Lanjutan dari tulisan sebelumnya (Bagian I)
III. Perlindungan terhadap Wanita Hamil dan Menyusui dalam Perspektif Perundang-undangan
Kesehatan
merupakan hak dasar semua warga negara, hal ini secara jelas dinyatakan
dalam Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945. Terkait dengan hak reproduksi
wanita yang merupakan hak khusus dikarenakan fungsi reproduksinya, -yang
tidak dimiliki laki-laki, Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa ”Setiap
orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Selanjutnya, ketentuan mengenai hak reproduksi diatur dalam UU HAM.
Pasal 49 ayat (2) UU HAM menyatakan bahwa ”Wanita berhak untuk
mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau
profesinya terhadap hal hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau
kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita”. Penjelasan ayat
(2) menjelaskan aspek perlindungan khusus tersebut pada dua hal yakni
pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan
pemberian kesempatan untuk menyusui anak.
Hal ini diperkuat dengan
ketentuan pada ayat (3) yang menegaskan bahwa ”Hak khusus yang melekat
pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan
dilindungi oleh hukum.” Dengan kata lain, hak reproduksi harus dijamin
dan dilindungi, sehingga serta merta melahirkan kewajiban-kewajiban bagi
suami, masyarakat, negara, dan pihak terkait lainnya untuk memenuhi
hak-hak perlindungan bagi wanita terkait hak reproduksinya tersebut. Di
dalam hak perlindungan itulah, hak reproduksi mendapatkan tempatnya.
Perlindungan merupakan segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman dan jaminan terhadap hak perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Ketentuan
dalam UU HAM merupakan ruh dari perlindungan terhadap hak reproduksi
wanita. Namun demikian, akan menjadi sia-sia semangat perlindungan
tersebut jika tidak dibarengi dengan realisasi dalam kebijakan-kebijakan
di bidang lain yang terkait erat seperti kebijakan kesehatan,
kependudukan, dan ketenagakerjaan. Terkait dengan konsep gender,
kebijakan pemerintah di berbagai bidang seharusnya mendukung dan
melindungi hak reproduksi wanita. Pada tataran perundang-undangan,
beberapa Undang-undang telah menjadikan isu perlindungan hak reproduksi
dalam ketentuan dan pengaturan yang mengikat. Namun demikian masih
terdapat catatan-catatan terhadap adanya ”jarak” antara kondisi ideal
sebagaimana diarahkan dalam UU HAM dengan kebijakan-kebijakan tersebut.
Pada tataran peraturan pelaksana, terdapat beberapa kebijakan secara
normatif sudah mengarah dan mendukung pemenuhan perlindungan hak khusus
tersebut namun belum tersosialisai dan diimplementasikan dengan baik.
A. Bidang Kesehatan
Beberapa
perbedaan mendasar dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (UU Kesehatan) dari Undang-Undang yang diubahnya
(Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992) adalah adanya penekanan bahwa
kesehatan merupakan hak asasi setiap orang dan kewajiban bagi pemerintah
untuk memenuhi hak warga negara tersebut, serta penekanan pada aspek
pencegahan terhadap kemungkinan sakit. Selain itu mengenai pengaturan
kesehatan reproduksi baik perempuan wanita dan hak-hak reproduksinya
diatur dalam suatu bagian tersendiri. Berbagai persoalan terkait dengan
hak-hak dan kesehatan reproduksi diharapkan dapat terselesaikan dengan
mengamandemen UU Kesehatan. UndangUndang yang baru diharapkan menjadi
pegangan bagi lembaga pemerintah baik di pusat maupun di daerah serta
anggota masyarakat secara keseluruhan dalam rangka penyelenggaraan
kesehatan yang menjamin hak-hak perempuan dalam kesehatan reproduksi. UU
Kesehatan dilahirkan dengan suatu landasan pemikiran akan pentingnya
investasi terhadap sumber daya manusia.
Beberapa isu terkait
dengan kesehatan perempuan, khususnya kesehatan reproduksi telah
diakomodir dalam UU ini. Ketentuan mengenai kesehatan reproduksi diatur
dalam Bagian tersendiri. Menegaskan pengertian internasional mengenai
kesehatan reproduksi yang komprehensif, Pasal 71 ayat (1) menyebutkan
kesehatan reproduksi sebagai keadaan sehat secara fisik, mental, dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada
lakilaki dan perempuan. Kesehatan tersebut meliputi: a. saat sebelum
hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan; b. pengaturan
kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan c. kesehatan
sistem reproduksi {ayat (2)}. Pelaksanaan kesehatan reproduksi dilakukan
melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif {ayat
(3)}.
Pasal 73 lebih lanjut menjelaskan tentang hak-hak terkait
kesehatan reproduksi. Hak tersebut diantaranya adalah hak untuk
menjalani dan menentukan kehidupan reproduksi dan seksual yang sehat,
aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan sertha hak memperoleh
informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang
benar dan dapat dipertanggungjawabkan. UU ini mewajibkan pemerintah
untuk mejamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan
kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat,
termasuk keluarga berencana (Pasal 73).
Pelayanan kesehatan
reproduksi harus dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan
aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan dan tidak
bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 74). Ketentuan ini terkait pula dengan praktik
aborsi, dimana UU ini memungkinkan tindakan aborsi dengan pertimbangan
keselamatan nyawa ibu/atau janin (indikasi kedaruratan medis) dan faktor
psikologis wanita dalam hal kehamilan akibat perkosaan (Pasal 75).
Dalam pelaksanaannya aborsi tersebut harus memperhatikan aspek-aspek
yang ketat (Pasal 76). Hal ini tidak lain ditujukan untuk melindungi
Ibu/wanita. Bahkan ada kewajiban pemerintah untuk melindungi dan
mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan (Pasal 77).
UU ini mengatur pula
kesehatan ibu, bayi dan anak dalam satu bab khusus (bab ketujuh). Dalam
rangka mengurangi AKI dan menjaga kesehatan ibu agar mampu melahirkan
generasi yang sehat dan berkualitas, dilakukan upaya kesehatan ibu
secara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Guna
terselenggaranya pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan
terjangkau, Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan
obat (Pasal 126).
Peningkatan kualitas SDM, dimulai sejak janin
dalam kandungan, masa bayi, balita, anak-anak sampai dewasa. Pemberian
ASI pada bayi merupakan cara terbaik bagi peningkatan kualitas SDM sejak
dini yang akan menjadi penerus bangsa. ASI merupakan makanan yang
paling sempurna bagi bayi. Pemberian ASI berarti memberikan zat-zat gizi
yang bernilai gizi tinggi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan syaraf dan otak, memberikan zat-zat kekebalan terhadap
beberapa penyakit dan mewujudkan ikatan emosional antara ibu dan
bayinya.
Mengingat pentingnya ASI bagi kualitas generasi masa
depan, UU ini mengatur tentang hak mendapatkan ASI ekslusif bagi bayi
selama enam bulan, kecuali atas indikasi medis. ASI ekslusif adalah
pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan, dan dapat terus dilanjutkan
sampai dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan pendamping air
susu ibu (MP-ASI) sebagai tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi.
Pemberian ASI harus didukung penuh oleh pihak keluarga, Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat antara lain dengan penyediaan waktu
dan fasilitas khusus yang diadakan di tempat kerja dan tempat sarana
umum (pasal 128). Untuk menjamin hak bayi untuk mendapatkan ASI
eksklusif, pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan berupa
pembuatan norma, standar, prosedur dan kriteria (pasal 129).
Namun
disayangkan ketentuan yang ideal ini menjadi ”cacat” dengan adanya
pengecualian pemberian ASI ekslusif, yakni atas indikasi medis.
Penjelasan atas “indikasi medis” dalam ketentuan ini adalah ’kondisi
kesehatan ibu yang tidak memungkinkan memberikan air susu ibu
berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga medis”. Dari
berbagai hasil penelitian, tidak ada kondisi kesehatan ibu yang
menghalangi pemberian ASI apabila sang Ibu telah memiliki komitmen untuk
memberi ASInya secara ekslusif. Ketentuan ini terkesan mengada-ada dan
menjadi ”pasal karet” terlebih indikasi medis tersebut ditetapkan oleh
tenaga medis.
Sebaliknya pemberian ASI eksklusif terbukti
memberikan dampak positif baik bagi anak maupun bagi ibu menyusui
sendiri. Bahkan menyusui meningkatkan kualitas hidup ibu, yakni
mengurangi resiko kanker payudara, kanker rahim, diabetes, osteoporosis,
dan overwight, mengurangi kegelisahan dan stress, serta merupakan KB
alami. Misalnya, dari 43 penelitian di 30 negara pada 147.000 ibu,
resiko kanker payudara lebih rendah pada ibu menyusui. Menyusui akan
menurunkan 25% – 30% resiko kanker payudara. Dalam ASI adanya zat
Mediator “Innate Immune System” termasuk defensin, cathelicidins dan
TLRs (toll-like receptors). Innate Immune System suatu zat kompleks
dalam ASI yang memberikan perlindungan jaringan payudara ibu terhadap
kanker.
Ketentuan pengecualian ini juga menyebabkan ketentuan
pidana terkait pelanggaran atas program pemberian ASI ekslusif (Pasal
200) menjadi lumpuh dan tidak memiliki kekuatan. Karena mereka yang
berusaha menghalangi pemberian ASI dapat mendalihkan indikasi medis,
yang ditetapkan oleh tenaga medis untuk mengagalkan program ASI
ekslusif. Padahal dalam ketentuan pidana ini terdapat unsur pemberatan
dan pidana tambahan bagi koorporasi (Pasal 201).
Disamping itu,
keberhasilan ASI eklsusif sangat ditentukan oleh komitmen tenaga medis.
Mereka merupakan ujung tombak untuk mempertahankan menyusui. Namun
tenaga medis belum dapat berperan efektif membantu menyusui karenanya
diperlukan usaha untuk mengubah perilaku tenaga kesehatan agar lebih
berperan dalam meningkatkan keberhasilan menyusui eksklusif. Hal ini
menjadi salah satu isu dalam RUU tentang Tenaga Kesehatan.
Ketentuan-ketentuan
dalam UU ini mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan
Pelaksanaan yang ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal
pengundangan UU ini, tepatnya 13 Oktober 2010. namun hingga saat ini
belum ada peraturan pelaksana dari UU tersebut.
Namun demikian,
sebelum disahkannya UU Kesehatan yang baru terdapat beberapa peraturan
pelaksana dari UU kesehatan yang lama (UU Nomor 23 tahun 1992), yang
pada hakikatnya telah memberikan arahan akan pentingnya hak menyusui
bagi Ibu dan menyusu bagi bayi. Di antaranya adalah KEPMENKES Nomor
450/MENKES/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara
Eksklusif bagi Bayi di Indonesia.
KEPMENKES tentang Pemberian ASI
Secara Eksklusif menetapkan pemberian ASI secara eksklusif bagi bayi di
Indonesia sejak bayi lahir sampai dengan bayi berumur 6 (enam) bulan dan
dianjurkan dilanjutkan sampai anak berusia 2 (dua) tahun dengan
pemberian makanan tambahan yang sesuai. Untuk menunjang pelaksanaan
pemberian ASI ekslusif tersebut dihimbau kepada semua tenaga kesehatan
yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan agar menginformasikan kepada
semua Ibu yang baru melahirkan untuk memberikan ASI Eksklusif. Sebagai
acuan dalam memberikan informasi, Kepmen ini melampirkan Sepuluh Langkah
Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM).
Disini terlihat penting dan
signifikannya peran tenaga medis/kesehatan dalam mensukseskan pemberian
ASI ekslusif. Pada kenyataannya, kurangnya komitmen dari tenaga
kesehatan justru sering menjadi kendala. Kondisi ini dapat disebabkan
oleh kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan itu sendiri, namun dapat
pula disebabkan oleh keberpihakan tenaga medis pada produk-produk susu
pengganti asi (formula) yang sangat gencar dan intens melakukan
pemasaran termasuk dengan menjalin kerjasama dengan beberapa rumah sakit
bersalin atau pihak tenaga medis sendiri. Meskipun tidak semua tenaga
medis seperti itu, namun berbagai laporan para ibu yang berhimpun dalam
Asosisasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) mentenggarai adanya fakta
tersebut. Sebagai contoh dengan alasan ASI sang Ibu belum berproduksi,
bayi langsung diberi susu formula, padahal secara alamiah bayi dapat
bertahan tanpa asupan apapun sampai tiga hari. Kondisi bayi baru lahir
telah diciptakan sedemikian untuk mengantisipasi kemungkinan kelambatan
produksi ASI ibunya. Hal ini seharusnya dapat dihindari dengan melakukan
Inisiasi Menyusui Dini (IMD) pada saat persalinan. Praktik IMD sendiri,
masih relatif belum tersosialisasi, baik di kalangan tenaga medis yang
membantu persalinan, pihak Rumah Sakit, maupun sang Ibu dan keluarganya.
Pemberian
ASI sangat penting bagi tumbuh kembang yang optimal baik fisik maupun
mental dan kecerdasan anak, maka perlu perhatian agar dapat terlaksana
dengan benar. Faktor keberhasilan dalam menyusui adalah dengan menyusui
secara dini dengan posisi yang benar, teratur dan eksklusif. Program
Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI) khususnya ASI eksklusif mempunyai
dampak yang luas terhadap status gizi ibu dan bayi. Pemberian ASI di
Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya. Upaya meningkatkan perilaku
menyusui pada ibu yang memiliki bayi khususnya ASI eksklusif masih
dirasa kurang. Permasalahan yang utama adalah faktor sosial budaya,
kesadaran akan pentingnya ASI, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan
yang belum sepenuhnya mendukung PP-ASI, gencarnya promosi susu formula
dan ibu bekerja.
Kesuksesan program pemberian ASI ekslusif juga
tidak terlepas dari peran pengawasan pemerintah terhadap berbagai produk
pengganti ASI yang beredar di masyarakat. Penyampaian informasi melalui
pemasaran dan promosi yang tidak sesuai, dapat menimbulkan kesalahan
pandangan dan persepsi masyarakat akan pentingnya pemberian ASI, dan
lebih lanjut kewajiban pemberian ASI ekslusif 6 bulan.
Pada tahun
1997, terbit KEPMENKES Nomor: 237/MENKES/SK/IV/1997 tentang Pemasaran
Pengganti Air Susu Ibu. Pengaturan terkait peredaran dan pelabelan
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Namun
ketentuan dalam bagian informasi dan edukasi bagi tenaga kesehatan masih
sangat normatif dan tidak ada penekanan yang sifatnya ”mendukung”
terhadap program ASI ekslusif.
Dalam hal promosi dan pemasaran,
tenaga kesehatan ikut mempromosikan produk pengganti ASI yang dibiayai
atau disediakan oleh Badan Usaha, menerima sampel atau sumbangan, dan
meminta atau menerima pemberian apapun dari badan usaha. Sedangkan
terhadap badan usaha dilarang memberikan sampel secara cuma-cuma,
menjajakan, menawarkan atau menjual langsung ke rumah-rumah, memberikan
potongan harga atau tambahan, atau menggunakan tenaga kesehatan untuk
memberikan informasi tentang pengganti air susu ibu kepada masyarakat.
Secara normatif, pengaturan dalam KEPMEN ini sudah cukup memadai, namun
mengingat instrumen yang hukumnya adalah peraturan di tingkat Menteri,
maka dari aspek penegakan hukum menjadi kurang signifikan karena hanya
dimungkinkan dengan sanksi administratif yang dalam pelaksanaannya
membutuhkan pengwasan yang intensif.
B. Bidang Ketenagakerjaan.
Wanita
yang bekerja merupakan arus utama di banyak industri. Mereka
diperlakukan sama dari beberapa segi, hanya dari segi riwayat kesehatan
mereka seharusnya diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam hal
pelayanan kesehatan. Pekerja perempuan dituntut untuk meningkatkan
kemampuan dan kapasitas kerja secara maksimal, tanpa mengabaikan
kodratnya sebagai wanita. Sesuai dengan kodratnya, pekerja wanita akan
mengalami haid, kehamilan, melahirkan dan menyusui bayi. Sebagaimana
ditegaskan dalam UU HAM, Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan
khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal hal yang
dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan
fungsi reproduksi wanita.
Perlindungan khusus bagi pekerja
perempuan merupakan bagian dari perlindungan pekerja pada umumnya,
seperti perlindungan atas hak-hak dasar pekerja untuk berunding dengan
pengusaha, perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan
khusus bagi pekerja anak, dan penyandang cacat, serta perlindungan
tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja.
Perlindungan
terhadap hak reproduksi wanita, yang dalam konteks ini adalah hamil,
melahirkan dan menyusui tidak hanya sekedar terpenuhinya hak dan
pelayanan kesehatan. Namun juga perlindungan bagi wanita dalam posisinya
sebagai tenaga kerja, di berbagai sektor, di berbagai bidang dan di
berbagai tingkatan. Isu-isu pokok antara lain mengenai hak untuk hamil
pada masa kerja, hak mendapat perlindungan keselamatan dan keamanan
kehamilan saat bekerja, hak cuti, hak mendapat upah yang adil pada saat
cuti, dan hak mendapat kesempatan menyusui pada waktu kerja.
Dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan) terdapat pengaturan khusus bagi pekerja perempuan
(Paragraf 2). Dalam hal jam kerja dan lembur, jika menurut keterangan
dokter kerja lembur atau shift di atas jam 23.00 akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan kandungan, maka pengusaha dilarang
mempekerjakan pekerja perempuan yang hamil tersebut {Pasal 76 ayat (2)}.
Demikian pula perempuan yang merasakan sakit pada masa haid tidak wajib
bekerja pada hari pertama dan kedua {Pasal 81 ayatt (1)}. Batas cuti
melahirkan adalah 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan {Pasal 82
ayat (1)}. Lamanya cuti dapat diperpanjang dengan dasar surat keterangan
dokter atau bidan. Sedangkan bagi yang mengalami keguguran berhak
memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter {
Pasal 82 ayat (2)}.
Perempuan tetap berhak mendapat upah penuh
selama cuti dan istirahat (Pasal 84). Kewajiban pengusaha membayar upah
penuh juga berlaku bagi pekerja pria yang cuti (2 hari) karena isterinya
melahirkan atau keguguran kandungan {Pasal 93 ayat (20)}. Dalam UU
ketenagakerjaan tidak ada pengaturan mengenai pembatasan hak cuti
bersalin tekait jumlah anak. Ironisnya bagi pekerja perempuan yang
berstatus pegawai negeri sipil (PNS), hak cuti bersalin dengan tetap
mendapatkan penghasilan penuh hanya berlaku bagi persalinan anak yang
pertama, kedua, dan ketiga. Bagi persalinan anak keempat dan seterusnya
hak cuti bersalin dapat diberikan namun tanpa mendapat penghasilan/gaji
penuh, sehingga dikategorikan cuti diluar tanggungan Negara, Dengan
lamanya cuti adalah satu bulan sebelum dan dua bulan sesudah melahirkan.
Bagi
wanita bekerja yang masih menyusui, harus diberi kesempatan sepatutnya
untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja,
yakni dengan dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan
kondisi dan kemampuan perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama (Pasal 83). Kondisi hamil, melahirkan,
keguguran kandungan atau menyusui tidak dapat dijadikan alasan bagi
pemutusan hubungan kerja (Pasal 153).
Menyusui adalah hak setiap
ibu tidak terkecuali ibu yang bekerja, maka agar dapat terlaksananya
pemberian ASI diperlukan dukungan dari pihak manajemen, lingkungan kerja
dan pemberdayaan pekerja perempuan sendiri. Pada ibu yang bekerja,
singkatnya masa cuti hamil/melahirkan mengakibatkan sebelum masa
pemberian ASI eksklusif berakhir sudah harus kembali bekerja. Hal ini
mengganggu uapaya pemberian ASI eksklusif. Oleh karena itu salah satu
yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana ibu yang bekerja dapat
tetap memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif sampai 6 (enam)
bulan dan dapat dilanjutkan sampai anak berumur 2(dua) tahun. Dari
berbagai penelitian menunjukan banyak alasan yang menghentikan pemberian
ASI. Selain keterbatasan waktu, gencarnya promosi susu formula dan
kebiasaan memberikan makanan/minuman secara dini pada sebagian
masyarakat, menjadi pemicu kurang berhasilnya pemberian ASI eksklusif.
Keuntungan
dan manfaat pemberian ASI bagi Ibu, bayi, keluarga, masyarakat bahkan
bagi perusahaan sangat besar. ASI melindungi kesehatan ibu,
memperpanjang kehamilan berikutnya dan menghemat waktu. ASI merupakan
makanan terbaik bagi bayi, memberikan imunitas (mengurangi risiko diare,
infeksi jalan nafas, alergi dan infeksi lainnya). Dari aspek
psikologis, ASI mempererat hubungan ibu dan bayi dan meningkatkan status
mental dan intelektual). Kondisi ini akan meningkatkan status kesehatan
dan gizi ibu dan bayinya sekaligus penghematan biaya. Secara tidak
langsung pemberian ASI berkontribusi untuk pengembangan ekonomi,
melindungi lingkungan dari sampah-sampah botol-botol bekas, dot, kemasan
susu dan lainnya, menghemat sumber dana yang terbatas dan kelangkaan
pangan serta berkontribusi dalam penghematan devisa negara. Hal yang
juga tidak dapat disangkal adalah bahwa pemberian ASI bermanfaat bagi
perusahaan, yakni menghemat biaya pengobatan, meningkatkan produktivitas
kerja dan meningkatkan citra perusahaan.
Ketentuan dalam UU
Ketenagakerjaan baru menjadi efektif jika dituangkan dalam Perjanjian
Kerja Bersama, kontrak perjanjian kerja atau peraturan perusahaan
sehingga memiliki daya paksa. Karenanya serikat pekerja diarahkan untuk
mengakomodir perlindungan hak khusus dalam setiap kesepakatan yang
dibuat dengan pihak perusahaan.
Dalam rangka peningkatan pemberian ASI bagi pekerja perempuan, dikeluarkan sebuah Peraturan Bersama 3 Menteri yakni Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan Nomor 48/MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008, dan 1177/MENKES/PB/XII/2008 Tahun 2008 Tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja Di Tempat Kerja
Peraturan ini berangkat dari dasar pemikiran
adanya kewajiban pemberian ASI ibu kepada anaknya dan arti penting akan
ASI bagi tumbuh kembang baik fisik, mental spiritual maupun kecerdasan
anak. Fakta sosiologis menunjukkan belum optimalnya pelaksanaan
kesetaraan dan keadilan gender dan perlindungan fungsi reproduksi
(maternal) mengakibatkan perempuan bekerja mengalami kesulitan dalam
pemberian ASI. Sehingga pekerja perempuan setelah melahirkan anak harus
diberi kesempatan sepatutnya untuk memberikan ASI kepada anaknya atau
memerah ASI selama waktu kerja di tempat kerja.
Terdapat pembagian
tugas dan tanggung jawab terhadap 3 Menteri tersebut terkait PP-ASI.
Meneg PP bertugas dan bertanggung jawab memberikan pengetahuan dan
pemahaman pada pekerja/buruh perempuan dan pengusaha/pengurus di tempat
tentang pentingnya ASI. Sedangkan Menakertrans bertugas dan bertanggung
jawab mendorong pengusaha/pengurus serikat pekerja/serikat buruh agar
mengatur tata cara pelaksanaan pemberian ASI dan mengkoordinasikan
permasyarakatan pemberian ASI di tempat kerja. Adapun Menkes bertugas
dan bertanggung jawab melakukan pelatihan dan menyediakan petugas
terlatih dan menyediakan, menyebarluaskan bahan-bahan komunikasi,
informasi dan edukasi tentang peningkatan pemberian ASI. Ketiga
kementerian tersebut juga melakukan pembinaan melalui sosialisasi,
pelatihan, pemantauan dan evaluasi.
Yang menarik, pemerintah
daerah yang telah mengatur mengenai hak dan kesehatan reproduksi wanita
melalui peraturan daerahnya adalah Nanggroe Aceh Darussalam. Melalui
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pemberdayaan Dan Perlindungan
Perempuan. Dalam bidang kesehatan, Pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota serta lembaga lainnya wajib memberikan informasi dan
pengetahuan kepada perempuan tentang kesehatan reproduksi secara lengkap
dengan menyediakan sarana dan prasarana yang mudah diakses secara
optimal dan berkualitas. Bagi ibu hamil dan menyusui wajib disediakan
ruang dan sarana khusus baik di tempat kerja maupun di tempat-tempat
umum. Pemerintah daerah wajib memfungsikan pusat pelayanan kesehatan dan
rehabilitasi terpadu yang mudah sampai pada tingkat gampong (Pasal 12).
Dalam
Qanun ini, terdapat pula kewajiban pemberian cuti hamil dan cuti
melahirkan bagi para pekerja perempuan dan bagi suami dari pekerja
perempuan {Pasal 13 ayat (1)}. Masa cuti yang diberikan lebih lama, cuti
hamil diberikan 20 (dua puluh) hari sebelum waktu melahirkan dan 90
(sembilan puluh) hari setelah waktu melahirkan. Bagi suami, 7 (tujuh)
hari sebelum waktu melahirkan dan 7 (tujuh) hari setelah waktu
melahirkan {Pasal (2), (3) dan (4)}.
Dalam bidang ketenagakerjaan,
pemerintah daerah dan lembaga lainnya berkewajiban memberikan
perlindungan keamanan dan keselamatan bagi pekerja perempuan (Pasal 14),
termasuk perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau
profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau
kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan (Pasal 21).
Qanun ini mempertegas ketentuan dalam UU HAM, bahwa hak khusus yang
melekat pada diri perempuan dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin
dan dilindungi oleh hukum.
IV. Penutup
Dalam tataran
peraturan perudang-undangan, dari tingkat hirarkhi yang paling tinggi
yakni UUD NRI Tahun 1945, telah diakomodir adanya pengakuan atas hak
reproduksi yang merupakan hak khusus yang harus dilindungi dan dijamin.
Beberapa Undang-Undang mencoba mengatur lebih jauh terkait perlindungan
terhadap hak reproduksi tersebut, dari sisi HAM dan kewajiban
perlindungan khusus diatur dalam UU HAM. Dalam hal pelayanan dan
pemenuhan aspek kesehatan termuat dalam UU Kesehatan terbaru serta
beberapa peraturan pelaksananya.
Dalam UU ketenagakerjaan, diatur
pula perlindungan khusus terkait pelaksanaan pekerjaan dari hal-hal yang
mengancam keselamatan dan kesehatan wanita berkenaan dengan fungsi
reproduksi. Dalam sebuah peraturan bersama 3 menteri saling berbagi
tugas dan tanggung jawab terkait hak wanita pekerja yang menyusui. Di
tingkat daerah, Qanun Aceh melangkah maju dengan pengaturan di tingkat
provinsi terkait isu kesehatan dan hak reproduksi perempuan.
Meskipun
harus diakui bahwa masih terdapat catatan-catatan atas
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan diatas, namun
jika dapat diimplementasikan dengan baik, dapat meningkatkan kualitas
hidup masyarakat dan generasi mendatang. Catatan-catatan menjadi bagian
yang harus diperbaiki pada masa yang akan datang, terlebih peraturan
pelaksana dari UU kesehatan yang baru belum disusun, demikian pula
adanya rencana perubahan dalam UU Ketenagakerjaan dalam daftar Prolegnas
2010-2014. Pemerintah perlu pula meratifikasi berbagai konvensi ILO
terkait dengan perlindungan terhadap hak reproduksi wanita.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Artikel
- ”Hari Kartini, Kesehatan Reproduksi Perempuan, dan Amandemen UU Kesehatan”, (Senin, 11 April, 2005), Harian Kompas, Jakarta, diunduh dari http://www.kompas.co.id/ diakses 20 April 2010
- Abdul Wahib Situmorang, The Politics Of Reproductive Health, Gender And Population In Indonesia: A Parliamentary Perspective, Jakarta, IFPPD, Helwett Foundation, AFPPDband UNFPA, 2006
- Farida Ekasari, dalam “Hak Reproduksi Wanita” dari Kristi Poerwandari, M. Hum ”Menghapus Diskriminasi: Memberikan Perhatian Pada Kesehatan dan Hak Reproduksi Perempuan”, pada 31 Desember 2009, diunduh dari http.//www.bkkbn.go.id, diakses 4 Mei 2010
- Maria Ulfah Anshor, Penguatan Hak Kesehatan Reproduksi Dalam Komunitas Islam, diunduh dari http://www.mariaulfah-anshor.com/maria/.../penguatan%20hak%20kesehatan%20reproduksi%20dalam.pdf, diakses 4 Mei 2010
- Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cet ke 4 1984
- Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta: Yayasan Obor, 2004, edisi I.
- Pusat Kesehatan Kerja Depkes RI, Kebijakan Departemen Kesehatan Tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (Asi) Pekerja Wanita, diunduh dari http://www.digilib.ui.ac.id/Lontar/file?file=digital/123858-S09118fk-Faktor%20anak-Bibliografi.pdf, diakses 4 Mei 2010
- Siti Hariti Sastrariyani (ed.), Gender and Politics: Proceeding International Seminar of “Gender and Politics”, Yogyakarta: Pusat Studi Wanita, UGM, Sekolah Pascasarjana UGM dan Penerbit Tiara Wacana, Januari 2009,
- Sri Sundari Sasongko, Konsep dan Teori Gender (Modul 2), Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN, Cetakan ke-2 , Januari 2009.
- Utami Roesli SpA IBCLC FABM, Menyusui Meningkatkan Kualitas Hidup Perempuan, Indonesian Breastfeeding Center, Makalah disampaikan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, diunduh dari http://selasi.net/download/makalah-dr-utami-roesli.pdf. diakses 4 Mei 2010
B. Peraturan Perundang-undangan
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277)
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
- Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976 Tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil
- Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional
- Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan Nomor 48/MEN.PP/XII/2008, Per.27/MEN/XII/2008, dan 1177/MENKES/PB/XII/2008 Tahun 2008 Tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja Di Tempat Kerja
- Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/Menkes/Sk/Iv/2004 Tentang Pemberian Air Susu Ibu (Asi) Secara Eksklusif Pada Bayi Di Indonesia
- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 237/MENKES/SK/IV/1997 Tentang Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan komentar anda di sini. Untuk penggunaan referensi harap mencantumkan sumber.