Tulisan ini di muat dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7 No.2 Agustus 2010
Oleh:
Khopiatuziadah
Khopiatuziadah
Abstract
Indonesian law recognizes the special right of reproductive rights for women especially on pregnancy, childbirth and breastfeeding. The law ensures that women are entitled to special protection in the execution of work or profession to be matters that could threaten the safety and or health related to women's reproductive function, as called reproductive rights. Such rights are entitled to a protection and guarantee by the law. The idea is to enlighten the society that “pregnancy, childbirth and breastfeeding” is not merely a gender issue, it is nation’s issue. The good quality of maternal phase contributes to the excellence of the next generation; it is a real long term investment. Considering the significance of the safety and health of women reproductive rights, there are some laws and its delegated regulations stipulate on how the government and regional government, the company, the medical personnel and the society should fulfill and support the protection toward the reproductive rights of women. Although there is a gap between the existing provisions and the ideal situation, the regulation has been an adequate base for the overwhelming “reproductive rights” protection. The achievement definitely depends on the implementation and the enforcement of laws, therefore the weaknesses of the existing regulation should be a special notice for the amendment of the related laws.
I. Pendahuluan
Pada bulan September
1994, 184 negara berkumpul di Cairo dalam sebuah Konferensi
Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on
Population and Development/ICPD). Konferensi internasional mengenai
kependudukan ini memfokuskan kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan
sebagai tema sentral dan menyetujui bahwa secara umum akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi harus dapat diwujudkan sampai tahun 2015.
Tantangan
yang dihadapi kemudian bagaimana menjamin bahwa kesepakatan tersebut
secara penuh dapat diterapkan di masing-masing Negara. Keberhasilan dari
kesepakatan tersebut terletak pada komitmen dan sinergi antara para
pembuat kebijakan (pemerintah dan legislative), pelaksana program,
lembaga donor dan kelompok-kelompok perempuan serta organisasi
nonpemerintah lainnya yang memberikan advokasi mengenai hal tersebut.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mendandatangani kesepatakan dalam
konferensi dimaksud, namun komitmen atas pelaksanaanya masih menyisakan
banyak catatan dan persoalan.
Sejalan dengan itu, pemerintah
Indonesia juga telah memberi komitmennya untuk ikut di dalam Tujuan
Pembangunan Milenia (Millenium Development Goals/ MDGs). Tujuan ketiga
hingga keenam MDGs adalah mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan
perempuan, menurunkan angka kematian anak, memperbaiki kesehatan ibu,
dan memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain. Secara
khusus ditargetkan untuk menurunkan angka kematian ibu pada tahun 2015,
yang antara lain dapat dicegah dengan memberi akses dan informasi ibu
hamil pada pelayanan kesehatan.
Kematian ibu menunjukkan tingkat
pembangunan manusia suatu bangsa sehingga tingginya angka kematian ibu
(AKI) dapat menjadi indikator belum meratanya kesejahteraan. Indonesia
menurunkan angka kematian Ibu dari 396 dari setiap 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2000, hingga angka 307 pada 2005. namun angka 307
tetaplah tinggi untuk ukuran Asia Tenggara, karena Vietnam dan Filipina
telah mencapai angka 160 dan 170 pada tahun 2000. Berdasarkan laporan
tersebut, tingginya angka kematian ibu dan kematian balita yang pada
tahun 1997 yang berada pada 23-78 kematian per 1.000 kelahiran hidup,
memperlihatkan rendahnya pelayanan kesehatan yang diterima ibu dan anak
serta rendahnya akses informasi yang dimiliki ibu dan anak. Angka itu
pun masih harus dilihat secara kritis karena terdapat perbedaan yang
besar antarwilayah di Indonesia. Pada tahun 1995, misalnya, AKI di Papua
adalah 1.025, di Maluku 796, dan di Jawa Barat 686, sementara angka
nasional adalah 334. Pada tahun 1986 besaran AKI rata-rata nasional
adalah 450.
Pada hakikatnya hak reproduksi memiliki aspek yang
sangat luas, tidak hanya menyangkut masalah kesehatan reproduksi dan
pelayanannya, tetapi terkait dengan berbagai aspek perlindungan bagi
wanita dalam posisinya sebagai warga masyarakat, isteri, pekerja, bahkan
sebagai Ibu dari anak-anak bangsa. Persoalan ini menjadi sangat penting
mengingat hak reproduksi yang hanya dimiliki wanita, yakni haid, hamil,
melahirkan dan menyusui merupakan kondisi yang sangat signifikan bagi
keberlanjutan dan kualitas suatu generasi. Isu-isu seputar kehamilan dan
menyusui masih dianggap sebagai “isu perempuan”, padahal seharusnya
menjadi isu masyarakat secara keseluruhan.
Kesehatan reproduksi
perempuan yang salah satu cerminannya adalah terjaminnya keselamatan ibu
selama, saat, dan setelah melahirkan, serta pada masa awal pengasuhan
dan menyusui, memang tidak memberikan keuntungan ekonomi secara langsung
namun tindakan yang tepat dalam tahapan ini dapat menimbulkan
keuntungan jangka panjang dan dengan sendirinya mempengaruhi banyak
aspek kehidupan. Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif misalnya,
merupakan langkah awal yang penting bagi bayi agar tumbuh sehat dan
tercipta sumber daya manusia yang tangguh, tidak hanya sehat dan cerdas
namun juga akan memiliki memiliki kecerdasan emosional dan social
(emotional and social quotion) yang lebih baik.
Negara mengakui
adanya hak khusus bagi wanita terkait dengan fungsi reproduksinya,
seperti haid, melahirkan dan menyusui (hak reproduksi). Hak ini dijamin
dan dilindungi oleh hukum . Tulisan ini akan menganalisa peran Negara
(eksekutif dan legislatif) melalui kebijakan-kebijakannya memenuhi
perlindungan bagi hak reproduksi wanita dalam hal ini hamil, melahirkan
dan menyusui. Sebagai kerangka pemikiran, analisa akan dibatasi pada
perspektif peraturan perundang-undangan, yakni sejauh mana peraturan
perundang-undangan telah mengakomodir ketentuan mengenai perlindungan
khusus bagi wanita dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terkait
dengan keselamatan dan/atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi
reproduksi tersebut.
II. Konsep Hak Reproduksi Wanita
Terciptanya
manusia ke dalam jenis laki-laki dan perempuan memiliki konsekuensi
sosial tersendiri. Perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara
biologis (disebut dengan seks) dan melekat secara fisik sebagai alat
reproduksi, kemudian menimbulkan terjadinya perbedaan perlakuan. Hal ini
muncul antara lain karena terjadinya pencampuradukan dalam memahami
ciri manusia antara yang bersifat kodrati (tidak berubah) dengan yang
bersifat non-kodrati. Konsep ini kemudian dikenal sebagai gender, yakni
”konsep yang mengacu pada peran, fungsi dan tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh
keadaan sosial dan budaya masyarakat”. Konsep ini kemudian seolah-olah
merupakan sesuatu yang permanen, padahal pola perbedaan terkait gender
sangat dipengaruhi oleh konstruksi biologis dan ciri primer, konstruksi
sosial dan konstruksi keyakinan/agama. Gender merupakan hasil konstruksi
sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sementara
seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen
dan universal.
Dari sisi biologis, perempuan memang memiliki
susunan tubuh yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan mengalami masa
haid, melahirkan, dan juga menyusui yang tidak dialami oleh laki-laki.
Fungsi tersebut dikenal sebagai fungsi reproduksi, fungsi yang hanya
dimiliki oleh kaum perempuan untuk menjaga keberlangsungan spesies
manusia. Terdapat hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan
fungsi reproduksinya, yang disebut sebagai hak reproduksi. Hak
reproduksi ini dijamin dan dilindungi oleh hukum. Dalam pelaksanaannya,
perlindungan dimaksud serta merta melahirkan kewajiban bagi masyarakat,
keluarga, pasangan, anak bahkan Negara.
Konsep hak-hak reproduksi
wanita berkembang dari konsep hak asasi manusia. Dalam konsep HAM,
terdapat dua ide dasar yakni: Pertama setiap manusia lahir dengan
hak-hak individu yang terus melekat dengannya. Kedua, bahwa hak-hak tiap
manusia hanya dapat dijamin dengan ditekankannya kewajiban masyarakat
dan negara untuk memastikan kebebasan dan kesempatan dari
anggota-anggotannya untuk memperoleh dan melaksanakan kebebasan asasinya
tersebut.
Secara filosofis, kesehatan merupakan hak asasi manusia
dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Pasal 28H ayat
(1) UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa ”Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan
hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Adalah kewajiban negara untuk menjamin terpenuhinya hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28H tersebut. Salah satu isu kesehatan yang penting
adalah menyangkut kesehatan organ-organ reproduksi wanita sebagai
pemenuhan hak-hak reproduksi. Kondisi reproduksi sehat dapat tercapai
bila masyarakat dan negara dapat memberikan perhatian dan penghormatan
terhadap pemenuhan kebutuhan dan hak-hak reproduksi tersebut.
Adapun
yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan
fisik, mental dan sosial yang utuh, dan bukan hanya tidak adanya
penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem
reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya . Di antara hak-hak
reproduksi yang harus dijamin menurut ICPD antara lain adalah hak atas
informasi, hak untuk layanan kesehatan reproduksi, hak untuk memilih
pasangan, dan hak untuk melakukan hubungan seksual tanpa paksaan.
Kesehatan berdasarkan ICPD bukan hanya kesehatan fisik dan mental,
tetapi juga juga sosial.
Tujuan dari kesehatan adalah peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan. Konsep mengenai kesehatan reproduksi ini diadaptasi dalam UU Kesehatan.
Perlindungan bagi wanita hamil,
melahirkan dan menyusui seharusnya tidak menjadi permasalahan ekslusif
milik individu perempuan. Dalam posisinya sebagai warga masyarkat,
isteri atau bahkan pekerja, pihak-pihak terkait yakni lingkungan
masyarakat termasuk di dalamnya pemerintah, suami, atau perusahaan,
bahkan tenaga kesehatan, seharusnya mendukung agar wanita dapat
melahirkan bayi yang sehat dengan selamat, memiliki waktu yang cukup
untuk memberikan asuhan pada bulan-bulan pertama dan sekaligus menyusui
bayinya secara ekslusif selama enam bulan secara nyaman. Hamil dan
melahirkan adalah hak asasi manusia yang mendasar; laki-laki adalah juga
ayahnya, bahkan tanpa kehamilan dan kelahiran, seorang lelaki tidak
akan pernah ada. Anak-anak hari ini adalah generasi esok hari, adalah
hal yang wajar untuk mempersiapkan masa depan.
Bersambung ke Bagian II
kalo bagi pelanggar UU ini sanksi nya apa bu?
BalasHapusTergantung ketentuan mana yang dilanggar, kalau pelanggaran administratif dikenai sanksi administratif, untuk pelanggaran pidana, dikenai pidana (bisa pindana penjara dan/atau denda)
Hapusterimakasih sdh mampir
wah bagus bagus :)
BalasHapusTerimakasih ...
Hapus