(Redenomination
of Rupiah Towards ASEAN Economic Community 2015)
Khopiatuziadah
Tulisan dimual di Jurnal Perundang-undangan Prodigy Volume 2 Nomo2 Desember 2014
Abstrak
Pertumbuhan perekonomian Indonesia beberapa tahun belakangan dinilai cukup
pesat di tengah kondisi ekonomi dunia yang melemah. Tingginya pertumbuhan
ekonomi mengakibatkan meningkatnya transaksi keuangan dan jumlah uang yang
beredar. Namun kondisi ekonomi yang baik
tersebut belum didukung dengan nilai pecahan uang rupiah yang efisien. Saat ini
rupiah memiliki jumlah digit yang terlalu banyak. Hal ini berpotensi
menyebabkan inefisiensi dalam transaksi ekonomi serta mempengaruhi kesetaraan kredibilitas rupiah dibandingkan dengan
mata uang negara lain. Bank Indonesia telah lama mewacanakan
penerapan kebijakan redenominasi yakni penyederhanaan jumlah digit pada denenominasi
atau pecahan rupiah tanpa mengurangi daya belinya. Pada periode keanggotaan DPR
2009-2014, Bank Indonesia melalui pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU tentang Perubahan Harga Rupiah) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). RUU tersebut tidak dapat diselesaikan sesuai target
karena kendala waktu dan situasi politik yang kurang mendukung. Namun demikian,
mengingat tuntutan ekonomi dan persaingan global, kebijakan redenominasi tetap
penting untuk diterapkan terlebih dengan dimulainya era Masyarakat Ekonomi
ASEAN 2015 ini. Redenominasi merupakan salah satu cara meningkatkan kesetaraan
dan kredibilitas nilai rupiah di kawasan Asia Tenggara.
Kata kunci: redenominasi, rupiah, Masyarakat Ekonomi
ASEAN
Abstract
In these last
few years, Indonesian economic growth is significantly increasing in the middle
of weaking world economy. The great economic growth results in the increasing
financial transactions and money circulation. However this good economic growth
is not supported yet with the efficient denomination of Indonesian Rupiah.
Nowadays, Indonesian Rupiah denomination has so many digits. This potentially
causes inefficient economic transactions and influence the equality and
credibility of Indonesian Rupiah among other currencies. Bank Indonesia has
been recognizing the plan of redenomination policy which is simplify the digits
of denomination of rupiah without decreasing its value. In the 2009 – 2014
Parliamentary periods, Bank Indonesia through the Government proposes the draft of the redenomination
bill to the House of Representatives. Such bill could be not completed as
targeted due to time constraint and the political situation. However, considering the
economic demand and global competition, redenomination policy is still crucial to be
implemented especially towards/ to face ASEAN Economic Community 2015. Redenomination is one
policy to increase the equality and credibility of rupiah value in South East region.
Keyword: redenomination, rupiah, ASEAN Economic Community
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, ekonomi nasional
berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam tiga tahun terakhir
pertumbuhan ekonomi nasional berada di atas 6,0% sedangkan tingkat inflasi dalam
tren menurun, nilai rupiah juga relatif stabil. Pesatnya perkembangan ekonomi
diikuti dengan meningkatkan transaksi keuangan di masyarakat. Seiring dengan peningkatan transaksi
tersebut, jumlah digit mata uang yang digunakan dalam bertransaksipun semakin
meningkat.[1]
Pertumbuhan perekonomian nasional sebagai indikator makro yang
menggambarkan pertumbuhan barang dan jasa memerlukan kebijakan yang mendukung efisiensi
perekonomian untuk meningkatkan daya saing nasional. Guna menjaga kesinambungan
perkembangan perekonomian nasional diperlukan jumlah uang rupiah yang cukup dan
dalam pecahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta tetap terjaganya
nilai rupiah yang stabil sebagai wujud terpeliharanya daya beli
masyarakat. Hal ini mengingat pentingnya
fungsi uang rupiah dalam kehidupan masyarakat modern sebagai medium of exchange atau alat pembayar
sekaligus penyimpan nilai. Selain itu, kestabilan dan kekuatan nilai mata uang rupiah
seringkali dipersepsikan sebagai cerminan kemajuan perekonomian nasional dan
simbol kedaulatan serta kebanggaan bangsa Indonesia.
Pencapaian perkembangan perekonomian nasional saat ini
belum didukung dengan nilai pecahan uang rupiah yang efisien. Saat ini rupiah
memiliki jumlah digit yang terlalu banyak sehingga berpotensi menyebabkan
inefisiensi dalam transaksi ekonomi di masa yang akan datang. Inefisiensi
terjadi antara lain ketika masyarakat harus membawa jumlah uang yang besar
untuk membiayai transaksi sehari-hari yang cukup sederhana. Uang dengan jumlah
digit yang terlalu banyak akan menimbulkan kerumitan perhitungan dalam
transaksi ekonomi sehingga berpotensi menimbulkan kekeliruan serta memakan
waktu lebih lama. Selain itu, akan terjadi kebutuhan untuk menyesuaikan alat
transaksi elektronik dan sistem teknologi informasi karena nilai transaksi yang
semakin membesar dengan cepat.
Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan amanat
Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang
menyebutkan “perubahan harga mata uang diatur dengan Undang-Undang”, maka perubahan
harga rupiah perlu diatur dalam undang-undang yang diharapkan dapat menjadi landasan yuridis yang kuat bagi pelaksanaan
kebijakan perubahan harga rupiah atau disebut sebagai redeniminasi sehingga kebijakan
redenominasi dapat diimplementasikan dengan baik dan meningkatkan posisi mata
uang rupiah.
Redenominasi merupakan penyederhanaan jumlah digit pada denominasi atau
pecahan mata uang tanpa mengurangi daya beli, harga, atau nilai tukar mata uang
tersebut terhadap harga barang dan/atau jasa. Secara lebih sederhana,
redenominasi adalah penyederhanaan penyebutan atau penulisan denominasi mata
uang suatu negara. Terdapat persepsi yang keliru di masyarakat yang
menyamakan redenominasi dengan sanering. Redenominasi berbeda dengan sanering. Nilai uang
pada redenominasi cenderung tetap,
sedangkan nilai uang pada sanering cenderung menurun. Hal-hal semacam inilah yang membutuhkan sosialisasi di masyarakat sehingga
ada pemahaman yang tepat dan menyeluruh tentang kebijakan redenominasi.
Pada masa keanggotaan DPR tahun 2009-2014, Bank Indonesia
melalui Pemerintah mengajukan usul RUU tentang Perubahan Harga Rupiah kepada DPR.
RUU tentang Perubahan Harga Rupiah merupakan salah satu rancangan undang-undang
dalam Program Legislasi Nasional prioritas tahun 2014. Pada akhir masa
keanggotaan DPR tersebut, Badan Musyawarah DPR menugaskan Panitia Khusus yang
terdiri dari lintas komisi untuk membahas bersama RUU tentang Perubahan Harga
Rupiah dengan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan.
Sebelum disusunnya daftar inventarisasi masalah oleh
masing-masing fraksi di DPR, Panitia
Khusus RUU tentang Perubahan Harga
Rupiah telah melakukan jaring aspirasi masyarakat ke berbagai daerah guna mendapat masukan dari berbagai unsur masyarakat
terkait RUU yang disampaikan oleh Pemerintah tersebut, antara lain ke Provinsi
Kepulauan Riau, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Bali, Provinsi Jawa Timur,
Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Papua Barat. Jaring aspirasi atau
pendapat masyarakat ini melibatkan berbagai pihak di antaranya civitas
akademika dari berbagai universitas, kalangan dunia perbankan dan jasa
keuangan, para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri
(KADIN), pihak otoritas jasa keuangan, dan para pengusaha yang tergabung dalam
asosiasi pedagang valuta asing.
Proses pembahasan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah ternyata
kemudian tidak berlanjut kepada tingkat pembahasan pertama karena terkendala
oleh keterbatasan waktu dan suasana politik. Terbatasnya waktu dan suasana politik saat itu kurang mendukung diwujudkannya kebijakan redenominasi
melalui pengesahan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. Hal ini mengingat salah
satu syarat penerapan kebijakan perubahan harga mata uang adalah stabilnya
kondisi politik di samping stabilitas kondisi ekonomi suatu negara.
Meskipun gagal disahkan pada periode keanggotaan DPR
tahun 2009–2014, namun kebijakan redenominasi ini masih penting untuk
diwujudkan mengingat adanya tuntutan ekonomi global terhadap nilai mata uang
rupiah yang kuat. Salah satu landasan sosiologis pentingnya penerapan kebijakan
redenominasi adalah guna mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara-negara
di kawasan Asia Tenggara lainnya dalam
memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Pada tahun 2015
negara-negara ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) akan memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Redenominasi akan membuat pecahan mata uang rupiah menjadi sederhana. Hal ini
akan memfasilitasi kesetaraan kredibilitas rupiah dibandingkan dengan mata uang
negara lain di kawasan yang selanjutnya akan membangun kebanggaan masyarakat
terhadap mata uang rupiah. Meningkatnya kebanggaan masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah, sehingga dapat menurunkan potensi masyarakat untuk mensubstitusikan mata uangnya
ke mata uang negara lain yang dipandang lebih aman.[2]
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan
yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan
ini adalah apa urgensi penerapan kebijakan redenominasi dalam
menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015?
C. Tujuan
Tulisan ini ditujukan untuk mengkaji urgensi penerapan
kebijakan redenominasi dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015.
D. Metode Penulisan
Tulisan
ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif
yakni dengan melakukan pengkajian terhadap sumber-sumber kepustakaan yang
terdiri dari berbagai literatur terkait dengan kebijakan redenominasi serta
mengkaji naskah pendukung dari berbagai peraturan perundang-undangan terkait.
Data yang diperolah disajikan secara deskriptif analitis guna memberikan
gambaran yang mendalam sekaligus tetap mengemukakan analisis terhadap permasalahan yang ingin dikaji.
II. Pembahasan
A. Kerangka Konsepsional
1. Perubahan Harga Mata Uang
Secara konsepsional perubahan suatu harga mata uang dapat dilakukan dengan
cara yang berbeda-beda dan melahirkan kebijakan dan implementasi yang berbeda
pula. Perubahan harga mata uang dapat
dilakukan dengan cara antara lain:
a. Devaluasi[3]
Kebijakan Pemerintah menurunkan nilai tukar mata uang domestik terhadap
mata uang asing secara resmi antara lain bertujuan untuk meningkatkan daya
saing produk eskpor. Devaluasi akan membuat harga ekspor barang dan jasa
menjadi lebih murah dan harga barang impor menjadi lebih mahal sehingga
berdampak pada meningkatnya net ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian,
kebijakan ini berdampak pada meningkatnya biaya pembayaran utang luar negeri. Selain itu, pada negara yang sangat bergantung pada barang dan jasa impor, devaluasi ini
berpotensi meningkatkan inflasi di dalam negeri. Indonesia pernah menerapkan
kebijakan devaluasi pada tahun 1971, 1978, 1983, dan terakhir pada tahun 1986
saat menerapkan kebijakan nilai tukar tetap dan mengambang terkendali.
b. Revaluasi[4]
Kebijakan ini berlawanan dengan
kebijakan devaluasi, yakni kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan
nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing secara resmi. Kebijakan
ini biasanya ditujukan untuk menekan inflasi dan menurunkan biaya produksi
dalam negeri dari negara yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada
produk impor. Namun demikian, kebijakan ini berdampak pada menurunnya
daya saing produk eskpor dan meningkatnya impor sehingga berdampak pada
menurunnya net ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Tiongkok merupakan salah satu
negara yang beberapa kali menerapkan kebijakan ini seiring dengan tingginya
arus modal asing ke dalam negeri di tengah penerapan rezim nilai tukar yang
cenderung tetap.
c. Sanering[5]
Sanering
adalah kebijakan Pemerintah
untuk memotong nilai uang yang ada, terkait
dengan jumlah uang beredar yang ada di masyarakat. Namun demikian, kebijakan ini hanya dilakukan di
sisi moneter tanpa melakukan perubahan di sisi riil. Akibatnya, nilai uang
menurun sementara harga barang dan jasa tetap atau tidak berubah dan bahkan cenderung meningkat. Hal
ini menyebabkan daya beli efektif masyarakat menurun.
Dalam perjalanan
sejarah, Pemerintah Indonesia tercatat pernah melakukan kebijakan
sanering pada tanggal 19 Maret 1950 (dikenal dengan istilah “Gunting Syafrudin”), 25 Agustus 1959, dan 13 Desember
1965. Kondisi perekonomian nasional pada saat itu
sangat buruk, tercermin dari Pertumbuhan Domestik Bruto
(PDB) yang sangat rendah, inflasi sangat tinggi dan investasi merosot tajam.
Salah satu mekanisme kebijakan sanering yang berlaku mulai tanggal 25 Agustus
1959 adalah:[6]
1) Penurunan nilai
uang kertas Rp500,- dan Rp1.000,- menjadi Rp50,- dan Rp100,-.
2)
Pembekuan sebagian simpanan pada Bank
(giro dan deposito) sebesar 90 persen dari jumlah simpanan di atas
Rp25.000,- dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti
menjadi simpanan jangka panjang oleh Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1959 tentang
Penurunan Nilai Uang Kertas Rp. 500,- dan Rp. 100,- tanggal 24 Agustus 1959.
Kebijakan sanering
tersebut memberikan beberapa dampak di bidang moneter, seperti
menurunkan jumlah uang beredar, meningkatkan keuntungan pemerintah yang
kemudian digunakan untuk mengurangi kerugian kas negara, dan mengurangi
likuiditas bank. Namun, likuiditas bank yang berkurang membuat pemberian
kredit bank terhadap perusahan produksi, distribusi, dan ekspor-impor
menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan kenaikan harga barang dan biaya
hidup. Kebijakan sanering pada tahun 1959 tersebut dianggap
gagal karena justru memperburuk keadaan ekonomi, yakni terjadinya hiperinflasi.
c. Redenominasi[7]
Redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan
jumlah digit pada denominasi atau pecahan mata uang tanpa mengurangi daya beli,
harga, atau nilai tukar mata uang tersebut terhadap harga barang dan/atau jasa. Secara lebih sederhana, redenominasi adalah
penyederhanaan penyebutan atau penulisan denominasi mata uang suatu negara.
Redenominasi mata uang rupiah pada dasarnya ditujukan untuk mengatasi
tantangan dan kendala teknis, meningkatkan efisiensi perekonomian, serta
memupuk kebanggaan nasional terhadap mata uang rupiah. Dengan
semakin banyaknya jumlah digit yang digunakan dalam denominasi uang rupiah selama ini menimbulkan inefisiensi
perekonomian. Demikian
pula hambatan teknis yang seringkali menyulitkan, terutama dalam hal penyajian
dan penyimpanan data, serta pemrosesan dan penyelesaian transaksi. Dari sisi psikologis, digit yang lebih sederhana
dapat memupuk kebanggaan masyarakat terhadap mata uang rupiah. Hal ini karena adanya kesetaraan nilai tukar
mata uang rupiah
dengan negara lain yang kondisi perekonomiannya kurang lebih serupa dengan
Indonesia.
Berbeda dengan sanering, redenominasi sebenarnya
hanya mengubah tampilan nilai mata uang. Dengan demikian, redenominasi seharusnya tidak
mengakibatkan menurunnya nilai relatif (daya beli) uang terhadap barang dan
jasa. Sebagai
contoh, jika 1 kg beras dijual dengan harga Rp6.000,-/kg, setelah redenominasi
1 kg beras dijual dengan harga Rp6,-/kg.
Namun demikian, berkaca dari pengalaman yang buruk
dari penerapan sanering pada tahun 1959 serta adanya sebagian masyarakat yang
secara psikologis masih trauma akibat kebijakan tersebut, perlu adanya
komunikasi dan penjelasan yang mendalam mengenai pengertian dan perbedaan
antara redenominasi dan sanering. Hal ini karena secara prinsipil, sanering
berbeda dengan redenominasi. Indonesia pernah menerapkan kebijakan redenominasi
pada tahun 1965 melalui Penetapan Presiden Nomor 27 Tahun 1965 tentang Pengeluaran
Uang Rupiah Baru yang Berlaku sebagai Alat Pembayaran yang Sah bagi Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Penarikan Uang rupiah Lama dari Peredaran yang
implementasinya dengan menerbitkan uang Rupiah baru yang perbandingan nilainya
Rp.1 uang
baru setara dengan Rp.1.000 uang
lama dan Rp.1 uang Irian
Barat.[8]
Sosialisasi yang memadai untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa redenominasi berbeda dengan
sanering menjadi sangat penting. Kegagalan penerapan sanering di masa lalu dan
pengertiannya yang tampak sama dengan redenominasi secara psikologis
mempengaruhi dukungan dari masyarakat terhadap kebijakan redenominasi. Untuk
mempermudah pemahaman terhadap perbedaan antara kebijakan redenominasi dan
sanering, berikut ini adalah tabel perbedaannya yaitu:[9]
PERBEDAAN
|
REDENOMINASI
|
SANERING
|
Definisi
|
Redenominasi
adalah menyederhanakan denominasi
(pecahan) mata
uang menjadi pecahan
lebih sedikit dengan
cara mengurangi digit
(angka nol) tanpa mengurangi
nilai mata uang
tersebut, misal Rp1.000
menjadi Rp1.
Hal yang
sama secara bersamaan
dilakukan juga pada
harga barang, sehingga
daya beli masyarakat
tidak berubah.
|
Pemotongan daya
beli masyarakat
melalui pemotongan
nilai uang.
Hal yang sama tidak dilakukan pada harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
|
Dampak bagi
masyarakat
|
Tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama.
|
Menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis.
|
Tujuan
|
-
Penyederhanaan
pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakukan transaksi.
-
Mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia
dengan negara regional.
-
|
Mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga. Dilakukan karena terjadi hiperinflasi (inflasi yang
sangat tinggi).
|
Nilai uang terhadap
barang
|
Tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan uang saja
yang disesuaikan.
|
Berubah menjadi lebih kecil, karena yang
dipotong adalah nilainya.
|
Kondisi saat dilakukan
|
Kondisi makroekonomi stabil. Ekonomi tumbuh
dan inflasi terkendali.
|
Dilakukan dalam kondisi makroekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi).
|
Masa transisi
|
Dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat siap,
agar tidak menimbulkan
gejolak di masyarakat.
|
Tidak ada masa transisi, dilakukan secara tiba-tiba.
|
Contoh : harga 1 liter
bensin = Rp.4500,00
|
Contoh bila terjadi redenominasi 3 digit (3 angka nol). Dengan uang sebanyak
Rp.4,5 tetap dapat
membeli 1 liter bensin, karena harga 1 Liter bensin juga
dinyatakan. Dalam satuan pecahan
yang sama (baru).
|
Contoh bila terjadi Sanering per seribu
Rupiah:
Dengan Rp.4,5 hanya dapat membeli 1/1000
liter (0,001 liter).
|
2. Praktik Kebijakan Redenominasi di Beberapa
Negara
Kebijakan redenominasi sudah pernah dipraktikkan di
beberapa negara. Beberapa negara sukses menjalankan kebijakan ini seperti Turki
dan Rumania, namun ada beberapa negara yang gagal menerapkan
kebijakan tersebut di antaranya Brazil dan Zimbabwe.
a.
Turki
Turki merupakan salah satu negara yang sukses menerapkan
kebijakan redenominasi. Bank Sentral Turki melakukan kebijakan redenominasi
pada tahun 2005 untuk dua alasan. Pertama, alasan teknis mengingat
banyaknya angka nol pada mata uang memperumit perhitungan transaksi keuangan. Kedua,
redenominasi dilakukan untuk meningkatkan kredibilitas perekonomian. Keberadaan mata uang (bank note) sebesar 20.000.000 merupakan hal yang sangat tidak wajar
di perekonomian internasional. Hal ini telah dianggap mengakibatkan efek yang negatif pada
kredibilitas perekonomian Turki. [10]
Redenominasi dianggap perlu dilakukan sebagai pernyataan komitmen
pemerintah untuk menekan tingkat inflasi setelah pada tahun 2004 untuk pertama
kalinya sejak tahun 1972, Turki mengalami inflasi satu digit pada tahun
tersebut. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan umum Turki sejak
dimulainya reformasi ekonomi yang didukung International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2001 yang juga
merupakan bagian dari rencana Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa. [11]
Turki melaksanakan kebijakan
redenominasi dalam beberapa tahapan sebagai berikut:[12]
1)
Pada tanggal 1 September s/d 30 Desember 2004
dilakukan sosialisasi secara menyeluruh selama 4 bulan.
2)
Tanggal 30 September 2004 infrastruktur payment system dan information technology telah siap.
3)
Tanggal 31 Desember 2004 UU Redenominasi
diberlakukan dan dilakukan konversi. Seluruh rekening dari mata uang lama (TL)
ke mata uang baru (YTL) dan dimulai peredaran mata uang baru.
4)
1 Januari 2005 dilakukan pengedaran mata uang baru.
5)
1 Januari s/d 31 Desember 2005 mata uang lama dan
baru masih beredar dan berlaku.
6)
1 Januari 2006 kata baru (Yeni) pada YTL dihilangkan.
Suksesnya penerapan kebijakan redenominasi dipengaruhi
oleh faktor-faktor kunci sebagai berikut:[13]
1. Adanya kebutuhan seluruh lapisan masyarakat terhadap
penyederhanaan jumlah digit mata uang Turkish Lira. Penyederhanaan tersebut telah dirasakan sebagai suatu kebutuhan oleh
masyarakat, baik di sektor riil maupun sektor keuangan seperti perbankan, pasar
modal dan sistem pembayaran.
2.
Pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat, yakni dilaksanakan pada saat kondisi fundamental perekonomian Turki cukup
kuat dengan tren inflasi yang menurun.
3. Tersedianya landasan hukum. Penghapusan 6 digit mata uang Turki dan penambahan
prefix “New” (atau “Yeni” dalam bahasa Turki) di depan nama Turkish Lira diatur
dalam Law No. 5083 on the Currency Unit
of the Republic of Turkey yang berlaku sejak 1 Januari 2005. Dengan diberlakukannya
undang-undang tersebut, price tagging,
dokumen legal serta laporan keuangan dapat menggunakan TL dan YTL hingga 31
Desember 2005.
4.
Adanya dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah dan seluruh
otoritas terkait serta praktisi bisnis.
5. Kampanye dan edukasi publik yang intensif. Kegiatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dilakukan secara
intensif untuk memberikan informasi dan regulasi yang berkaitan dengan program
redenominasi melalui berbagai media seperti televisi, radio, surat kabar, seminar,
dan situs resmi redenominasi Turki (website:
www.ytl.gen.tr). Di samping itu, dilakukan pula kampanye di sekolah, universitas, penyediaan pusat informasi dan email yang dapat menampung
pertanyaan, kritik, dan saran dari masyarakat.
6. Tidak menurunkan daya beli. Redenominasi mata uang Turkish Lira tidak mengakibatkan menurunnya nilai
relatif (daya beli) uang terhadap harga barang dan jasa.
7. Kondisi sosial politik yang kondusif.
b. Rumania[14]
Rumania melakukan redenominasi pada tanggal 1 Juli 2005
dengan menghilangkan 4 digit mata uangnya. Alasan utama Rumania melakukan
redenominasi yaitu adanya keinginan untuk bergabung dengan Euro. Rumania
melakukan persiapan yang sangat terencana untuk memenuhi keinginannya bergabung
dengan mata uang tunggal Euro tersebut. Sebelum dilakukan redenominasi di tahun
2005 perekonomian Rumania menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang cukup
signifikan yaitu tingkat inflasi yang terus mengalami penurunan. Otoritas
fiskal berhasil menekan budget defisit
dari rata-rata 3% menjadi hanya sekitar 1,1% dari GDP di tahun 2004. National Bank of Rumania (NBR) sebagai
otoritas moneter terus melakukan pengetatan kebijakan moneter dengan
mempertahankan suku bunga policy rate
pada level 17% di akhir tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi di tahun 2004 meningkat
cukup pesat yaitu sebesar 8,3%. Nilai tukar mata uang lama (ROL) terhadap EUR
cenderung mengalami apresiasi dari tahun
ke tahun.
Adapun beberapa pentahapan yang dilalui Rumania sebelum
dilakukan redenominasi adalah:
1)
14 Juli 2004 pemberlakuan Undang-Undang mengenai
Redenominasi.
2)
1 Maret 2005
s/d 30 Juni 2006 pemberlakuan dua harga (dual
pricing) mata uang lama dan baru.
3)
1 Juli 2005 uang baru (kertas dan logam) diedarkan.
4)
1 Juli 2005 s/d 31 Desember 2006 peredaran dua mata
uang dan penarikan gradual uang lama.
5)
1 Januari 2007 uang lama tidak berlaku.
6)
Sejak 1 Januari
2007 sampai dengan waktu yang tidak ditentukan, uang lama dapat ditukar
dengan uang baru.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan
program redenominasi di Rumania yakni sebagai berikut:[15]
1) Adanya kebutuhan seluruh lapisan masyarakat terhadap
penyederhanaan jumlah digit mata uang Leu.
2) Pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat. Waktu pelaksanaan redenominasi di Rumania pada tanggal 1 Juli 2005 dilakukan berdasarkan pertimbangan
kondisi makroekonomi Rumania yang relatif lebih stabil, yang ditandai oleh
tingkat inflasi yang mengarah ke satu digit setahun menjelang penerapan redenominasi. Selain itu ada faktor non-ekonomi, yaitu dilakukan pada musim panas
karena di musim ini mendukung persiapan logistik penyediaan dan distribusi uang
logam dan kertas baru. Selain itu, di
musim panas faktor psikologis masyarakat umumnya lebih baik dibandingkan dengan
musim dingin (awal tahun).
3)
Tersedianya landasan hukum. Dalam sistem ketatanegaraan Rumania, National Bank of Romania (NBR) tidak
memiliki hak inisiatif untuk mengajukan undang-undang. NBR mengajukan usulan kebijakan redenominasi kepada Pemerintah Rumania,
yang selanjutnya melalui Ministry of
Public Finance (MPF) mengajukan dukungan kepada parlemen. NBR bersama-sama dengan MPF menyusun RUU Redenominasi dan akhirnya
mendapatkan pengesahan dari parlemen dan diundangkan kepada publik pada 14 Juli
2004.
4) Adanya dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah
dan seluruh otoritas terkait serta praktisi bisnis.
5) Kampanye dan edukasi publik yang intensif. Target utama kampanye di Rumania adalah
masyarakat yang berpendidikan rendah karena kelompok ini lebih sulit untuk
memahami redenominasi. Komunikasi yang
intensif dilakukan Pemerintah Romania melalui berbagai sarana komunikasi, baik
formal (TV dan radio pemerintah, TV swasta, kerjasama dengan kementrian dalam
negeri, kementrian luar negeri, perusahaan penerbangan, dan kantor pos) maupun
informal (mendayagunakan para pendeta untuk menyampaikan pesan redenominasi
kepada umatnya). Disamping itu, terdapat penyediaan brosur, helpdesk, dan survei terhadap pemahaman
dan pemantauan umpan balik dari publik.
6) Tidak menurunkan daya beli. Redenominasi Mata Uang Leu tidak mengakibatkan menurunnya nilai relatif
(daya beli) uang terhadap harga barang dan jasa.
7) Kondisi sosial politik yang kondusif.
Belajar dari pengalaman Turki dan Rumania, keberhasilan pelaksanaan
kebijakan redenominasi dipengaruhi oleh sinergi kondisi fundamental
perekonomian nasional yang kuat serta dukungan stabilitas kondisi perekonomian
internasional. Namun beberapa prasyarat utama dari keberhasilan pelaksanaan redenominasi
tersebut yaitu:[16]
a.
Stabilitas makroekonomi yang terjaga yang antara lain ditandai dengan
tingkat inflasi yang stabil dan dalam tren menurun, pertumbuhan ekonomi yang
meningkat, serta stabilitas nilai tukar;
b.
Adanya dukungan seluruh lapisan masyarakat;
c.
Adanya landasan hukum yang kuat;
d.
Kondisi sosial politik yang kondusif; dan
e.
Penentuan waktu (timing)
yang tepat bagi pelaksanaan redenominasi.
d. Brazil[17]
Berbeda dengan Turki dan Rumania, Brazil
gagal menerapkan kebijakan redenominasi. Faktor-faktor
yang diperkirakan sebagai penyebab ketidakberhasilan pelaksanaan redenominasi
di Brazil antara lain sebagai
berikut:
1)
Pemilihan waktu
pelaksanaan yang tidak tepat. Redenominasi di Brazil dilakukan
ketika kondisi makroekonomi masih belum stabil, yang ditandai dengan tingginya
inflasi disertai rendahnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi makro yang
tidak kondusif tersebut terus berlangsung meskipun pemerintah telah melakukan stabilisasi perekonomian. Fokus program
stabilisasi adalah balancing the budget,
monetary targeting, dan privatisasi/liberalisasi perdagangan. Selain
itu, Brazil mengalami defisit fiskal yang sangat besar untuk pembiayaan
pembangunan yang tidak bersumber dari penerimaan pajak, melainkan dengan
menerbitkan uang.
2)
Kondisi sosial
politik yang tidak kondusif. Adanya keresahan masyarakat akibat
tingginya harga barang dan jasa, sehingga secara psikologis masyarakat tidak
siap ketika pemerintah melaksanakan kebijakan redenominasi.
d. Zimbabwe[18]
Adapun kegagalan redenominasi di Zimbabwe antara lain disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu:
1)
Pemilihan waktu
pelaksanaan yang tidak tepat. Pemerintah Zimbabwe melakukan program
redenominasi pada saat inflasi sangat tinggi dengan harapan akan dapat
menurunkan tingkat inflasi tersebut. Namun yang terjadi justru sebaliknya,
inflasinya menjadi tidak terkendali. Hal tersebut lebih disebabkan oleh
kebijakan bank sentral Zimbabwe (Reserve
Bank of Zimbabwe-RBZ) yang melakukan quasi
fiscal activities (QFA) yaitu turut aktif membiayai anggaran pemerintah,
seperti subsidi dan pembiayaan pengeluaran langsung (direct expenditures), sehingga menyebabkan RBZ harus melakukan
pencetakan uang (money creation) dan
penerbitan surat utang. Kebijakan ini menyebabkan semakin buruknya kinerja
perekonomian yaitu meroketnya tingkat inflasi hingga mencapai 2.660.522% (pada 2008),
yang merupakan salah satu inflasi tertinggi di dunia.
2)
Kondisi sosial
politik yang tidak kondusif. Kondisi makroekonomi yang tidak stabil
berpengaruh pula terhadap kondisi sosial politik di Zimbabwe. Ketidakstabilan
tersebut memicu keresahan publik, terutama karena meroketnya harga barang dan
jasa.
Dari kasus Brazil dan Zimbabwe dapat dipahami bahwa penyebab utama
kegagalan redenominasi adalah tingkat stabilitas ekonomi yang belum
mantap, laju inflasi yang tidak menentu, kurangnya sosialisi
dari pemerintah, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang diambil pemerintah, dan
dilakukan tanpa perencanaan yang tepat.
3. Masyarakat Ekonomi ASEAN
ASEAN merupakan organisasi regional di kawasan Asia
Tengara yang bergerak di bidang kerjasama politik dan ekonomi. Lahirnya ASEAN
tidak terlepas dari disepakatinya ketentuan dalam Bangkok Declaration 1967.
Seiring waktu, ASEAN yang semula berbentuk loose
organization atau organisasi informal berubah menjadi organisasi yang
bersifat rules-based berdasarkan
ASEAN Charter 2008. ASEAN kemudian lebih berorientasi pada adanya suatu
internalisasi dan integrasi negara-negara anggota ke dalam suatu kesatuan
organisasi yang bersifat badan hukum. Hal ini berimplikasi pada perubahan
organisasi yang mengarah pada terbentuknya jaringan masyarakat ASEAN
berbasiskan kesatuan politik (ASEAN
Political Security Community),
kesatuan ekonomi dengan sistem satu basis pasar dan produksi (ASEAN Economic Community), dan kesatuan
hak sosial dan kultural (ASEAN
Socio-Cultural Community).[19]
Terdapat empat pilar ASEAN Economic Community atau
Masyarakat Ekonomi ASEAN yaitu: 1) single
market and production base; 2) competitive economic region; 3) equitable
economic; 4) integration into the global.
Empat pilar dasar ini merupakan landasan fundamental yang harus
diwujudkan dan dicapai sebagai implikasi diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015 yang bersifat terbuka akan prinsip-prinsip pasar bebas.[20]
Setiap negara anggota ASEAN mau tidak mau harus siap
menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Indonesia merupakan salah satu
insiator lahirnya kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN sehingga harus
menunjukkan usaha untuk mengimplementasikan apa yang telah tercantum dalam strategic schedule terutama menghadapi
era keterbukaan dan pasar bebas. Setidaknya ada lima area bisnis yang hendak
dicapai yakni 1) kebebasan arus barang (free
flow of goods); 2) kebebasan arus jasa (free
flow of services); 3) kebebasan untuk investasi (free flow of investments); 4) kebebasan arus modal (free flow of capitals); dan 5).
kebebasan arus tenaga kerja ahli (free
flow of skilled labour).[21]
Berdasarkan gambaran tersebut, dipastikan perputaran arus
barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja menyebabkan adanya perputaran
uang dalam hal ini termasuk rupiah. Nilai tukar dan daya beli rupiah yang kuat
menjadi sangat penting bagi kesetaraan dan kredibilitas rupiah terhadap mata
uang lain di kawasan Asia Tenggara. Besarnya denominasi atau pecahan rupiah di
antara kawasan Asia Tenggara tentu menyebabkan inefisiensi dan tidak
kredibelnya rupiah di antara mata uang negara-negara Asia Tenggara.
B. Urgensi Kebijakan Redenominasi
dalam Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Uang pecahan Indonesia
yang terbesar saat ini adalah Rp100.000,00. Uang rupiah tersebut merupakan pecahan terbesar kedua di dunia. Terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun hal itu tidak memperhitungkan negara
Zimbabwe yang pernah mencetak 100 miliar dolar Zimbabwe dalam satu lembar mata
uang.[22]
Selain untuk efisiensi transaksi perokonomian dan meningkatkan
kredibilitas rupiah, fakta bahwa saat ini rupiah memiliki jumlah digit yang
terlalu banyak, menyadarkan adanya kebutuhan untuk melakukan penyederhanaan jumlah
digit pada denominasi uang rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga, atau nilai
tukarnya. Kebijakan perubahan harga mata uang yang tepat untuk mengatasi hal
tersebut adalah redenominasi.
1.
Meningkatkan
Kepercayaan Terhadap Rupiah
Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang terkait
kestabilan nilai rupiah telah lama mewacanakan rencana penerapan kebijakan
redenominasi di Indonesia.[23] Redenominasi
diartikan sebagai upaya untuk menyederhanakan penyebutan atau penulisan pecahan
denominasi mata uang rupiah dengan cara menghilangkan sejumlah digit angka nol
dalam denominasi rupiah tanpa mengurangi daya beli uang tersebut.
Redenominasi merupakan pemotongan nilai
uang sedangkan harga barang tetap bahkan cenderung meningkat sehingga daya beli
efektif masyarakatpun menurun. Penyederhanaan mata uang rupiah dapat menjadi
suatu cara untuk meningkatkan kepercayaan terhadap mata uang rupiah. Pecahan
mata uang rupiah yang sederhana dapat mencerminkan kesetaraan kredibilitas
dengan negara lainnya di kawasan.
2.
Efisiensi
Transaksi Ekonomi dan Keuangan
Dari sisi sistem pembayaran non tunai, redenominasi dapat
mencegah terjadinya kendala teknis akibat jumlah digit yang besar. Redenominasi
dapat menjadi kebijakan untuk mengantisipasi permasalahan akibat nilai
transaksi yang melampaui jumlah digit yang dapat ditolerir oleh infrastruktur
sistem pembayaran dan sistem pencatatan transaksi, di samping itu juga untuk meningkatkan efisiensi transaksi perekonomian.
Dampak lain yang cukup terasa terjadi pula dalam dunia pendidikan di mana
denominasi rupiah yang besar kurang mendukung pendidikan dasar anak usia
sekolah karena transaksi tunai sehari-hari yang jumlah digitnya sangat berbeda dengan pengetahuan yang
dipelajari di sekolah.
3.
Sebagian
Masyarakat telah Mempraktrikkan Redenominasi
Dalam praktik keseharian sesungguhnya penyederhanaan
penyebutan harga barang dan jasa telah dilakukan. Praktik tersebut antara lain
telah lama dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam membuat laporan keuangan,
perhotelan, restauran, dan pertokoan bahkan sebagian daerah pedesaan telah
melakukannya dalam transaksi di pasar ternak. Salah satu yang prinsip dari
keberhasilan penerapan redenominasi adalah pemahaman masyarakat mengenai
pengertian redenominasi. Dengan memperhatikan praktik yang telah berjalan
tersebut, kiranya mempermudah pemahaman masyarakat. Masyarakat di perkotaan
terbiasa dengan label harga barang atau makanan yang telah disederhanakan
dengan menghilangkan tiga angka nol dalam satuan rupiah.
4.
Dukungan
Politik dan Dasar Hukum yang Kuat
Salah satu kondisi yang diperlukan untuk
pengambilan kebijakan redenominasi sebagaimana tergambar dalam kerangka konsepsional dan praktik empiris di
beberapa negara adalah kondisi perekonomian
negara yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang kuat sehingga dapat menekan
dampak negatif reaksi psikologis masyarakat. Berdasarkan data
indikator makro, dapat dikatakan bahwa perekonomian Indonesia saat ini secara umum
cukup kuat dan dapat mendukung pemberlakukan kebijakan redenominasi. Namun demikian, belum adanya dukungan politik yang
signifikan dari legislatif dan penyelenggaraan pesta politik seperti pemilu
legislatif dan pemilu presiden di tahun 2014 menjadi pertimbangan mendasar
tertundanya pelaksanaan kebijakan redenominasi. Selain itu suatu dasar hukum
yang memadai bagi pelaksanaan redenominasi dalam bentuk undang-undang mutlak
adanya. Selain sebagai suatu dasar hukum juga sebagai wujud dukungan politik
dari lembaga legislatif.
5. Stabilitas Ekonomi Makro Indonesia
Salah satu aspek penting yang seharusnya menjadi
pertimbangan para pengambil kebijakan untuk segera mewujudkan dasar hukum
penerapan redenominasi adalah fakta bahwa pada tahun 2015, Indonesia harus siap
memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kondisi
makro ekonomi Indonesia yang kuat menjadi prasyarat suksesnya pelaksanaan
Masyarakat Ekonomi ASEAN di 2015. Redenominasi merupakan salah satu kebijakan yang dapat digunakan untuk
mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara lain di kawasan Asia
Tenggara terkait dengan nilai tukar barang dan jasa.
Perekonomian Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan kinerja yang cukup baik di
tengah situasi perekonomian global yang masih dibayang-bayangi oleh berbagai
ketidakpastian, seperti prospek pemulihan ekonomi di kawasan Eropa dan kondisi politik
dalam negeri di Amerika Serikat. Di Eropa, beberapa negara mengalami
krisis hutang, seperti Yunani, Italia, Irlandia, Potugal,
dan Spanyol. Sementara di Amerika Serikat terdapat ancaman jurang
fiskal (fiscal cliff) akibat perbedaan
sudut pandang dan kepentingan antara Pemerintahan Barrack Obama (Partai
Demokrat) dengan Kongres yang didominasi oleh Partai Republik, terkait
strategi kebijakan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak, efisiensi
pengeluaran negara terutama pengurangan pengeluaran untuk perlindungan
sosial, serta batasan hutang dan defisit anggaran pemerintah. Krisis tersebut
turut berimbas pada penurunan permintaan eksternal dan perlambatan aktivitas
perekonomian di Asia, termasuk Tiongkok dan India.[24] Namun secara umum
kondisi ini tidak berpengaruh signifikan terhadap stabilitas perekonomian
Indonesia.
5.
Meningkatkan Kesetaraan, Kepercayaan dan
Kebanggaan terhadap Rupiah
Meskipun demikian, level nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing termasuk yang terendah di antara negara kawasan ASEAN menyebabkan
nilai tukar rupiah belum dipandang setara dengan mata uang negara kawasan. Dengan
demikian, redenominasi mata uang rupiah menjadi sangat diperlukan untuk
menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN. Penyederhanaan mata
uang rupiah dapat menjadikan nilai mata
uang rupiah
setara dengan mata uang negara kawasan. Penyederhanaan ini selanjutnya akan
semakin mempermudah transaksi perdagangan, baik barang maupun jasa, dengan
negara kawasan ASEAN.[25]
Denominasi rupiah perlu dirancang guna mendukung
persiapan menuju era tersebut. Akan baik sekali, apabila satuan mata uang
rupiah setara dengan satuan mata uang negara-negara anggota ASEAN. Redenominasi
akan meningkatkan kebanggaan masyarakat terhadap rupiah serta
mempersiapkan kesetaraan ekonomi nasional dengan kawasan dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya, dibandingkan dengan negara lain, denominasi mata
uang rupiah
merupakan yang terbesar di kawasan setara dengan Dong Vietnam dan Riel
Kamboja. Selain itu, nilai tukar rupiah
jika dikonversi ke dolar Amerika Serikat juga termasuk yang terkecil. Padahal,
dari sisi fundamental ekonomi, Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan kedua
negara tersebut.[26]
Indonesia akan lebih dipandang
di mata dunia jika mampu memperkuat nilai rupiah. Saat ini
kredibilitas mata uang Indonesia masih dianggap rendah, sehingga perlu diambil
kebijakan redenominasi untuk mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan
negara regional. Dari aspek psikologis, tingkat kepercayaan terhadap mata uang
tersebut diharapkan lebih tinggi karena nilainya terlihat lebih kuat terhadap
mata uang lain. Selain itu juga diharapkan mampu mengurangi risiko currency substitution yang selanjutnya
mendukung nilai Rupiah yang lebih stabil.[27]
Oleh karena itu, motivasi dan manfaat redenominasi
mata uang rupiah menjadi semakin penting peranannya dalam rangka menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN karena dengan
redenominasi, penyederhanaan mata uang rupiah menjadikan nilainya setara dengan
mata uang negara kawasan. Penyederhanaan ini selanjutnya akan semakin
mempermudah transaksi perdagangan, baik barang maupun jasa, dengan negara
kawasan.
III. Penutup
A.
Simpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun belum dapat dilaksanakan
karena belum lahirnya Undang-Undang tentang Perubahan Harga
Rupiah sebagai dasar hukum pelaksanaan redenominasi, namun tuntutan global dan pertimbangan praktis dan ekonomis menuntut tetap dilanjutkannya rencana penerapan kebijakan redenominasi.
Dengan
dimulainya era Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia harus siap berkompetisi secara terbuka
dan bebas dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya. Hal ini
menuntut adanya suatu mata uang yang setara dan kuat agar tidak terjadi
inefisiensi secara ekonomi. Di samping itu nilai mata uang yang kuat dan setara
dengan negara di kawasan akan meningkatkan kredibilitas rupiah yang secara
tidak langsung akan meningkatkan rasa percaya diri bangsa Indonesia dalam
berinteraksi dalam perdagangan dan persaingan yang semakin terbuka.
B.
Saran
Jika kondisi perekonomian dalam beberapa tahun ke depan
tetap stabil dan cenderung meningkat, terlebih tingkat inflasi cenderung menurun maka secara politis Pemerintah dan DPR harus dapat segera mewujudkan kebijakan redenominasi. Hal
yang tidak kalah penting adalah edukasi dan sosialisasi kepada seluruh lapisan
masyarakat memiliki pemahaman yang tepat terhadap redenominasi. Kesiapan
masyarakat secara psikologis merupakan faktor penting keberhasilan pelaksanaan
redenominasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Salim, Joko. 108
Tanya Jawab tentang Investasi. Jakarta: Visi Media, 2010.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1959
tentang Penurunan Nilai Uang Kertas Rp. 500,- dan Rp. 100,-.
Bahan yang
Tidak Diterbitkan
Herlambang R, Sulung., Tia
Sutiasih, dan Hanny Qudsyina. Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi Era Mea 2015 Melalui Kebijakan
Redenominasi, Makalah Disusun untuk Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah National Economics
Events, Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman, 2013.
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah, November 2012.
Prijambodo, Bambang. Proceeding Seminar
Kesiapan Produk Legislasi dalam Menyongsong ASEAN Economic Community (AEC) 2015, diselenggarakan oleh Deputi
Bidang Perundang-undangan Setjen DPR RI, Jakarta 7 Mei 2014.
Siaran Pers Bersama Kementerian Keuangan – Bank Indonesia
Nomor 11/KLI/2013, No: 15/3/PSHM Humas tentang Kebijakan Redenominasi Bukan
Sanering, Jakarta 23 Januari, 2013.
Tim Assistensi RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. Selayang Pandang Redenominasi, Kajian
merupakan Bahan yang disiapkan bagi Anggota Pansus RUU tentang Perubahan Harga
Rupiah, 2013.
Website
Dosen Fakultas Ekonomi. Kajian Tentang Rencana Redenominasi Rupiah Dalam Sistem Keuangan
Jangka Panjang Di Indonesia, JRAK: Jurnal
Riset Akuntansi dan Komputerisasi Akuntansi, Universitas Islam 45 Bekasi, Vol 2, No 01 Tahun 2011. http://www.ejournal-unisma.net/ojs/index.php/jrak/issue/view/11, diakses 3 Desember 2014.
Perbedaan Redenominasi Rupiah dengan Sanering Rupiah. http://www.redenominasirupiah.com/perbedaan-redenominasi-rupiah-dengan-sanering-rupiah/,
diakses 03 Desember 2014.
[1] Siaran
Pers Bersama Kementerian Keuangan – Bank Indonesia Nomor 11/KLI/2013, No:
15/3/PSHM Humas tentang Kebijakan Redenominasi Bukan Sanering, Jakarta 23 Januari 2013.
[2]Kementerian
Keuangan Republik Indonesia dan Bank Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan Harga Rupiah, , November 2012, hal.53.
[3]Kementerian
Keuangan Republik Indonesia dan Bank Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
Harga Rupiah, hal. 11.
[6] Sulung Herlambang R, Tia Sutiasih, dan Hanny Qudsyina, Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi Era Mea 2015 Melalui Kebijakan
Redenominasi, Makalah Disusun untuk Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah National Economics
Events, Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman, 2013, hal.6.
[7]Kementerian
Keuangan Republik Indonesia dan Bank Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
Harga Rupiah, hal. 12
[9] Perbedaan
Redenominasi
Rupiah dengan Sanering Rupiah, http://www.redenominasirupiah.com/perbedaan-redenominasi-rupiah-dengan-sanering-rupiah/,
diakses 03 Desember 2014.
[10]Tim
Assistensi RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, Selayang Pandang Redenominasi, Kajian
merupakan Bahan yang disiapkan bagi Anggota Pansus RUU tentang Perubahan Harga
Rupiah, 2013.
[13] Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Bank
Indonesia, Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah,
hal. 41-43.
[14]Tim
Assistensi RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. Selayang Pandang Redenominasi, Kajian merupakan Bahan yang
disiapkan bagi Anggota Pansus RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, 2013.
[15] Kementerian
Keuangan Republik Indonesia dan Bank Indonesia, Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah, hal. 44-46
[16] Tim
Assistensi RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. Selayang Pandang Redenominasi, Kajian merupakan Bahan yang
disiapkan bagi Anggota Pansus RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, 2013.
[19] Bambang Prijambodo, Proceeding Seminar Kesiapan Produk Legislasi dalam Menyongsong ASEAN
Economic Community (AEC) 2015,
diselenggarakan oleh Deputi Bidang Perundang-undangan Setjen DPR RI,
Jakarta 7 Mei 2014, hal.12.
[22] Dosen Fakultas Ekonomi,
Kajian Tentang Rencana Redenominasi Rupiah Dalam Sistem Keuangan
Jangka Panjang Di Indonesia, JRAK: Jurnal
Riset Akuntansi dan Komputerisasi Akuntansi, Universitas Islam 45 Bekasi, Vol 2: No 01 Tahun 2011, http://www.ejournal-unisma.net/ojs/index.php/jrak/issue/view/11, diakses 3 Desember
2014.
[23] Dalam Pasal 7
dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, secara
tegas dinyatakan bahwa tujuan pokok Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan
nilai rupiah. Kestabilan
nilai rupiah tercermin dari perkembangan laju inflasi serta nilai
tukar rupiah terhadap mata uang asing. Untuk mencapai kestabilan dimaksud Bank
Indonesia didukung oleh
tiga bidang utama tugas, yaitu: menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi bank.
[24] Sulung Herlambang R, Tia Sutiasih, dan Hanny Qudsyina, Kesiapan Indonesia Dalam
Menghadapi Era Mea 2015 Melalui
Kebijakan Redenominasi, hal.12.
[27] Sulung Herlambang R, Tia Sutiasih, dan Hanny Qudsyina, Kesiapan
Indonesia Dalam Menghadapi Era Mea 2015 Melalui Kebijakan Redenominasi, hal.31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan komentar anda di sini. Untuk penggunaan referensi harap mencantumkan sumber.