Selasa, 19 Juli 2016

Konsep Imbal Jasa Lingkungan dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air


Oleh: Khopiatuziadah[i]

Dimuat dalam Jurnal Rechtsvinding Online, 1 September 2014

Pada akhir masa sidang III lalu, Rapat Paripurna DPR mengesahkan salah satu RUU usul inisatif DPR mengenai Konservasi Tanah dan Air. RUU ini diinisiasi oleh Komisi yang mebidangi pertanian, perkebunan dan kehutanan,  yakni Komisi IV.  Jika dilihat dari runtutan waktu, RUU tentang Konservasi Tanah dan Air sebenarnya bukan ide baru. Usulan pembentukan RUU ini sudah muncul sejak periode keanggotaan 2000-2004 dan 2004-2009.  Pada Prolegnas Jangka Panjang  2010-2014, RUU ini kembali masuk ke dalam daftar RUU yang akan diselesaikan pada periode tersebut di nomor urut 153 dan beberapa kali masuk dalam daftar prioritas tahunan, terakhir pada Prolegnas Tahun 2013 Nomor 04A/DPRRI/II/ 2012-2013 dengan nomor urut 61.


Urgensi  Konservasi Tanah dan Air

Perlu diketahui bahwa cakupan “tanah dan air” dalam RUU ini merupakan satu kesatuan.  Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam yang tidak terbarukan merupakan sistem pendukung kehidupan yang strategis sebagai modal dasar pembangunan yang berkelanjutan, sehingga perlu dilindungi kelestariannya untuk kepentingan lintas generasi.  Berdasarkan definisinya, tanah diartikan sebagai lapisan permukaan bumi yang terdiri atas zat padat berupa mineral dan bahan organik; zat cair; serta udara sebagai satu kesatuan yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan dan media pengatur tata air. Adapun pengertian air dalam konteks RUU ini adalah air yang terkandung dalam butiran tanah.
Sebagai sumberdaya yang tidak tak terbatas dan tak dapat diperbaharui, pembentukan lapisan tanah secara alami sangatlah lamban bahkan bisa sampai ratusan atau ribuan tahun. Sebaliknya kerusakan dan erosi tanah terjadi secara cepat, dapat dipastikan setiap hari terjadi erosi tanah sehingga tanah menjadi semakin kritis dan rusak. Di lain pihak ketersediaan air tanah semakin terbatas dibandingkan kebutuhannya. Akibat lanjut dari kekritisan dan kerusakan lahan antara lain terjadinya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan yang mengakibatkan kerugian triliunan rupiah, korban jiwa dan terganggunya tata kehidupan ekonomi dan sosial.
Tujuan akhir dari kegiatan konservasi tanah pada hakikatnya adalah sekaligus mengkonservasi air. Konservasi tanah dan air merupakan upaya pelindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari.
Tanah dan air perlu dimanfaatkan secara optimal dan harus dilindungi dari kerusakan demi kelangsungan kehidupan masyarakat Indonesia pada saat ini dan waktu yang akan datang.  Hal ini mengingat kemampuan dan kualitas sumberdaya alam khususnya yang berupa tanah tidak tak terbatas, sedangkan kebutuhan akan tanah dan air makin meningkat antara lain sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk yang membutuhkan tanah serta meningkatnya pengetahuan dan teknologi yang pada gilirannya meningkatkan kebutuhan manusia terhadap sumberdaya tanah dan air.

Konsep Imbal Jasa Lingkungan dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air
Salah satu materi dari RUU tentang Konservasi Tanah dan Air yang menekankan konsep hubungan antara wilayah hulu, tengah, dan hilir yang harmonis dan saling menguntungkan adalah adanya konsep imbal jasa lingkungan dalam penyelenggaran konservasi tanah dan air. Dalam kegiatan konservasi tanah dan air dimungkinkan dikembangkan suatu mekanisme insentif disinsentif melalui pengembangan jasa lingkungan mengingat kegiatannya sangat dipengaruhi keterpaduan antar-wilayah administrasi sebagaimana telah dikembangkan dalam bidang lingkungan hidup.
            Ada beberapa pengertian yang mendefinisikan tentang jasa lingkungan, salah satunya menurut Sriyanto (2007) dalam Suprayitno (2008:1) jasa lingkungan didefinisikan sebagai jasa yang diberikan oleh fungsi ekosistem alam maupun buatan yang nilai dan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam rangka membantu memelihara dan/atau meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan.

            Imbal jasa lingkungan atau Payment for Ecocystem Services adalah instrumen berbasiskan pasar untuk tujuan konservasi, berdasarkan prinsip bahwa siapa yang mendapatkan manfaat dari jasa lingkungan, harus membayar untuk keberlanjutan penyediaan jasa lingkungan, dan siapa yang menghasilkan jasa tersebut harus dikompensasi. Dalam mekanisme imbal jasa lingkungan, penyedia jasa lingkungan menerima pembayaran tergantung dari kemampuan mereka menyediakan jasa lingkungan yang diinginkan atau melakukan suatu kegiatan yang sifatnya dapat menghasilkan jasa lingkungan tersebut.

            Beberapa prinsip yang harus dipegang dalam pelaksanaan Payment for Ecocystem Services, yaitu (1) transaksi sukarela; (2) jasa lingkungan terdefinisikan dengan baik untuk ditransaksikan; (3) minimal ada satu pembeli; (4) dengan minimal satu penyedia; dan (5) jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan mengamankan provisi jasa lingkungan (conditionality).
           
            Pembayaran imbal jasa lingkungan dalam penyelenggaraan konservasi tanah dan air pada prinsipnya merujuk pada konsep pembayaran jasa lingkungan  (payment for environmental services) diatas yang mengacu pada 3 (tiga) prinsip, pertama bahwa sepanjang terkait kewajiban pelayanan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak, Pemerintah mendanai kegiatan konservasi tanah dan air serta pengelolaan daerah aliran sungai (government pay principle).

Dalam konteks pemerintah sebagai salah satu pelaku, baik sebagai pembeli jasa atau penjual jasa, maka ada dua prinsip yang perlu diperhatikan dalam rangka mewujudkan keberlangsungan imbal jasa lingkungan yakni transparansi dan akuntabilitas public. Dalam prinsip transparansi; pemanfaatan jasa lingkungan dilakukan secara terbuka dengan kewajiban menyediakan informasi kepada publik, serta publik mendapatkan akses informasi guna mengetahui perkembangan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan hutan tersebut. Sedangkan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik, pemanfaatan jasa lingkungan hutan harus mampu mempertanggung-jawabkan kinerja dan tindakan pengelolaan kepada publik dan para pihak yang berkepentingan sesuai dengan mekanisme yang berlaku
            Kedua, penerima manfaat atas sumber daya alam tanah dan air harus membayar untuk kepentingan konservasi tanah dan air yang secara teori ekonomi berdasarkan suatu prinsip bahwa yaitu penerima manfaat membayar (beneficiaries pay principle).

Ketiga, perusak atau pencemar lingkungan tanah, air dan daerah aliran sungai  harus membayar  untuk kepentingan konservasi tanah dan air (polluter pay principle). Adapun penyedia manfaat lingkungan karena dilakukannya konservasi tanah dan air akan mendapat insentif atau kompensasi.
Konsep imbal jasa lingkungan pada hakikatnya bukan merupakan hal yang baru. Dalam tataran yuridis maupun empiris, konsep ini telah diadopsi dan dipraktikkan. Secara Yuridis beberapa peraturan perundang-undangan terutama di sektor lingkungan, pertanian dan kehutanan serta sumber daya air telah mengatur mengenai imbal jasa lingkungan atau sering disebut juga sebagai pembayaran jasa lingkungan. Selain itu secara empiris, praktik pembayaran imbal jasa lingkungan telah dipraktikan baik oleh Pemerintah, insiasi dari sekelompok warga masyarakat maupun antar pemerintah daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembayaran jasa lingkungan merupakan salah satu instrumen ekonomi lingkungan hidup yang masuk dalam cakupan intensif dan disintensif. Secara lebih lengkap ketentuan ini dimuat dalam Pasal 42 dan 43.
Dalam Pasal 42 ayat (2) dinyatakan bahwa Instrumen ekonomi lingkungan hidup meliputi: perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan hidup dan insentif dan/atau disinsentif.
Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi meliputi: neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;  penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup; mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah; dan internalisasi biaya lingkungan hidup {Pasal 43 ayat (1)}. Mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah dijelaskan sebagai cara-cara kompensasi/imbal yang dilakukan oleh orang, masyarakat, dan/atau pemerintah daerah sebagai pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup
Adapun penerapan insentif dan/atau disinsentif kemudian dijabarkan dalam Pasal 43 ayat (3), yakni bahwa insentif dan/atau disinsentif lain diterapkan dalam bentuk: pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup; pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi; pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; pengembangan asuransi lingkungan hidup; pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Konsep sejenis sebetulnya telah juga diatur dalam pengelolaan sumber daya air berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pasal 77 ayat (3) huruf c menyatakan bahwa salah satu sumber dana pembiayaan sumber daya air dapat diperoleh dari hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air. Secara teknis penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumber daya air didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggungjawabkan {Pasal 80 ayat (3)}.
Pada sektor kehutanan, pembayaran jasa lingkungan terkait pemanfaatan kawasan hutan telah diatur dalam berbagai peraturan pemerintah diantaranya PP No. 6  Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008  tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, PP No. 24  Tahun  2010 tentang pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi masih terbatas pada hutan produksi dan hutan lindung tentang penggunaan kawasan hutan dan  PP No. 37 Tahun 2012  tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang menyebutkan pembayaran merupakan salah satu dana lingkungan.
            Secara empiris, skema imbal jasa lingkungan dapat dilaksanakan antara penyedia dan penerima manfaat jasa lingkungan dalam kerangka G to G (Government to Government), G to C (Government to Community), G to P (Government to Privat), C to C (Community to Community), C to P (Community to Privat), P to P (Privat to Privat) dan sebaliknya. Pihak yang dapat bertindak sebagai fasilitator dapat diperankan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah Lembaga Swadaya masyarakat (LSM/NGO), dan juga organisasi non-profit.

            Beberapa best practices terkait konsep pembayaran jasa lingkungan telah dipraktikkan di beberapa daerah di Indonesia dalam berbagai kerangka. Dalam kerangka G to G misalnya, hal ini dipraktikkan oleh Pemerintah Daerah Kuningan dan Cirebon. Kuningan merupakan wilayah hulu yang menjadi sumber penyediaan air bagi wilayah hilir salah satunya di wilayah Cirebon. Best practice lainnya yang menjadi salah satu objek penelitian empiris dalam rangka penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Konservasi Tanah dan Air adalah praktek imbal jasa lingkungan dalam kerangka C to P (Community to Privat) antara masyarakat kelompok tani di hulu Cidanau dengan PT Krakatau Tirta Indah (PT KTI) yang merupakan anak perusahaan dari PT Krakatau Steel.

Kelompok Tani Karya Muda II merupakan salah satu kelompok tani di wilayah Gunung Karang yang melakukan kontrak/perjanjian pembayaran jasa lingkungan dengan PT Krakatau Tirta Industri melalui/difasilitasi oleh Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai Cidanau (FKDC). Perjanjian pembayaran jasa lingkungan terbagi dua, yakni perjanjian antara FKDC dengan PT KTI dan antara FKDC dengan para kelompok tani.
Dasar perjanjian pembayaran jasa lingkungan ini adalah naskah kesepahaman antara FKDC dengan PT KTI dengan dilandasi azas kesukarelaan (voluntary agreement) untuk memelihara ekosistem (lingkungan) Derah Aliran Sungai Cidanau dan ditujukan untuk mendorong percepatan upaya rehabilitasi ekosistem (lingkungan) dengan objek perjanjian adalah produk jasa lingkungan dalam bentuk sumber daya air yang dihasilkan oleh Derah Aliran Sungai Cidanau.
            FKDC dan PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) membuat kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan, dengan jangka waktu untuk 5 (lima) tahun (2005-2009). Kesepakatan penting tersebut antara lain; KTI menunjuk FKDC sebagai lembaga yang mewakili kepentingan KTI sebagai buyer di masyarakat yang telah ditetapkan sebagai produsen jasa lingkungan (seller) di hulu DAS Derah Aliran Sungai Cidanau, KTI secara sukarela (voluntary) membayar jasa lingkungan atas pemanfaatan sumber daya air Derah Aliran Sungai Cidanau.
            Pada intinya ruang lingkup perjanjian adalah bahwa pihak FKDC (sebagai fasilitator dari PT KTI) membayarkan jasa lingkungan kepada pihak kelompok tani sebesar 1.200.000 per hektar per tahun selama masa kontrak (5 tahun) sedangkan pihak kelompok tani bersedia membangun dan memelihara hutan dengan tanaman jenis kayu-kayuan dan jenis buah-buahan. Jenis tanaman yang diberkan jasa lingkungan adalah semua jenis tanaman kehutanan termasuk tanaman multi-purpose trees species (MPTS) berdasarkan ketentuan kehutanan dan perkebunan kecuali jenis kayu kayuan polong-polongan. 
            Dengan diakomodasinya pengaturan yang lebih kuat terkait praktik imbal jasa lingkungan dalam penyelenggaraan konservasi tanah dan air, diharapkan kegiatan semacam ini menjadi pemicu timbulnya kesadaran untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan secara sukarela antara wilayah hulu dan hilir yang pada akhirnya memberikan kemanfaatan kepada kedua belah pihak.

      





[i] Perancang Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI, untuk korespondensi melalui zaha.alin@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan komentar anda di sini. Untuk penggunaan referensi harap mencantumkan sumber.