
Pembayaran
imbal jasa lingkungan dalam penyelenggaraan konservasi tanah dan air pada
prinsipnya merujuk pada konsep pembayaran jasa lingkungan (payment
for environmental services) diatas yang mengacu pada 3 (tiga) prinsip, pertama bahwa sepanjang terkait kewajiban
pelayanan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak, Pemerintah mendanai
kegiatan konservasi tanah dan air serta pengelolaan daerah aliran sungai (government pay principle).
Dalam konteks pemerintah sebagai salah satu pelaku,
baik sebagai pembeli jasa atau penjual jasa, maka ada dua prinsip yang perlu
diperhatikan dalam rangka mewujudkan keberlangsungan imbal jasa lingkungan
yakni transparansi dan akuntabilitas public. Dalam prinsip transparansi; pemanfaatan
jasa lingkungan dilakukan secara terbuka dengan kewajiban menyediakan
informasi kepada publik, serta publik mendapatkan akses informasi guna
mengetahui perkembangan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan hutan
tersebut. Sedangkan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik, pemanfaatan jasa lingkungan hutan
harus mampu mempertanggung-jawabkan kinerja dan tindakan pengelolaan kepada publik dan para pihak
yang berkepentingan sesuai dengan mekanisme yang berlaku
Kedua,
penerima manfaat atas sumber daya alam tanah dan air harus membayar untuk
kepentingan konservasi
tanah dan air yang secara teori ekonomi berdasarkan
suatu prinsip bahwa yaitu
penerima manfaat membayar (beneficiaries pay principle).
Ketiga, perusak atau pencemar lingkungan tanah, air dan daerah aliran sungai harus membayar untuk kepentingan konservasi tanah
dan air (polluter
pay principle). Adapun penyedia manfaat lingkungan karena dilakukannya konservasi
tanah dan air akan mendapat insentif atau kompensasi.
Konsep imbal jasa lingkungan pada hakikatnya bukan
merupakan hal yang baru. Dalam tataran yuridis maupun empiris, konsep ini telah
diadopsi dan dipraktikkan. Secara Yuridis beberapa peraturan perundang-undangan
terutama di sektor lingkungan, pertanian dan kehutanan serta sumber daya air
telah mengatur mengenai imbal jasa lingkungan atau sering disebut juga sebagai
pembayaran jasa lingkungan. Selain itu secara empiris, praktik pembayaran imbal
jasa lingkungan telah dipraktikan baik oleh Pemerintah, insiasi dari sekelompok
warga masyarakat maupun antar pemerintah daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembayaran jasa lingkungan merupakan
salah satu instrumen ekonomi lingkungan hidup yang masuk dalam
cakupan intensif dan disintensif. Secara lebih lengkap ketentuan ini dimuat
dalam Pasal 42 dan 43.
Dalam Pasal 42 ayat (2) dinyatakan bahwa Instrumen
ekonomi lingkungan hidup meliputi: perencanaan pembangunan dan
kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan hidup dan insentif dan/atau disinsentif.
Instrumen
perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi meliputi: neraca sumber daya alam
dan lingkungan hidup; penyusunan produk
domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan
sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup; mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah; dan
internalisasi biaya lingkungan hidup {Pasal 43 ayat (1)}. Mekanisme
kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah dijelaskan sebagai cara-cara
kompensasi/imbal yang dilakukan oleh orang, masyarakat, dan/atau pemerintah
daerah sebagai pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan
hidup
Adapun penerapan insentif dan/atau disinsentif
kemudian dijabarkan dalam Pasal 43 ayat (3), yakni bahwa insentif dan/atau
disinsentif lain diterapkan dalam bentuk: pengadaan barang dan jasa
yang ramah lingkungan hidup; penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; pengembangan
sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup; pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan
limbah dan/atau emisi; pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; pengembangan asuransi lingkungan hidup; pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Konsep
sejenis sebetulnya telah juga diatur dalam pengelolaan sumber daya air
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pasal 77 ayat (3) huruf c menyatakan
bahwa salah satu sumber dana pembiayaan sumber daya air dapat diperoleh dari hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air. Secara teknis penentuan besarnya
biaya jasa pengelolaan sumber
daya air didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat
dipertanggungjawabkan
{Pasal 80 ayat (3)}.
Pada
sektor kehutanan, pembayaran jasa lingkungan terkait pemanfaatan kawasan hutan
telah diatur dalam berbagai peraturan pemerintah diantaranya PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, PP No. 24 Tahun 2010 tentang pemanfaatan jasa
lingkungan panas bumi masih terbatas pada hutan produksi dan hutan lindung
tentang penggunaan kawasan hutan dan
PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang menyebutkan pembayaran merupakan
salah satu dana lingkungan.
Secara empiris, skema imbal jasa lingkungan dapat dilaksanakan antara penyedia dan penerima manfaat jasa lingkungan
dalam kerangka G to G (Government to
Government), G to C (Government to
Community), G to P (Government to
Privat), C to C (Community to Community), C to
P (Community to Privat), P to P (Privat to Privat) dan sebaliknya. Pihak yang dapat bertindak
sebagai fasilitator dapat diperankan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah
Lembaga Swadaya masyarakat (LSM/NGO), dan juga organisasi non-profit.
Beberapa best practices terkait konsep pembayaran jasa lingkungan telah
dipraktikkan di beberapa daerah di Indonesia dalam berbagai kerangka. Dalam
kerangka G to G misalnya, hal ini dipraktikkan oleh Pemerintah Daerah Kuningan
dan Cirebon. Kuningan merupakan wilayah hulu yang menjadi sumber penyediaan air
bagi wilayah hilir salah satunya di wilayah Cirebon. Best practice lainnya yang menjadi salah satu objek penelitian
empiris dalam rangka penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Konservasi Tanah
dan Air adalah praktek imbal jasa lingkungan dalam kerangka C to P (Community
to Privat) antara masyarakat kelompok tani di hulu Cidanau
dengan PT Krakatau Tirta Indah (PT KTI) yang merupakan anak perusahaan dari PT
Krakatau Steel.
Kelompok Tani Karya Muda II merupakan salah
satu kelompok tani di wilayah Gunung Karang yang melakukan kontrak/perjanjian
pembayaran jasa lingkungan dengan PT Krakatau Tirta Industri
melalui/difasilitasi oleh Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai Cidanau (FKDC).
Perjanjian pembayaran jasa lingkungan terbagi dua, yakni perjanjian antara FKDC
dengan PT KTI dan antara FKDC dengan para kelompok tani.
Dasar perjanjian pembayaran jasa lingkungan
ini adalah naskah kesepahaman antara FKDC dengan PT KTI dengan dilandasi azas
kesukarelaan (voluntary agreement) untuk memelihara ekosistem (lingkungan) Derah
Aliran Sungai Cidanau dan ditujukan untuk mendorong percepatan upaya
rehabilitasi ekosistem (lingkungan) dengan objek perjanjian adalah produk jasa
lingkungan dalam bentuk sumber daya air yang dihasilkan oleh Derah Aliran
Sungai Cidanau.
FKDC dan PT.
Krakatau
Tirta
Industri
(KTI) membuat kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan dalam
Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan, dengan jangka waktu untuk 5 (lima) tahun
(2005-2009). Kesepakatan penting tersebut antara lain; KTI menunjuk FKDC
sebagai lembaga yang mewakili kepentingan KTI sebagai buyer di
masyarakat yang telah ditetapkan sebagai produsen jasa lingkungan (seller) di hulu DAS Derah Aliran Sungai Cidanau, KTI secara sukarela (voluntary) membayar
jasa lingkungan atas pemanfaatan sumber daya air Derah Aliran Sungai Cidanau.
Pada
intinya ruang lingkup perjanjian adalah bahwa pihak FKDC (sebagai fasilitator
dari PT KTI) membayarkan jasa lingkungan kepada pihak kelompok tani sebesar
1.200.000 per hektar per tahun selama masa kontrak (5 tahun) sedangkan pihak
kelompok tani bersedia membangun dan memelihara hutan dengan tanaman jenis
kayu-kayuan dan jenis buah-buahan. Jenis tanaman yang diberkan jasa lingkungan
adalah semua jenis tanaman kehutanan termasuk tanaman multi-purpose trees species (MPTS) berdasarkan ketentuan kehutanan
dan perkebunan kecuali jenis kayu kayuan polong-polongan.
Dengan diakomodasinya
pengaturan yang lebih kuat terkait praktik imbal jasa lingkungan dalam
penyelenggaraan konservasi tanah dan air, diharapkan kegiatan semacam ini
menjadi pemicu timbulnya kesadaran untuk membangun hubungan yang saling
menguntungkan secara sukarela antara wilayah hulu dan hilir yang pada akhirnya
memberikan kemanfaatan kepada kedua belah pihak.
[i] Perancang Undang-Undang Sekretariat
Jenderal DPR RI, untuk korespondensi melalui zaha.alin@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan komentar anda di sini. Untuk penggunaan referensi harap mencantumkan sumber.