Rabu, 29 Januari 2014

PERLINDUNGAN HAK REPRODUKSI WANITA: HAMIL, MELAHIRKAN DAN MENYUSUI PERSPEKTIVE PERUNDANG-UNDANGAN (Bag. I)

Tulisan ini di muat dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7 No.2 Agustus 2010

Oleh:
Khopiatuziadah

Abstract

Indonesian law recognizes the special right of reproductive rights for women especially on pregnancy, childbirth and breastfeeding. The law ensures that women are entitled to special protection in the execution of work or profession to be matters that could threaten the safety and or health related to women's reproductive function, as called reproductive rights. Such rights are entitled to a protection and guarantee by the law. The idea is to enlighten the society that “pregnancy, childbirth and breastfeeding” is not merely a gender issue, it is nation’s issue. The good quality of maternal phase contributes to the excellence of the next generation; it is a real long term investment. Considering the significance of the safety and health of women reproductive rights, there are some laws and its delegated regulations stipulate on how the government and regional government, the company, the medical personnel and the society should fulfill and support the protection toward the reproductive rights of women. Although there is a gap between the existing provisions and the ideal situation, the regulation has been an adequate base for the overwhelming “reproductive rights” protection. The achievement definitely depends on the implementation and the enforcement of laws, therefore the weaknesses of the existing regulation should be a special notice for the amendment of the related laws.

I. Pendahuluan

Pada bulan September 1994, 184 negara berkumpul di Cairo dalam sebuah Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development/ICPD). Konferensi internasional mengenai kependudukan ini memfokuskan kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan sebagai tema sentral dan menyetujui bahwa secara umum akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi harus dapat diwujudkan sampai tahun 2015.

Tantangan yang dihadapi kemudian bagaimana menjamin bahwa kesepakatan tersebut secara penuh dapat diterapkan di masing-masing Negara. Keberhasilan dari kesepakatan tersebut terletak pada komitmen dan sinergi antara para pembuat kebijakan (pemerintah dan legislative), pelaksana program, lembaga donor dan kelompok-kelompok perempuan serta organisasi nonpemerintah lainnya yang memberikan advokasi mengenai hal tersebut. Pemerintah Indonesia sendiri telah mendandatangani kesepatakan dalam konferensi dimaksud, namun komitmen atas pelaksanaanya masih menyisakan banyak catatan dan persoalan.


Sejalan dengan itu, pemerintah Indonesia juga telah memberi komitmennya untuk ikut di dalam Tujuan Pembangunan Milenia (Millenium Development Goals/ MDGs). Tujuan ketiga hingga keenam MDGs adalah mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, menurunkan angka kematian anak, memperbaiki kesehatan ibu, dan memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain. Secara khusus ditargetkan untuk menurunkan angka kematian ibu pada tahun 2015, yang antara lain dapat dicegah dengan memberi akses dan informasi ibu hamil pada pelayanan kesehatan.

Kematian ibu menunjukkan tingkat pembangunan manusia suatu bangsa sehingga tingginya angka kematian ibu (AKI) dapat menjadi indikator belum meratanya kesejahteraan. Indonesia menurunkan angka kematian Ibu dari 396 dari setiap 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2000, hingga angka 307 pada 2005. namun angka 307 tetaplah tinggi untuk ukuran Asia Tenggara, karena Vietnam dan Filipina telah mencapai angka 160 dan 170 pada tahun 2000. Berdasarkan laporan tersebut, tingginya angka kematian ibu dan kematian balita yang pada tahun 1997 yang berada pada 23-78 kematian per 1.000 kelahiran hidup, memperlihatkan rendahnya pelayanan kesehatan yang diterima ibu dan anak serta rendahnya akses informasi yang dimiliki ibu dan anak. Angka itu pun masih harus dilihat secara kritis karena terdapat perbedaan yang besar antarwilayah di Indonesia. Pada tahun 1995, misalnya, AKI di Papua adalah 1.025, di Maluku 796, dan di Jawa Barat 686, sementara angka nasional adalah 334. Pada tahun 1986 besaran AKI rata-rata nasional adalah 450.

Pada hakikatnya hak reproduksi memiliki aspek yang sangat luas, tidak hanya menyangkut masalah kesehatan reproduksi dan pelayanannya, tetapi terkait dengan berbagai aspek perlindungan bagi wanita dalam posisinya sebagai warga masyarakat, isteri, pekerja, bahkan sebagai Ibu dari anak-anak bangsa. Persoalan ini menjadi sangat penting mengingat hak reproduksi yang hanya dimiliki wanita, yakni haid, hamil, melahirkan dan menyusui merupakan kondisi yang sangat signifikan bagi keberlanjutan dan kualitas suatu generasi. Isu-isu seputar kehamilan dan menyusui masih dianggap sebagai “isu perempuan”, padahal seharusnya menjadi isu masyarakat secara keseluruhan.

Kesehatan reproduksi perempuan yang salah satu cerminannya adalah terjaminnya keselamatan ibu selama, saat, dan setelah melahirkan, serta pada masa awal pengasuhan dan menyusui, memang tidak memberikan keuntungan ekonomi secara langsung namun tindakan yang tepat dalam tahapan ini dapat menimbulkan keuntungan jangka panjang dan dengan sendirinya mempengaruhi banyak aspek kehidupan. Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif misalnya, merupakan langkah awal yang penting bagi bayi agar tumbuh sehat dan tercipta sumber daya manusia yang tangguh, tidak hanya sehat dan cerdas namun juga akan memiliki memiliki kecerdasan emosional dan social (emotional and social quotion) yang lebih baik.

Negara mengakui adanya hak khusus bagi wanita terkait dengan fungsi reproduksinya, seperti haid, melahirkan dan menyusui (hak reproduksi). Hak ini dijamin dan dilindungi oleh hukum . Tulisan ini akan menganalisa peran Negara (eksekutif dan legislatif) melalui kebijakan-kebijakannya memenuhi perlindungan bagi hak reproduksi wanita dalam hal ini hamil, melahirkan dan menyusui. Sebagai kerangka pemikiran, analisa akan dibatasi pada perspektif peraturan perundang-undangan, yakni sejauh mana peraturan perundang-undangan telah mengakomodir ketentuan mengenai perlindungan khusus bagi wanita dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terkait dengan keselamatan dan/atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi tersebut.

II. Konsep Hak Reproduksi Wanita

Terciptanya manusia ke dalam jenis laki-laki dan perempuan memiliki konsekuensi sosial tersendiri. Perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis (disebut dengan seks) dan melekat secara fisik sebagai alat reproduksi, kemudian menimbulkan terjadinya perbedaan perlakuan. Hal ini muncul antara lain karena terjadinya pencampuradukan dalam memahami ciri manusia antara yang bersifat kodrati (tidak berubah) dengan yang bersifat non-kodrati. Konsep ini kemudian dikenal sebagai gender, yakni ”konsep yang mengacu pada peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat”. Konsep ini kemudian seolah-olah merupakan sesuatu yang permanen, padahal pola perbedaan terkait gender sangat dipengaruhi oleh konstruksi biologis dan ciri primer, konstruksi sosial dan konstruksi keyakinan/agama. Gender merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sementara seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal.

Dari sisi biologis, perempuan memang memiliki susunan tubuh yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan mengalami masa haid, melahirkan, dan juga menyusui yang tidak dialami oleh laki-laki. Fungsi tersebut dikenal sebagai fungsi reproduksi, fungsi yang hanya dimiliki oleh kaum perempuan untuk menjaga keberlangsungan spesies manusia. Terdapat hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, yang disebut sebagai hak reproduksi. Hak reproduksi ini dijamin dan dilindungi oleh hukum. Dalam pelaksanaannya, perlindungan dimaksud serta merta melahirkan kewajiban bagi masyarakat, keluarga, pasangan, anak bahkan Negara.

Konsep hak-hak reproduksi wanita berkembang dari konsep hak asasi manusia. Dalam konsep HAM, terdapat dua ide dasar yakni: Pertama setiap manusia lahir dengan hak-hak individu yang terus melekat dengannya. Kedua, bahwa hak-hak tiap manusia hanya dapat dijamin dengan ditekankannya kewajiban masyarakat dan negara untuk memastikan kebebasan dan kesempatan dari anggota-anggotannya untuk memperoleh dan melaksanakan kebebasan asasinya tersebut.

Secara filosofis, kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Adalah kewajiban negara untuk menjamin terpenuhinya hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28H tersebut. Salah satu isu kesehatan yang penting adalah menyangkut kesehatan organ-organ reproduksi wanita sebagai pemenuhan hak-hak reproduksi. Kondisi reproduksi sehat dapat tercapai bila masyarakat dan negara dapat memberikan perhatian dan penghormatan terhadap pemenuhan kebutuhan dan hak-hak reproduksi tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya . Di antara hak-hak reproduksi yang harus dijamin menurut ICPD antara lain adalah hak atas informasi, hak untuk layanan kesehatan reproduksi, hak untuk memilih pasangan, dan hak untuk melakukan hubungan seksual tanpa paksaan. Kesehatan berdasarkan ICPD bukan hanya kesehatan fisik dan mental, tetapi juga juga sosial.

Tujuan dari kesehatan adalah peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan. Konsep mengenai kesehatan reproduksi ini diadaptasi dalam UU Kesehatan.

Perlindungan bagi wanita hamil, melahirkan dan menyusui seharusnya tidak menjadi permasalahan ekslusif milik individu perempuan. Dalam posisinya sebagai warga masyarkat, isteri atau bahkan pekerja, pihak-pihak terkait yakni lingkungan masyarakat termasuk di dalamnya pemerintah, suami, atau perusahaan, bahkan tenaga kesehatan, seharusnya mendukung agar wanita dapat melahirkan bayi yang sehat dengan selamat, memiliki waktu yang cukup untuk memberikan asuhan pada bulan-bulan pertama dan sekaligus menyusui bayinya secara ekslusif selama enam bulan secara nyaman. Hamil dan melahirkan adalah hak asasi manusia yang mendasar; laki-laki adalah juga ayahnya, bahkan tanpa kehamilan dan kelahiran, seorang lelaki tidak akan pernah ada. Anak-anak hari ini adalah generasi esok hari, adalah hal yang wajar untuk mempersiapkan masa depan.

Bersambung ke Bagian II

4 komentar:

  1. kalo bagi pelanggar UU ini sanksi nya apa bu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tergantung ketentuan mana yang dilanggar, kalau pelanggaran administratif dikenai sanksi administratif, untuk pelanggaran pidana, dikenai pidana (bisa pindana penjara dan/atau denda)
      terimakasih sdh mampir

      Hapus

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan komentar anda di sini. Untuk penggunaan referensi harap mencantumkan sumber.