Kamis, 21 Juli 2016

Redenominasi Rupiah Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015


(Redenomination of Rupiah Towards ASEAN Economic Community 2015)

Khopiatuziadah

Tulisan dimual di Jurnal Perundang-undangan Prodigy Volume 2 Nomo2 Desember 2014

Abstrak
Pertumbuhan perekonomian Indonesia beberapa tahun belakangan dinilai cukup pesat di tengah kondisi ekonomi dunia yang melemah. Tingginya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan meningkatnya transaksi keuangan dan jumlah uang yang beredar.  Namun kondisi ekonomi yang baik tersebut belum didukung dengan nilai pecahan uang rupiah yang efisien. Saat ini rupiah memiliki jumlah digit yang terlalu banyak. Hal ini berpotensi menyebabkan inefisiensi dalam transaksi ekonomi serta mempengaruhi kesetaraan kredibilitas rupiah dibandingkan dengan mata uang negara lain. Bank Indonesia telah lama mewacanakan penerapan kebijakan redenominasi yakni penyederhanaan jumlah digit pada denenominasi atau pecahan rupiah tanpa mengurangi daya belinya. Pada periode keanggotaan DPR 2009-2014, Bank Indonesia melalui pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU tentang Perubahan Harga Rupiah) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU tersebut tidak dapat diselesaikan sesuai target karena kendala waktu dan situasi politik yang kurang mendukung. Namun demikian, mengingat tuntutan ekonomi dan persaingan global, kebijakan redenominasi tetap penting untuk diterapkan terlebih dengan dimulainya era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 ini. Redenominasi merupakan salah satu cara meningkatkan kesetaraan dan kredibilitas nilai rupiah di kawasan Asia Tenggara.
Kata kunci: redenominasi, rupiah, Masyarakat Ekonomi ASEAN


Abstract
In these last few years, Indonesian economic growth is significantly increasing in the middle of weaking world economy. The great economic growth results in the increasing financial transactions and money circulation. However this good economic growth is not supported yet with the efficient denomination of Indonesian Rupiah. Nowadays, Indonesian Rupiah denomination has so many digits. This potentially causes inefficient economic transactions and influence the equality and credibility of Indonesian Rupiah among other currencies. Bank Indonesia has been recognizing the plan of redenomination policy which is simplify the digits of denomination of rupiah without decreasing its value. In the 2009 – 2014 Parliamentary periods, Bank Indonesia through the Government proposes the draft of the redenomination bill to the House of Representatives. Such bill could be not completed as targeted due to time constraint and the political situation. However, considering the economic demand and global competition, redenomination policy is still crucial to be implemented especially towards/ to face ASEAN Economic Community 2015. Redenomination is one policy to increase the equality and credibility of rupiah value in South East region.
Keyword: redenomination, rupiah, ASEAN Economic Community


I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, ekonomi nasional berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam tiga tahun terakhir pertumbuhan ekonomi nasional berada di atas 6,0% sedangkan tingkat inflasi dalam tren menurun, nilai rupiah juga relatif stabil. Pesatnya perkembangan ekonomi diikuti dengan meningkatkan transaksi keuangan di masyarakat.  Seiring dengan peningkatan transaksi tersebut, jumlah digit mata uang yang digunakan dalam bertransaksipun semakin meningkat.[1]
Pertumbuhan perekonomian nasional sebagai indikator makro yang menggambarkan pertumbuhan barang dan jasa memerlukan kebijakan yang mendukung efisiensi perekonomian untuk meningkatkan daya saing nasional. Guna menjaga kesinambungan perkembangan perekonomian nasional diperlukan jumlah uang rupiah yang cukup dan dalam pecahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta tetap terjaganya nilai rupiah yang stabil sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat.  Hal ini mengingat pentingnya fungsi uang rupiah dalam kehidupan masyarakat modern sebagai medium of exchange atau alat pembayar sekaligus penyimpan nilai. Selain itu, kestabilan dan kekuatan nilai mata uang rupiah seringkali dipersepsikan sebagai cerminan kemajuan perekonomian nasional dan simbol kedaulatan serta kebanggaan bangsa Indonesia.
Pencapaian perkembangan perekonomian nasional saat ini belum didukung dengan nilai pecahan uang rupiah yang efisien. Saat ini rupiah memiliki jumlah digit yang terlalu banyak sehingga berpotensi menyebabkan inefisiensi dalam transaksi ekonomi di masa yang akan datang. Inefisiensi terjadi antara lain ketika masyarakat harus membawa jumlah uang yang besar untuk membiayai transaksi sehari-hari yang cukup sederhana. Uang dengan jumlah digit yang terlalu banyak akan menimbulkan kerumitan perhitungan dalam transaksi ekonomi sehingga berpotensi menimbulkan kekeliruan serta memakan waktu lebih lama. Selain itu, akan terjadi kebutuhan untuk menyesuaikan alat transaksi elektronik dan sistem teknologi informasi karena nilai transaksi yang semakin membesar dengan cepat.
Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan amanat Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang menyebutkan “perubahan harga mata uang diatur dengan Undang-Undang”, maka perubahan harga rupiah perlu diatur dalam undang-undang  yang diharapkan dapat menjadi landasan yuridis yang kuat bagi pelaksanaan kebijakan perubahan harga rupiah atau disebut sebagai redeniminasi sehingga kebijakan redenominasi dapat diimplementasikan dengan baik dan meningkatkan posisi mata uang rupiah.
Redenominasi merupakan penyederhanaan jumlah digit pada denominasi atau pecahan mata uang tanpa mengurangi daya beli, harga, atau nilai tukar mata uang tersebut terhadap harga barang dan/atau jasa. Secara lebih sederhana, redenominasi adalah penyederhanaan penyebutan atau penulisan denominasi mata uang suatu negara. Terdapat persepsi yang keliru di masyarakat yang menyamakan redenominasi dengan sanering. Redenominasi berbeda dengan sanering. Nilai uang pada redenominasi cenderung tetap, sedangkan nilai uang pada sanering cenderung menurun. Hal-hal semacam inilah yang membutuhkan sosialisasi di masyarakat sehingga ada pemahaman yang tepat dan menyeluruh tentang kebijakan redenominasi.
Pada masa keanggotaan DPR tahun 2009-2014, Bank Indonesia melalui Pemerintah mengajukan usul RUU tentang Perubahan Harga Rupiah kepada DPR. RUU tentang Perubahan Harga Rupiah merupakan salah satu rancangan undang-undang dalam Program Legislasi Nasional prioritas tahun 2014. Pada akhir masa keanggotaan DPR tersebut, Badan Musyawarah DPR menugaskan Panitia Khusus yang terdiri dari lintas komisi untuk membahas bersama RUU tentang Perubahan Harga Rupiah dengan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan. 
Sebelum disusunnya daftar inventarisasi masalah oleh masing-masing fraksi di DPR, Panitia Khusus  RUU tentang Perubahan Harga Rupiah telah melakukan jaring aspirasi masyarakat ke berbagai daerah guna mendapat masukan dari berbagai unsur masyarakat terkait RUU yang disampaikan oleh Pemerintah tersebut, antara lain ke Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Bali, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Papua Barat. Jaring aspirasi atau pendapat masyarakat ini melibatkan berbagai pihak di antaranya civitas akademika dari berbagai universitas, kalangan dunia perbankan dan jasa keuangan, para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN), pihak otoritas jasa keuangan, dan para pengusaha yang tergabung dalam asosiasi pedagang valuta asing.
Proses pembahasan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah ternyata kemudian tidak berlanjut kepada tingkat pembahasan pertama karena terkendala oleh keterbatasan waktu dan suasana politik. Terbatasnya waktu dan suasana politik saat itu kurang mendukung diwujudkannya kebijakan redenominasi melalui pengesahan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. Hal ini mengingat salah satu syarat penerapan kebijakan perubahan harga mata uang adalah stabilnya kondisi politik di samping stabilitas kondisi ekonomi suatu negara.
Meskipun gagal disahkan pada periode keanggotaan DPR tahun 2009–2014, namun kebijakan redenominasi ini masih penting untuk diwujudkan mengingat adanya tuntutan ekonomi global terhadap nilai mata uang rupiah yang kuat. Salah satu landasan sosiologis pentingnya penerapan kebijakan redenominasi adalah guna mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara  lainnya dalam memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Pada tahun 2015 negara-negara ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) akan memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Redenominasi akan membuat pecahan mata uang rupiah menjadi sederhana. Hal ini akan memfasilitasi kesetaraan kredibilitas rupiah dibandingkan dengan mata uang negara lain di kawasan yang selanjutnya akan membangun kebanggaan masyarakat terhadap mata uang rupiah. Meningkatnya kebanggaan masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah, sehingga dapat menurunkan potensi masyarakat untuk mensubstitusikan mata uangnya ke mata uang negara lain yang dipandang lebih aman.[2]
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang  yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam  tulisan ini adalah apa urgensi penerapan kebijakan redenominasi dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015?
C. Tujuan
Tulisan ini ditujukan untuk mengkaji urgensi penerapan kebijakan redenominasi dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015.
D. Metode Penulisan
          Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif  yakni dengan melakukan pengkajian terhadap sumber-sumber kepustakaan yang terdiri dari berbagai literatur terkait dengan kebijakan redenominasi serta mengkaji naskah pendukung dari berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Data yang diperolah disajikan secara deskriptif analitis guna memberikan gambaran yang mendalam sekaligus tetap mengemukakan analisis terhadap permasalahan yang ingin dikaji.
II. Pembahasan
A. Kerangka Konsepsional
1. Perubahan Harga Mata Uang
Secara konsepsional perubahan suatu harga mata uang dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda dan melahirkan kebijakan dan implementasi yang berbeda pula. Perubahan harga mata uang dapat dilakukan dengan cara antara lain:
a. Devaluasi[3]
Kebijakan Pemerintah menurunkan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing secara resmi antara lain bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk eskpor. Devaluasi akan membuat harga ekspor barang dan jasa menjadi lebih murah dan harga barang impor menjadi lebih mahal sehingga berdampak pada meningkatnya net ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, kebijakan ini berdampak pada meningkatnya biaya pembayaran utang luar negeri. Selain itu, pada negara yang sangat bergantung pada barang dan jasa impor, devaluasi ini berpotensi meningkatkan inflasi di dalam negeri. Indonesia pernah menerapkan kebijakan devaluasi pada tahun 1971, 1978, 1983, dan terakhir pada tahun 1986 saat menerapkan kebijakan nilai tukar tetap dan mengambang terkendali.
b. Revaluasi[4]
Kebijakan ini berlawanan dengan kebijakan devaluasi, yakni kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing secara resmi. Kebijakan ini biasanya ditujukan untuk menekan inflasi dan menurunkan biaya produksi dalam negeri dari negara yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada produk impor. Namun demikian, kebijakan ini berdampak pada menurunnya daya saing produk eskpor dan meningkatnya impor sehingga berdampak pada menurunnya net ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Tiongkok merupakan salah satu negara yang beberapa kali menerapkan kebijakan ini seiring dengan tingginya arus modal asing ke dalam negeri di tengah penerapan rezim nilai tukar yang cenderung tetap.
c. Sanering[5]
Sanering adalah kebijakan Pemerintah untuk memotong nilai uang yang ada, terkait dengan jumlah uang beredar yang ada di masyarakat. Namun demikian, kebijakan ini hanya dilakukan di sisi moneter tanpa melakukan perubahan di sisi riil. Akibatnya, nilai uang menurun sementara harga barang dan jasa tetap atau tidak berubah dan bahkan cenderung meningkat. Hal ini menyebabkan daya beli efektif masyarakat menurun.
Dalam perjalanan sejarah, Pemerintah Indonesia tercatat pernah melakukan kebijakan sanering pada tanggal 19 Maret 1950 (dikenal dengan istilah “Gunting Syafrudin”), 25 Agustus 1959, dan 13 Desember 1965. Kondisi perekonomian nasional pada saat itu sangat buruk, tercermin dari Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) yang sangat rendah, inflasi sangat tinggi dan investasi merosot tajam. Salah satu mekanisme kebijakan sanering yang berlaku mulai tanggal 25 Agustus 1959 adalah:[6]
1)  Penurunan nilai uang kertas Rp500,- dan Rp1.000,- menjadi Rp50,- dan Rp100,-.
2)  Pembekuan sebagian simpanan pada Bank (giro dan deposito) sebesar 90 persen dari jumlah simpanan di atas Rp25.000,- dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang oleh Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1959 tentang Penurunan Nilai Uang Kertas Rp. 500,- dan Rp. 100,- tanggal 24 Agustus 1959.
              Kebijakan sanering tersebut memberikan beberapa dampak di bidang moneter, seperti menurunkan jumlah uang beredar, meningkatkan keuntungan pemerintah yang kemudian digunakan untuk mengurangi kerugian kas negara, dan mengurangi likuiditas bank. Namun, likuiditas bank yang berkurang membuat pemberian kredit bank terhadap perusahan produksi, distribusi, dan ekspor-impor menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan kenaikan harga barang dan biaya hidup. Kebijakan sanering pada tahun 1959 tersebut dianggap gagal karena justru memperburuk keadaan ekonomi, yakni terjadinya hiperinflasi.
c. Redenominasi[7]
Redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan jumlah digit pada denominasi atau pecahan mata uang tanpa mengurangi daya beli, harga, atau nilai tukar mata uang tersebut terhadap harga barang dan/atau jasa. Secara lebih sederhana, redenominasi adalah penyederhanaan penyebutan atau penulisan denominasi mata uang suatu negara.
Redenominasi mata uang rupiah pada dasarnya ditujukan untuk mengatasi tantangan dan kendala teknis, meningkatkan efisiensi perekonomian, serta memupuk kebanggaan nasional terhadap mata uang rupiah. Dengan semakin banyaknya jumlah digit yang digunakan dalam denominasi uang rupiah selama ini menimbulkan inefisiensi perekonomian. Demikian pula hambatan teknis yang seringkali menyulitkan, terutama dalam hal penyajian dan penyimpanan data, serta pemrosesan dan penyelesaian transaksi. Dari sisi psikologis, digit yang lebih sederhana dapat memupuk kebanggaan masyarakat terhadap mata uang rupiah. Hal ini karena adanya kesetaraan nilai tukar mata uang rupiah dengan negara lain yang kondisi perekonomiannya kurang lebih serupa dengan Indonesia.
Berbeda dengan sanering, redenominasi sebenarnya hanya mengubah tampilan nilai mata uang. Dengan demikian, redenominasi seharusnya tidak mengakibatkan menurunnya nilai relatif (daya beli) uang terhadap barang dan jasa. Sebagai contoh, jika 1 kg beras dijual dengan harga Rp6.000,-/kg, setelah redenominasi 1 kg beras dijual dengan harga Rp6,-/kg.  
Namun demikian, berkaca dari pengalaman yang buruk dari penerapan sanering pada tahun 1959 serta adanya sebagian masyarakat yang secara psikologis masih trauma akibat kebijakan tersebut, perlu adanya komunikasi dan penjelasan yang mendalam mengenai pengertian dan perbedaan antara redenominasi dan sanering. Hal ini karena secara prinsipil, sanering berbeda dengan redenominasi. Indonesia pernah menerapkan kebijakan redenominasi pada tahun 1965 melalui Penetapan Presiden Nomor 27 Tahun 1965 tentang Pengeluaran Uang Rupiah Baru yang Berlaku sebagai Alat Pembayaran yang Sah bagi Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Penarikan Uang rupiah Lama dari Peredaran yang implementasinya dengan menerbitkan uang Rupiah baru yang perbandingan nilainya Rp.1 uang baru setara dengan Rp.1.000 uang lama dan Rp.1 uang Irian Barat.[8]
Sosialisasi yang memadai untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa redenominasi berbeda dengan sanering menjadi sangat penting. Kegagalan penerapan sanering di masa lalu dan pengertiannya yang tampak sama dengan redenominasi secara psikologis mempengaruhi dukungan dari masyarakat terhadap kebijakan redenominasi. Untuk mempermudah pemahaman terhadap perbedaan antara kebijakan redenominasi dan sanering, berikut ini adalah tabel perbedaannya yaitu:[9]
PERBEDAAN
REDENOMINASI
SANERING
Definisi
Redenominasi adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut, misal Rp1.000 menjadi Rp1.
Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.

Pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Hal yang sama tidak dilakukan pada harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
Dampak bagi
masyarakat
Tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama.
Menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis.
Tujuan
-     Penyederhanaan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakukan transaksi.
-     Mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan  negara regional.
-      
Mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga. Dilakukan karena terjadi hiperinflasi (inflasi yang sangat tinggi).
Nilai uang terhadap
barang
Tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan uang saja
yang disesuaikan.
Berubah menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya.
Kondisi saat dilakukan
Kondisi makroekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali.
Dilakukan dalam kondisi makroekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi).

Masa transisi
Dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat siap, agar tidak menimbulkan gejolak di  masyarakat.

Tidak ada masa transisi, dilakukan secara tiba-tiba.
Contoh : harga 1 liter
bensin = Rp.4500,00
Contoh bila terjadi redenominasi 3 digit (3 angka nol). Dengan uang sebanyak
Rp.4,5 tetap dapat membeli 1 liter bensin, karena harga 1 Liter bensin juga dinyatakan. Dalam satuan pecahan yang sama (baru).
Contoh bila terjadi Sanering per seribu Rupiah:
Dengan Rp.4,5 hanya dapat membeli 1/1000 liter (0,001 liter).





2.  Praktik Kebijakan Redenominasi di Beberapa Negara
Kebijakan redenominasi sudah pernah dipraktikkan di beberapa negara. Beberapa negara sukses menjalankan kebijakan ini seperti Turki dan Rumania, namun ada beberapa negara yang gagal menerapkan kebijakan tersebut di antaranya Brazil dan Zimbabwe.
a.            Turki
Turki merupakan salah satu negara yang sukses menerapkan kebijakan redenominasi. Bank Sentral Turki melakukan kebijakan redenominasi pada tahun 2005 untuk dua alasan. Pertama, alasan teknis mengingat banyaknya angka nol pada mata uang memperumit perhitungan transaksi keuangan. Kedua, redenominasi dilakukan untuk meningkatkan kredibilitas perekonomian. Keberadaan mata uang (bank note) sebesar 20.000.000 merupakan hal yang sangat tidak wajar di perekonomian internasional. Hal ini telah dianggap mengakibatkan efek yang negatif pada kredibilitas perekonomian Turki. [10]
Redenominasi dianggap perlu dilakukan sebagai pernyataan komitmen pemerintah untuk menekan tingkat inflasi setelah pada tahun 2004 untuk pertama kalinya sejak tahun 1972, Turki mengalami inflasi satu digit pada tahun tersebut. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan umum Turki sejak dimulainya reformasi ekonomi yang didukung International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2001 yang juga merupakan bagian dari rencana Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa. [11]
Turki melaksanakan kebijakan redenominasi dalam beberapa tahapan sebagai berikut:[12]
1)     Pada tanggal 1 September s/d 30 Desember 2004 dilakukan sosialisasi secara menyeluruh selama 4 bulan.
2)     Tanggal 30 September 2004 infrastruktur payment system dan information technology telah siap.
3)     Tanggal 31 Desember 2004 UU Redenominasi diberlakukan dan dilakukan konversi. Seluruh rekening dari mata uang lama (TL) ke mata uang baru (YTL) dan dimulai peredaran mata uang baru.
4)     1 Januari 2005 dilakukan pengedaran mata uang baru.
5)     1 Januari s/d 31 Desember 2005 mata uang lama dan baru masih beredar dan berlaku.
6)     1 Januari 2006 kata baru (Yeni) pada YTL dihilangkan.
Suksesnya penerapan kebijakan redenominasi dipengaruhi oleh faktor-faktor kunci sebagai berikut:[13]
1.   Adanya kebutuhan seluruh lapisan masyarakat terhadap penyederhanaan jumlah digit mata uang Turkish Lira. Penyederhanaan tersebut telah dirasakan sebagai suatu kebutuhan oleh masyarakat, baik di sektor riil maupun sektor keuangan seperti perbankan, pasar modal dan sistem pembayaran.
2.   Pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat, yakni dilaksanakan pada saat kondisi fundamental perekonomian Turki cukup kuat dengan tren inflasi yang menurun.
3.   Tersedianya landasan hukum. Penghapusan 6 digit mata uang Turki dan penambahan prefix “New” (atau “Yeni” dalam bahasa Turki) di depan nama Turkish Lira diatur dalam Law No. 5083 on the Currency Unit of the Republic of Turkey yang berlaku sejak 1 Januari 2005. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, price tagging, dokumen legal serta laporan keuangan dapat menggunakan TL dan YTL hingga 31 Desember 2005.
4.   Adanya dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah dan seluruh otoritas terkait serta praktisi bisnis.
5.   Kampanye dan edukasi publik yang intensif. Kegiatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dilakukan secara intensif untuk memberikan informasi dan regulasi yang berkaitan dengan program redenominasi melalui berbagai media seperti televisi, radio, surat kabar, seminar, dan situs resmi redenominasi Turki (website: www.ytl.gen.tr). Di samping itu, dilakukan pula kampanye di sekolah, universitas, penyediaan pusat informasi dan email yang dapat menampung pertanyaan, kritik, dan saran dari masyarakat.
6.   Tidak menurunkan daya beli. Redenominasi mata uang Turkish Lira tidak mengakibatkan menurunnya nilai relatif (daya beli) uang terhadap harga barang dan jasa.
7.   Kondisi sosial politik yang kondusif.

b. Rumania[14]
          Rumania melakukan redenominasi pada tanggal 1 Juli 2005 dengan menghilangkan 4 digit mata uangnya. Alasan utama Rumania melakukan redenominasi yaitu adanya keinginan untuk bergabung dengan Euro. Rumania melakukan persiapan yang sangat terencana untuk memenuhi keinginannya bergabung dengan mata uang tunggal Euro tersebut. Sebelum dilakukan redenominasi di tahun 2005 perekonomian Rumania menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang cukup signifikan yaitu tingkat inflasi yang terus mengalami penurunan. Otoritas fiskal berhasil menekan budget defisit dari rata-rata 3% menjadi hanya sekitar 1,1% dari GDP di tahun 2004. National Bank of Rumania (NBR) sebagai otoritas moneter terus melakukan pengetatan kebijakan moneter dengan mempertahankan suku bunga policy rate pada level 17% di akhir tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi di tahun 2004 meningkat cukup pesat yaitu sebesar 8,3%. Nilai tukar mata uang lama (ROL) terhadap EUR cenderung mengalami apresiasi dari  tahun ke tahun.
          Adapun beberapa pentahapan yang dilalui Rumania sebelum dilakukan redenominasi adalah:
1)   14 Juli 2004 pemberlakuan Undang-Undang mengenai Redenominasi.
2)   1 Maret  2005 s/d 30 Juni 2006 pemberlakuan dua harga (dual pricing) mata uang lama dan baru.
3)   1 Juli 2005 uang baru (kertas dan logam) diedarkan.
4)   1 Juli 2005 s/d 31 Desember 2006 peredaran dua mata uang dan penarikan gradual uang lama.
5)   1 Januari 2007 uang lama tidak berlaku.
6)   Sejak 1 Januari  2007 sampai dengan waktu yang tidak ditentukan, uang lama dapat ditukar dengan uang baru.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan program redenominasi di Rumania yakni sebagai berikut:[15]
1)     Adanya kebutuhan seluruh lapisan masyarakat terhadap penyederhanaan jumlah digit mata uang Leu.
2)     Pemilihan waktu pelaksanaan yang tepat. Waktu pelaksanaan redenominasi di Rumania pada tanggal 1 Juli 2005 dilakukan berdasarkan pertimbangan kondisi makroekonomi Rumania yang relatif lebih stabil, yang ditandai oleh tingkat inflasi yang mengarah ke satu digit setahun menjelang penerapan redenominasi. Selain itu ada faktor non-ekonomi, yaitu dilakukan pada musim panas karena di musim ini mendukung persiapan logistik penyediaan dan distribusi uang logam dan kertas baru.  Selain itu, di musim panas faktor psikologis masyarakat umumnya lebih baik dibandingkan dengan musim dingin (awal tahun).
3)     Tersedianya landasan hukum. Dalam sistem ketatanegaraan Rumania, National Bank of Romania (NBR) tidak memiliki hak inisiatif untuk mengajukan undang-undang. NBR mengajukan usulan kebijakan redenominasi kepada Pemerintah Rumania, yang selanjutnya melalui Ministry of Public Finance (MPF) mengajukan dukungan kepada parlemen. NBR bersama-sama dengan MPF menyusun RUU Redenominasi dan akhirnya mendapatkan pengesahan dari parlemen dan diundangkan kepada publik pada 14 Juli 2004.
4)     Adanya dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah dan seluruh otoritas terkait serta praktisi bisnis.
5)     Kampanye dan edukasi publik yang intensif. Target utama kampanye di Rumania adalah masyarakat yang berpendidikan rendah karena kelompok ini lebih sulit untuk memahami redenominasi.  Komunikasi yang intensif dilakukan Pemerintah Romania melalui berbagai sarana komunikasi, baik formal (TV dan radio pemerintah, TV swasta, kerjasama dengan kementrian dalam negeri, kementrian luar negeri, perusahaan penerbangan, dan kantor pos) maupun informal (mendayagunakan para pendeta untuk menyampaikan pesan redenominasi kepada umatnya). Disamping itu, terdapat penyediaan brosur, helpdesk, dan survei terhadap pemahaman dan pemantauan umpan balik dari publik.
6)     Tidak menurunkan daya beli. Redenominasi Mata Uang Leu tidak mengakibatkan menurunnya nilai relatif (daya beli) uang terhadap harga barang dan jasa.
7)     Kondisi sosial politik yang kondusif.
Belajar dari pengalaman Turki dan Rumania, keberhasilan pelaksanaan kebijakan redenominasi dipengaruhi oleh sinergi kondisi fundamental perekonomian nasional yang kuat serta dukungan stabilitas kondisi perekonomian internasional. Namun beberapa prasyarat utama dari keberhasilan pelaksanaan redenominasi tersebut yaitu:[16]
a.        Stabilitas makroekonomi yang terjaga yang antara lain ditandai dengan tingkat inflasi yang stabil dan dalam tren menurun, pertumbuhan ekonomi yang meningkat, serta stabilitas nilai tukar;
b.        Adanya dukungan seluruh lapisan masyarakat;
c.        Adanya landasan hukum yang kuat;
d.        Kondisi sosial politik yang kondusif; dan
e.        Penentuan waktu (timing) yang tepat bagi pelaksanaan redenominasi.

d. Brazil[17]

Berbeda dengan Turki dan Rumania, Brazil gagal menerapkan kebijakan redenominasi. Faktor-faktor yang diperkirakan sebagai penyebab ketidakberhasilan pelaksanaan redenominasi di Brazil antara lain sebagai berikut:
1)           Pemilihan waktu pelaksanaan yang tidak tepat. Redenominasi di Brazil dilakukan ketika kondisi makroekonomi masih belum stabil, yang ditandai dengan tingginya inflasi disertai rendahnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi makro yang tidak kondusif tersebut terus berlangsung meskipun pemerintah telah melakukan stabilisasi perekonomian. Fokus program stabilisasi adalah balancing the budget, monetary targeting, dan privatisasi/liberalisasi perdagangan. Selain itu, Brazil mengalami defisit fiskal yang sangat besar untuk pembiayaan pembangunan yang tidak bersumber dari penerimaan pajak, melainkan dengan menerbitkan uang.
2)           Kondisi sosial politik yang tidak kondusif. Adanya keresahan masyarakat akibat tingginya harga barang dan jasa, sehingga secara psikologis masyarakat tidak siap ketika pemerintah melaksanakan kebijakan redenominasi.

d. Zimbabwe[18]

Adapun kegagalan redenominasi di Zimbabwe antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1)        Pemilihan waktu pelaksanaan yang tidak tepat. Pemerintah Zimbabwe melakukan program redenominasi pada saat inflasi sangat tinggi dengan harapan akan dapat menurunkan tingkat inflasi tersebut. Namun yang terjadi justru sebaliknya, inflasinya menjadi tidak terkendali. Hal tersebut lebih disebabkan oleh kebijakan bank sentral Zimbabwe (Reserve Bank of Zimbabwe-RBZ) yang melakukan quasi fiscal activities (QFA) yaitu turut aktif membiayai anggaran pemerintah, seperti subsidi dan pembiayaan pengeluaran langsung (direct expenditures), sehingga menyebabkan RBZ harus melakukan pencetakan uang (money creation) dan penerbitan surat utang. Kebijakan ini menyebabkan semakin buruknya kinerja perekonomian yaitu meroketnya tingkat inflasi hingga mencapai 2.660.522% (pada 2008), yang merupakan salah satu inflasi tertinggi di dunia.
2)        Kondisi sosial politik yang tidak kondusif. Kondisi makroekonomi yang tidak stabil berpengaruh pula terhadap kondisi sosial politik di Zimbabwe. Ketidakstabilan tersebut memicu keresahan publik, terutama karena meroketnya harga barang dan jasa.
Dari kasus Brazil dan Zimbabwe dapat dipahami bahwa penyebab utama kegagalan redenominasi adalah tingkat stabilitas ekonomi yang belum mantap, laju inflasi yang tidak menentu, kurangnya sosialisi dari pemerintah, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang diambil pemerintah, dan dilakukan tanpa perencanaan yang tepat.

3. Masyarakat Ekonomi ASEAN
ASEAN merupakan organisasi regional di kawasan Asia Tengara yang bergerak di bidang kerjasama politik dan ekonomi. Lahirnya ASEAN tidak terlepas dari disepakatinya ketentuan dalam Bangkok Declaration 1967. Seiring waktu, ASEAN yang semula berbentuk loose organization atau organisasi informal berubah menjadi organisasi yang bersifat rules-based berdasarkan ASEAN Charter 2008. ASEAN kemudian lebih berorientasi pada adanya suatu internalisasi dan integrasi negara-negara anggota ke dalam suatu kesatuan organisasi yang bersifat badan hukum. Hal ini berimplikasi pada perubahan organisasi yang mengarah pada terbentuknya jaringan masyarakat ASEAN berbasiskan kesatuan politik (ASEAN Political Security Community),  kesatuan ekonomi dengan sistem satu basis pasar dan produksi (ASEAN Economic Community), dan kesatuan hak sosial dan kultural (ASEAN Socio-Cultural Community).[19]
Terdapat empat pilar ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN yaitu: 1) single market and production base; 2) competitive economic region; 3) equitable economic; 4) integration into the global.  Empat pilar dasar ini merupakan landasan fundamental yang harus diwujudkan dan dicapai sebagai implikasi diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang bersifat terbuka akan prinsip-prinsip pasar bebas.[20]
Setiap negara anggota ASEAN mau tidak mau harus siap menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Indonesia merupakan salah satu insiator lahirnya kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN sehingga harus menunjukkan usaha untuk mengimplementasikan apa yang telah tercantum dalam strategic schedule terutama menghadapi era keterbukaan dan pasar bebas. Setidaknya ada lima area bisnis yang hendak dicapai yakni 1) kebebasan arus barang (free flow of goods); 2) kebebasan arus jasa (free flow of services); 3) kebebasan untuk investasi (free flow of investments); 4) kebebasan arus modal (free flow of capitals); dan 5). kebebasan arus tenaga kerja ahli (free flow of skilled labour).[21]
Berdasarkan gambaran tersebut, dipastikan perputaran arus barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja menyebabkan adanya perputaran uang dalam hal ini termasuk rupiah. Nilai tukar dan daya beli rupiah yang kuat menjadi sangat penting bagi kesetaraan dan kredibilitas rupiah terhadap mata uang lain di kawasan Asia Tenggara. Besarnya denominasi atau pecahan rupiah di antara kawasan Asia Tenggara tentu menyebabkan inefisiensi dan tidak kredibelnya rupiah di antara mata uang negara-negara Asia Tenggara.

B. Urgensi Kebijakan Redenominasi dalam Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini adalah Rp100.000,00. Uang rupiah tersebut merupakan pecahan terbesar kedua di dunia. Terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun hal itu tidak memperhitungkan negara Zimbabwe yang pernah mencetak 100 miliar dolar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.[22]
Selain untuk efisiensi transaksi perokonomian dan meningkatkan kredibilitas rupiah, fakta bahwa saat ini rupiah memiliki jumlah digit yang terlalu banyak, menyadarkan adanya kebutuhan untuk melakukan penyederhanaan jumlah digit pada denominasi uang rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga, atau nilai tukarnya. Kebijakan perubahan harga mata uang yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah redenominasi. 
1.           Meningkatkan Kepercayaan Terhadap Rupiah
Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang terkait kestabilan nilai rupiah telah lama mewacanakan rencana penerapan kebijakan redenominasi di Indonesia.[23] Redenominasi diartikan sebagai upaya untuk menyederhanakan penyebutan atau penulisan pecahan denominasi mata uang rupiah dengan cara menghilangkan sejumlah digit angka nol dalam denominasi rupiah tanpa mengurangi daya beli uang tersebut. Redenominasi  merupakan pemotongan nilai uang sedangkan harga barang tetap bahkan cenderung meningkat sehingga daya beli efektif masyarakatpun menurun. Penyederhanaan mata uang rupiah dapat menjadi suatu cara untuk meningkatkan kepercayaan terhadap mata uang rupiah. Pecahan mata uang rupiah yang sederhana dapat mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara lainnya di kawasan.
2.           Efisiensi Transaksi Ekonomi dan Keuangan
Dari sisi sistem pembayaran non tunai, redenominasi dapat mencegah terjadinya kendala teknis akibat jumlah digit yang besar. Redenominasi dapat menjadi kebijakan untuk mengantisipasi permasalahan akibat nilai transaksi yang melampaui jumlah digit yang dapat ditolerir oleh infrastruktur sistem pembayaran dan sistem pencatatan transaksi, di samping itu juga untuk meningkatkan efisiensi transaksi perekonomian. Dampak lain yang cukup terasa terjadi pula dalam dunia pendidikan di mana denominasi rupiah yang besar kurang mendukung pendidikan dasar anak usia sekolah karena transaksi tunai sehari-hari yang  jumlah digitnya sangat berbeda dengan pengetahuan yang dipelajari di sekolah.
3.           Sebagian Masyarakat telah Mempraktrikkan Redenominasi
Dalam praktik keseharian sesungguhnya penyederhanaan penyebutan harga barang dan jasa telah dilakukan. Praktik tersebut antara lain telah lama dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam membuat laporan keuangan, perhotelan, restauran, dan pertokoan bahkan sebagian daerah pedesaan telah melakukannya dalam transaksi di pasar ternak. Salah satu yang prinsip dari keberhasilan penerapan redenominasi adalah pemahaman masyarakat mengenai pengertian redenominasi. Dengan memperhatikan praktik yang telah berjalan tersebut, kiranya mempermudah pemahaman masyarakat. Masyarakat di perkotaan terbiasa dengan label harga barang atau makanan yang telah disederhanakan dengan menghilangkan tiga angka nol dalam satuan rupiah.
4.           Dukungan Politik dan Dasar Hukum yang Kuat
Salah satu kondisi yang diperlukan untuk pengambilan kebijakan redenominasi sebagaimana tergambar dalam kerangka konsepsional dan praktik empiris di beberapa negara adalah kondisi perekonomian negara yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang kuat sehingga dapat menekan dampak negatif reaksi psikologis masyarakat. Berdasarkan data indikator makro, dapat dikatakan bahwa perekonomian Indonesia saat ini secara umum cukup kuat dan dapat mendukung pemberlakukan kebijakan redenominasi. Namun demikian, belum adanya dukungan politik yang signifikan dari legislatif dan penyelenggaraan pesta politik seperti pemilu legislatif dan pemilu presiden di tahun 2014 menjadi pertimbangan mendasar tertundanya pelaksanaan kebijakan redenominasi. Selain itu suatu dasar hukum yang memadai bagi pelaksanaan redenominasi dalam bentuk undang-undang mutlak adanya. Selain sebagai suatu dasar hukum juga sebagai wujud dukungan politik dari lembaga legislatif.
5. Stabilitas Ekonomi Makro Indonesia
Salah satu aspek penting yang seharusnya menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan untuk segera mewujudkan dasar hukum penerapan redenominasi adalah fakta bahwa pada tahun 2015, Indonesia harus siap memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kondisi makro ekonomi Indonesia yang kuat menjadi prasyarat suksesnya pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN di 2015. Redenominasi merupakan salah satu kebijakan yang dapat digunakan untuk mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara terkait dengan nilai tukar barang dan jasa.
Perekonomian Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan kinerja yang cukup baik di tengah situasi perekonomian global yang masih dibayang-bayangi oleh berbagai ketidakpastian, seperti prospek pemulihan ekonomi di kawasan Eropa dan kondisi politik dalam negeri di Amerika Serikat. Di Eropa, beberapa negara mengalami krisis hutang, seperti Yunani, Italia, Irlandia, Potugal, dan Spanyol. Sementara di Amerika Serikat terdapat ancaman jurang fiskal (fiscal cliff) akibat perbedaan sudut pandang dan kepentingan antara Pemerintahan Barrack Obama (Partai Demokrat) dengan Kongres yang didominasi oleh Partai Republik, terkait strategi kebijakan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak, efisiensi pengeluaran negara terutama pengurangan pengeluaran untuk perlindungan sosial, serta batasan hutang dan defisit anggaran pemerintah. Krisis tersebut turut berimbas pada penurunan permintaan eksternal dan perlambatan aktivitas perekonomian di Asia, termasuk Tiongkok dan India.[24] Namun secara umum kondisi ini tidak berpengaruh signifikan terhadap stabilitas perekonomian Indonesia.


5.  Meningkatkan Kesetaraan, Kepercayaan dan Kebanggaan terhadap Rupiah
Meskipun demikian, level nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing termasuk yang terendah di antara negara kawasan ASEAN menyebabkan nilai tukar rupiah belum dipandang setara dengan mata uang negara kawasan. Dengan demikian, redenominasi mata uang rupiah menjadi sangat diperlukan untuk menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN. Penyederhanaan mata uang rupiah dapat menjadikan  nilai mata uang rupiah setara dengan mata uang negara kawasan. Penyederhanaan ini selanjutnya akan semakin mempermudah transaksi perdagangan, baik barang maupun jasa, dengan negara kawasan ASEAN.[25]
Denominasi rupiah perlu dirancang guna mendukung persiapan menuju era tersebut. Akan baik sekali, apabila satuan mata uang rupiah setara dengan satuan mata uang negara-negara anggota ASEAN. Redenominasi akan meningkatkan kebanggaan masyarakat terhadap rupiah serta mempersiapkan kesetaraan ekonomi nasional dengan kawasan dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN.  Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dibandingkan dengan negara lain, denominasi mata uang rupiah merupakan yang terbesar di kawasan setara dengan Dong Vietnam dan Riel Kamboja.  Selain itu, nilai tukar rupiah jika dikonversi ke dolar Amerika Serikat juga termasuk yang terkecil. Padahal, dari sisi fundamental ekonomi, Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan kedua negara tersebut.[26]
Indonesia akan lebih dipandang di mata dunia jika mampu memperkuat nilai rupiah. Saat ini kredibilitas mata uang Indonesia masih dianggap rendah, sehingga perlu diambil kebijakan redenominasi untuk mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara regional. Dari aspek psikologis, tingkat kepercayaan terhadap mata uang tersebut diharapkan lebih tinggi karena nilainya terlihat lebih kuat terhadap mata uang lain. Selain itu juga diharapkan mampu mengurangi risiko currency substitution yang selanjutnya mendukung nilai Rupiah yang lebih stabil.[27]
Oleh karena itu, motivasi dan manfaat redenominasi mata uang rupiah menjadi semakin penting peranannya dalam rangka menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN karena dengan redenominasi, penyederhanaan mata uang rupiah menjadikan nilainya setara dengan mata uang negara kawasan. Penyederhanaan ini selanjutnya akan semakin mempermudah transaksi perdagangan, baik barang maupun jasa, dengan negara kawasan.
III. Penutup
A.                                                                  Simpulan
          Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun belum dapat dilaksanakan karena belum lahirnya Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah sebagai dasar hukum pelaksanaan redenominasi, namun tuntutan global dan pertimbangan praktis dan ekonomis menuntut tetap dilanjutkannya rencana penerapan kebijakan redenominasi.
          Dengan dimulainya era Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia harus siap berkompetisi secara terbuka dan bebas dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya. Hal ini menuntut adanya suatu mata uang yang setara dan kuat agar tidak terjadi inefisiensi secara ekonomi. Di samping itu nilai mata uang yang kuat dan setara dengan negara di kawasan akan meningkatkan kredibilitas rupiah yang secara tidak langsung akan meningkatkan rasa percaya diri bangsa Indonesia dalam berinteraksi dalam perdagangan dan persaingan yang semakin terbuka.
B.                                                                                   Saran
Jika kondisi perekonomian dalam beberapa tahun ke depan tetap stabil dan cenderung meningkat, terlebih tingkat inflasi cenderung menurun maka secara politis Pemerintah dan DPR harus dapat segera mewujudkan kebijakan redenominasi. Hal yang tidak kalah penting adalah edukasi dan sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat memiliki pemahaman yang tepat terhadap redenominasi. Kesiapan masyarakat secara psikologis merupakan faktor penting keberhasilan pelaksanaan redenominasi.



DAFTAR PUSTAKA
Buku

Salim, Joko. 108 Tanya Jawab tentang Investasi. Jakarta: Visi Media, 2010.


Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1959 tentang Penurunan Nilai Uang Kertas Rp. 500,- dan Rp. 100,-.


Bahan yang Tidak Diterbitkan

Herlambang R, Sulung., Tia Sutiasih, dan Hanny Qudsyina.  Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi Era Mea 2015 Melalui Kebijakan Redenominasi, Makalah Disusun untuk Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah National Economics Events, Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman, 2013.

Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah, November 2012.

Prijambodo, Bambang. Proceeding Seminar Kesiapan Produk Legislasi dalam Menyongsong ASEAN Economic Community (AEC) 2015,  diselenggarakan oleh Deputi Bidang Perundang-undangan Setjen DPR RI, Jakarta 7 Mei 2014.

Siaran Pers Bersama Kementerian Keuangan – Bank Indonesia Nomor 11/KLI/2013, No: 15/3/PSHM Humas tentang Kebijakan Redenominasi Bukan Sanering,  Jakarta 23 Januari, 2013.
Tim Assistensi RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. Selayang Pandang Redenominasi, Kajian merupakan Bahan yang disiapkan bagi Anggota Pansus RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, 2013.

Website


Dosen Fakultas Ekonomi. Kajian Tentang Rencana Redenominasi Rupiah Dalam Sistem Keuangan Jangka Panjang Di Indonesia, JRAK: Jurnal Riset Akuntansi dan Komputerisasi Akuntansi, Universitas Islam 45 Bekasi, Vol 2, No 01 Tahun 2011. http://www.ejournal-unisma.net/ojs/index.php/jrak/issue/view/11, diakses 3 Desember 2014.

Perbedaan Redenominasi Rupiah dengan Sanering Rupiah. http://www.redenominasirupiah.com/perbedaan-redenominasi-rupiah-dengan-sanering-rupiah/, diakses 03 Desember 2014.






[1] Siaran Pers Bersama Kementerian Keuangan – Bank Indonesia Nomor 11/KLI/2013, No: 15/3/PSHM Humas tentang Kebijakan Redenominasi Bukan Sanering,  Jakarta 23 Januari 2013.
[2]Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Bank Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah, , November 2012, hal.53.
[3]Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Bank Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah, hal. 11.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hal 11-12.
[6] Sulung Herlambang R, Tia Sutiasih, dan Hanny QudsyinaKesiapan Indonesia Dalam Menghadapi Era Mea 2015 Melalui Kebijakan Redenominasi, Makalah Disusun untuk Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah National Economics Events, Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman, 2013, hal.6.

[7]Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Bank Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah, hal. 12
[8] Ibid., hal. 12.
[9] Perbedaan Redenominasi Rupiah dengan Sanering Rupiah, http://www.redenominasirupiah.com/perbedaan-redenominasi-rupiah-dengan-sanering-rupiah/, diakses 03 Desember 2014.
[10]Tim Assistensi RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, Selayang Pandang Redenominasi, Kajian merupakan Bahan yang disiapkan bagi Anggota Pansus RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, 2013.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Bank Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah, hal. 41-43.
[14]Tim Assistensi RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. Selayang Pandang Redenominasi, Kajian merupakan Bahan yang disiapkan bagi Anggota Pansus RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, 2013.

[15] Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Bank Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah, hal. 44-46

[16] Tim Assistensi RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. Selayang Pandang Redenominasi, Kajian merupakan Bahan yang disiapkan bagi Anggota Pansus RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, 2013.

[17] Ibid., hal. 47
[18] Ibid., hal. 48.
[19] Bambang  Prijambodo, Proceeding Seminar Kesiapan Produk Legislasi dalam Menyongsong ASEAN Economic Community (AEC) 2015,  diselenggarakan oleh Deputi Bidang Perundang-undangan Setjen DPR RI, Jakarta 7 Mei 2014, hal.12.
[20] Ibid., hal. 13.
[21] Ibid., hal.14.
[22] Dosen Fakultas Ekonomi, Kajian Tentang Rencana Redenominasi Rupiah Dalam Sistem Keuangan Jangka Panjang Di Indonesia, JRAK: Jurnal Riset Akuntansi dan Komputerisasi Akuntansi, Universitas Islam 45 Bekasi, Vol 2: No 01 Tahun 2011,  http://www.ejournal-unisma.net/ojs/index.php/jrak/issue/view/11, diakses 3 Desember 2014.

[23] Dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, secara tegas dinyatakan bahwa tujuan pokok Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah tercermin dari perkembangan laju inflasi serta nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Untuk mencapai kestabilan dimaksud Bank Indonesia didukung oleh tiga bidang utama tugas, yaitu: menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi bank.
[24] Sulung Herlambang R, Tia Sutiasih, dan Hanny Qudsyina, Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi Era Mea 2015 Melalui Kebijakan Redenominasi,  hal.12.

[25] Nasakah Akademik RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, hal.50-51.
[26] Ibid., hal. 24.
[27] Sulung Herlambang R, Tia Sutiasih, dan Hanny Qudsyina, Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi Era Mea 2015 Melalui Kebijakan Redenominasi, hal.31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan komentar anda di sini. Untuk penggunaan referensi harap mencantumkan sumber.