Tulisan saya ini dimuat dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012
Abstrak
Lahirnya UU No.12 Tahun 2011 secara nyata merubah konstalasi kewenangan pengawasan di sektor jasa keuangan termasuk perbankan. Peralihan kewenangan pengawasan di sektor perbankan yang semula berada di satu tangan yakni di Bank Indonesia baik pengawasan bidang macroprudential maupun microprudential, berdasarkan UU ini diserahkan kepada OJK. Namun demikian UU ini memberi ruang kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan kewenangan pengawasan yang bersifat macroprudential dengan tetap berkoordinasi dengan OJK. Pengaturan hubungan kelembagaan yang belum secara rinci dan jelas memungkinkan timbulnya multi penafsiran dan berpengaruh pada arah kebijakan peraturan perundang-undangan terkait di sektor perbankan, Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan-peraturan terkait tersebut harus dilakukan dengan juga menghindari konflik kepentingan jangka pendek.
Kata Kunci: Hubungan kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, pengawasan, jasa keuangan, sektor perbankan.
Abstract
Law No 12/2011 has significantly changed and transformed the supervisory authority constellation of financial services sector including banking. It was the single supervisory of central bank both macroprudential dan microprudential supervisions, under the Law No.12/2011, the authority to supervise banking sector that was originally in the hand of Bank Indonesia submitted to The Financial Services Authority (OJK). However, the law gives space to the central bank to implement macroprudential supervisory authority that is fixed in coordination with the OJK. The unclear stipulation of Institutional relations allows the multi-interpretation which will influence the direction of policyof related legislations in the banking sector. Harmonization and synchronization of related regulations should be emphasized, moreover avoiding short-term conflicts of interest.
Keywords: institutional relations, Financial Services Authority, Bank of Indonesia, supervisory, Financial services, banking sector.
I. Pendahuluan
Secara yuridis, Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) sebagai Lembaga Pengawas Jasa Keuangan lahir dari amanat Undang-Undang No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut UU tentang BI), dimana dalam Pasal 34 diamanatkan pengalihan wewenang pengawasan terhadap bank dari Bank Indonesia sebagai pengawas sektor perbankan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dalam penjelasan Pasal 34 disebutkan pula selain pengawasan terhadap sektor perbankan, lembaga pengawas ini akan pula mengawasi sektor jasa keuangan lainya seperti asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Sehingga pengawasan sektor jasa keuangan selain bank yang semula dilakukan antara lain oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) juga beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan sendiri kemudian dikukuhkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU tentang OJK). UU tentang OJK mengatur secara lengkap mengenai pembentukan dan status kelembagaan, tugas dan wewenang, struktur organisasi lembaga, kode etik dan akuntabilitas, perlindungan konsumen dan masyarakat serta hubungan kelembagaan. Sebagai suatu undang-undang yang lahir dalam rangka pengalihan fungsi dan wewenang yang sudah berjalan, UU tentang OJK rentan terhadap irisan kewenangan dari lembaga lain yang sebelumnya memiliki tugas dan wewenang yang diamanatkan kepada OJK. Sebagaimana disebutkan sebelumnya kelahirannya mencakup kewenangan beberapa lembaga pengawas sektor keuangan bank dan non bank yang saat ini dijalankan oleh beberapa institusi. Terkait dengan kondisi ini, pengaturan pengalihan dan hubungan fungsional antar beberapa lembaga yang ada merupakan materi yang sangat signifikan. Sehingga pengaturan mengenai hal tersebut seharusnya dibuat dengan hati-hati sekaligus jelas, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih kewenangan atau bahkan kekosongan kewenangan.
Tulisan ini hendak membahas bagaimana konsep pengaturan hubungan kelembagaan yang diatur dalam UU tentang OJK terhadap pengawasan sektor perbankan. Pembahasan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji dan menelaah berbagai sumber pustaka terkait dengan materi tersebut baik dari peraturan perundang-undangan maupun hasil karya ilmiah lainnya. Analisa akan berangkat dari latar belakang ide lahirnya OJK, kemudian mencoba menganalisa keterkaitan beberapa pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan terutama peralihan kewenangan pengawasan sektor perbankan dan bagaimana pengaturan tentang hubungan kelembagaan tersebut dalam UU tentang OJK. Dengan alur sedemikian diharapkan tergambar kritisi dan catatan penting tentang apakah UU tentang OJK telah mengatur secara lengkap hubungan kelembagaan dan mampu menjawab permasalahan yang melatarbelakangi lahirnya OJK sendiri.
II. Pembahasan
A. Latar Belakang Yuridis Pembentukan OJK
Sebagaimana telah dihantarkan dalam pendahuluan, secara yuridis lahirnya UU tentang OJK merupakan amanat dari Pasal 34 UU tentang BI. Dalam Pasal I angka 6 disebutkan bahwa “Penjelasan Pasal 34 ayat (1) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan, dan ketentuan Pasal 34 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 34 berbunyi sebagai berikut : (1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.”
Dalam penjelasan angka 6, Pasal 34 Ayat (1) dijelaskan bahwa “Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan”.
Adapun pada ayat (2) dijelaskan bahwa “pengalihan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dalam penjelasan umum UU tentang BI tersebut secara jelas digambarkan bahwa tugas Bank Indonesia untuk mengawasi bank menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 bersifat sementara. Namun demikian, mengingat amanat pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yaitu selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2002 telah terlampaui, maka dengan Undang-Undang tersebut ditegaskan kembali bahwa pengawasan terhadap bank akan dilaksanakan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang akan dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2010. Pengunduran batas waktu pembentukan lembaga tersebut, ditetapkan dengan memperhatikan kesiapan sumber daya manusia dan infra struktur lembaga tersebut dalam menerima pengalihan pengawasan bank dari Bank Indonesia.
Sehingga jelaslah bahwa amanat kelahiran lembaga pengawas sektor perbankan bukan semata-mata lahir dari UU tentang BI tahun 2004 tersebut, amanat ini sudah dinyatakan pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang bank Indonesia yang diubah dengan UU tentang BI tahun 2004 tersebut. Dalam Pasal 34 ayat (1) dinyatakan bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Sedangkan pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002 {ayat (2)}. Pasal 35 menegaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang ini tugas pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia pada hakikatnya bersifat sementara. Pasal 35 secara jelas menyebutkan: “Sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan Bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia.”
Penjelasan dari Pasal 34 ayat (1) dalam Undang-Undang ini sama persis seperti penjelasan Pasal 34 ayat (1) dalam Undang-Undang Perubahannya (UU tentang BI No. 3 tahun 2004), namun jika kita cermati dan kaji lebih dalam, terdapat kalimat dalam penjelasan pasal 34 yang kemudian tidak diatur ulang (diakomodir) dalam perubahan UU tentang BI tersebut, yakni kalimat terakhir dalam penjelasan pasal 34 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1999 yakni kalimat “Adapun tugas mengatur akan tetap dilakukan oleh Bank Indonesia”. Yang kemudian perlu untuk dikritisi adalah apakah hal ini merupakan kesengajaan, mengingat hilangnya kalimat ini berdampak pada kontsalasi kewenangan pengaturan di sektor perbankan yang akan diterjemahkan dalam undang-undang mengenai lembaga pengawas sektor jasa keuangan tersebut yang kemudian melahirkan OJK. Catatan ini selengkapnya akan dikaji pada bagian pembahasan selanjutnya.
Yang kemudian menarik untuk menjadi catatan dan kritisi dari latar belakang lahirnya OJK adalah latar belakang sosiologis dan ekonomis pada saat ide pembentukkan OJK mengemuka, yakni pada saat dibentuknya UU No.23 Tahun 1999. Ide pembentukan otoritas pengawas sektor keuangan yang terpisah dari otoritas moneter sejak awal telah menuai perdebatan dan kontroversi. Bismar Nasution menyebutkan bahwa amanat pembentukan OJK harus dikritisi secara mendalam, apakah amanat demikian itu dapat membuat pengawasan bank lebih baik dan dapat membawa perubahan lebih baik dalam sistem ekonomi terutama dalam pengaturan dan dan pengawasan pengelolaan kegiatan sektor keuangan yang diselenggarakan oleh lembaga jasa keuangan. Pengalihan fungsi pengawasan bank dari bank sentral di negara yang industri keuangannya didominasi oleh industri perbankan tentunya menimbulkan perdebatan dan memicu kontroversi.[2] Bismar menyebutkan bahwa dalam penyusunan RUU tentang OJK ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait konsep hukum dan pembangunan, dimana terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan dalam proses pembentukan hukum sebagai alat rekayasa sosial supaya tidak menghambat ekonomi, yaitu “stabilitas” (stability), “prediksi” (preditability), “keadilan” (fairness), “pendidikan” (education), dan “pengembangan khusus dari sarjana hukum” (the special development abilities of the lawyer).[3] Unsur stabilitas dan prediksi merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini “stabilitas” berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sedangkan “prediksi” merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu Negara.
Selanjutnya, Anggito Abimanyu[4] dalam makalah yang disampaikan kepada Panitia Seleksi OJK menyitir pendapat Joseph Stiglitz yang menyebutkan bahwa sektor keuangan merupakan “pusat” dari sistem dalam sebuah perekonomian sehingga kegagalan sektor keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistem dalam perekonomian, sehinggas salah satu kunci utama pendalaman keuangan adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui ekspansi akses untuk pihak-pihak yang tidak memiliki kecukupan finansial. Yang tak kalah pentingnya adalah kekuatan struktur permodalan, infrastruktur dan inovasi produk jasa keuangan. Struktur aset jasa keuangan di Indonesia masih terkonsentrasi di bank (80%), sementara yang lain seperti asuransi, 10%, Dana Pensiun 2,5%, pembiayaan 5,5% masih belum memadai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara merata. Sektor perbankan Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar.Hal ini yang kemudian menjadi catatan atas pemilihan bentuk dan model kelembagaan pengawasan jasa keuangan.
Sebagaimana tergambar dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum UU tentang BI tahun 1999, bahwa pembentukan suatu otoritas moneter yang independen dengan reorientasi sasaran Bank Indonesia merupakan salah satu bentuk kebijakan pemulihan dan reformasi perekonomian untuk keluar dari krisis ekonomi yang tengah melanda Indonesia pada saat itu. Hal itu sekaligus meletakkan landasan yang kukuh bagi pelaksanaan dan pengembangan perekonomian Indonesia di tengah-tengah perekonomian dunia yang semakin kompetitif dan terintegrasi. Reorientasi sasaran tersebut diarahkan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dalam mewujudkan tujuan tersebut, Bank Indonesia perlu ditopang dengan tiga pilar utama yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat.
Selain catatan yuridis dan sosiologis yang dapat kita pahami berdasarkan ruh dan norma dari Undang-Undang sendiri, timbul beberapa penafsiran dan kritisi terhadap hal ini, misalnya ditundanya pembentukan OJK dari 31 Desember 2002 sampai 31 Desember 2010 atau sekitar 8 tahun, menjadi pertanyaan tersendiri, benarkah faktor kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang menjadi alasan mendasar perubahan ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum? Sebagaimana diketahui selain berbagai pekerjaan rumah bagi sektor perbankan akibat krisis ekonomi dan moneter 1998 dan maraknya kasus kejahatan perbankan sekaligus kinerja pengawasan sektor perbankan oleh Bank Indonesia, pembentukan lembaga pengawasan sektor keuangan ini sebenarnya masuk dalam salah satu poin Letter of Intend (LOI) antara pemerintah dan IMF sebagai salah satu persyaratan bagi pemerintah mendapatkan pinjaman pada saat krisis ekonomi pertengahan 1997-1998. Walaupun banyak keberatan dari berbagai pihak, siapa pun baik DPR, Pemerintah apalagi Bank Indoenesia hampir-hampir tidak mempunyai kekuatan untuk menolak ketentuan IMF, termasuk pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan ini.[5]
Jika mengacu pada LOI dimaksud, lembaga pengawas sektor perbankan seharusnya dibentuk pada tahun 1999 seiring dengan perubahan Undang-Undang tentang Bank Sentral yang hendak membentuk otoritas moneter yang Independen (BI) lepas dari pengaruh pemerintah, namun meskipun tercantum dalam LOI dengan IMF, Bank Indoenesia keberatan dengan pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan. Sehingga pembentukan lembaga pengawasan ini ditangguhkan sampai pada tahun 2002, bukan pada tahun yang sama dengan perubahan UU tentang BI dengan alasan memberi kesempatan kepada seluruh komponen pembuat kebijakan terutama pemerintah mempersiapkan segala sesuatunya sehubungan dengan akan dibentuknya lembaga pengawasan perbankan yang baru.[6]
Dalam perjalanannya, memang terdapat sikap yang berbeda dari pihak Bank Indonesia terkait amanat pembentukan lembaga pengawasan ini, bahkan dalam amandemen UU Nomor 23 tahun 1999, pembentukan lembaga ini kemudian diundur sampai 2010 dengan alasan kesiapan infrastruktur, pendanaan dan sumber daya manusia. Kesiapan bidang infrastruktur dan pendanaan menjadi alasan utama Bank Indoenesia yang menganggap pemerintah belum siap membentuk atau mengoperasionalkan sebuah lembaga super di bidang pengawasan sektor keuangan di Indonesia. Tarik ulur pembentukan badan pengawas menjadi lebih kencang karena pada tahun yang sama LOI antara pemerintah dan IMF akan segera berakhir.[7]
Di lain pihak, pemerintah menyikapi amanat undang-undang untuk membentuk lembaga pengawas ini dengan menyiapkan beberapa payung hukum. Pada saat pengajuan RUU bidang keuangan (tahun 2003), pemerintah telah menyertakan pula RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan di samping RUU untuk mengamandemen undang-undang bidang jasa finansial, seperti pasar modal, asuransi, dan dana pensiun. Meskipun yang lolos menjadi UU ternyata hanya amandemen UU tentang BI, yaitu UU No 3 Tahun 2004. Dari segi infrastruktur, pemerintah telah menyiapkan diri dengan memerger Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dengan Direktorat Lembaga Keuangan (DJLK) menjadi Bapepam LK.[8] Dari sisi pendanaan sendiri, kerugian Negara dari beban tanggungan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia akibat lemahnya pengawasan Bank Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan triliun secara tidak langsung menjawab keraguan pentingnya lembaga pengawasan sektor keuangan, guna mencegah kejadian dan kerugian yang sama. Munculnya kasus perbankan yang baru seperti kasus bank century dan beberapa perusahaan sekuritas kemudian makin mendorong kebutuhan percepatan pembentukan lembaga pengawasan sektor keuangan termasuk perbankan.
Pada tataran global, pro dan kontra pembentukan otoritas pengawas sektor keuangan yang terpisah dari otoritas moneter juga tidak terelakkan. Berbagai Negara menggunakan konsep dan praktik yang juga beragam, bahkan ada kecenderungan terjadinya perubahan konsep seiring dengan perubahan di sektor keuangan dunia yang makin dinamis. Di Inggris, konsep pemisahan dikembangkan dengan membentuk Financial Services Authority (FSA). Jepang pun melakukan hal serupa dengan membentuk Japan FSA. Sementara Australia membentuk Australian Prudential Regulatory Authority (APRA). Masih banyak negara maju maupun berkembang yang mengembangkan konsep serupa. Keberadaan badan ini dimaksudkan untuk dapat mengikuti perkembangan yang cepat pada sektor jasa keuangan, terutama dengan munculnya konglomerasi di sektor tersebut. Walaupun terdapat berbagai bentuk lembaga pengawasan, struktur OJK di Indonesia menggunakan pendekatan intergrated approach, di mana OJK mengawasi seluruh lembaga keuangan seperti halnya FSA di Inggris, di Australia dan di Korea Selatan. Sejarah menunjukkan gagalnya koordinasi dengan Bank of England (BoE) dalam penanganan Northern Rock. Di Korsel, FSA saat ini sedang dalam tekanan politik yang hebat agar pengawasan dikembalikan ke bank sentral akibat maraknya kasus korupsi. Tantangan ke depan OJK adalah agar masalah yang terjadi di Inggrsi dan Kore Selatan tidak berulang di Indonesia.
Namun demikian, terdapat argumen yang mendukung pengawasan bank tetap di tangan bank sentral adalah fungsi pengawasan bank membantu bank sentral menjalankan fungsinya dengan baik, karena bank sentral dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan secara cepat dan menyeluruh. Pengetahuan tentang keadaan dan kesehatan sistem perbankan dapat meningkatkan kualitas analisis dan prediksi kondisi keuangan yang dibuat oleh bank sentral. Alasan lainnya, yakni bisa mengantisipasi konflik kepentingan antarlembaga dan juga lebih ekonomis.[9] Mengingat otoritas moneter perlu melakukan transmisi kebijakan moneter melalui perbankan, maka kewenangan bank sentral untuk mengawasi bank akan memberi pemahaman yang mendalam bagi bank sentral tentang bagaimana perbankan akan bereaksi terhadap kebijakan moneter yang dibuatnya. Bahkan, bila terjadi krisis keuangan, peran bank sentral bertambah penting karena kebijakan di bidang moneter dan sistem pembayaran selalu menjadi solusi terbaik.[10]
Pro dan kontra terhadap pembentukan OJK, pada akhirnya berujung pada pengesahan UU tentang OJK pada tahun 2011 sebagai pelaksanaan amanat pasal 34 UU tentang BI Tahun 2004. Dalam Naskah Akademik Pembentukan OJK dinyatkan bahwa salah satu dasar pertimbangan pembentukan OJK adalah best practices di beberapa Negara dan memperhatikan model pengawasan industri jasa keuangan di berbagai negara di dunia.[11] Meskipun sangat beragam, namum model pengawasannya yang dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kelompok besar yaitu[12] :
1. Multi Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh lebih dari dua otoritas. Masing-masing industri jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnya diatur dan diawasi oleh masing-masing regulator yang berbeda. Model ini diterapkan oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat China.
2. Twin Peak Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh dua otoritas utama yang pembagiannya didasarkan pada aspek prudential dan aspek market conduct. Dalam model ini lembaga keuangan prudensial seperti bank dan perusahaan asuransi berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri, sedangkan perusahaan efek dan lembaga keuangan lainnya serta seluruh produk-produk jasa keuangan berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri pula. Model ini diterapkan oleh negara-negara seperti Australia dan Canada.
3. Unified Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh otoritas yang terintegrasi dibawah satu lembaga atau badan yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan mencakup perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya. Model ini mulai cenderung diterapkan di beberapa negara sejak tahun 1997. Yang pertama kali menerapkan model ini adalah Norwegia di tahun 1986. Sampai saat ini sudah lebih dari 30 negara menerapkan model ini. Model ini diterapkan oleh negara-negara yang sektor keuangannya cukup besar dan maju seperti antara lain Inggris, Jepang, Korea Selatan dan Jerman.
Kemudian berdasarkan berbagai pertimbangan pokok yang telah diuraikan di atas dan pengalaman krisis perbankan yang pernah terjadi di Indonesia serta struktur dan sistem keuangan yang saat ini berlaku, maka model pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang sangat sesuai dengan Indonesia adalah Unified Supervisory Model, yaitu suatu sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di dalam suatu lembaga tunggal yang disebut Otoritas Jasa Keuangan.
B. Peralihan Peran dan Fungsi Pengawasan Sektor Perbankan Kepada OJK
Kewenangan pengawasan sektor perbankan sebagai salah satu sektor bidang jasa keuangan secara otomatis beralih dari Bank Indonesia kepada OJK. Beberapa kewenangan pengawasan sektor perbankan yang semula berada di Bank Indonesia diatur dalam UU tentang BI kemudian dialihkan kepada OJK . Dalam Pasal 8 UU tentang BI ditentukan bahwa pengaturan dan pengawasan Bank merupakan salah satu tugas Bank Indonesia. Dalam rangka melaksanakan tugas ini, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakan pengawasan bank, serta mengenakan sanksi terhadap bank (Pasal 24). Selain itu, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehatihatian (Pasal 25). Kemudian terkait perizinan, dalam Pasal 26 ditegaskan Bank Indonesia memberikan dan mencabut izin usaha bank; memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank; memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank; memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi pengawasan langsung dan tidak langsung (Pasal 27). Bank Indonesia berwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dimana hal ini dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan (Pasal 28). Pemeriksaan terhadap bank dilakukan secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan dan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan (Pasal 29).
Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaaan terhadap bank (Psl. 30) Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan (Psl. 31). Dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Perbankan yang berlaku (Psl. 33).
Pengalihan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada OJK, dalam penjelasan Psal 34 UU tentang BI Tahun 1999 tidak termasuk tugas pengaturan bank serta tugas yang berkaitan dengan perizinan. Namun demikian dalam penjelasan pasal 34 pada UU tentang BI tahun 2004, pengecualian (pembatasan) ini tidak diatur atau dinyatakan dalam pasal perubahannya, sehingga dalam UU tentang OJK, aspek pengaturan termasuk di dalamnya perizinan menjadi wewenang OJK. Jika dikaitkan dengan Undang-Undang tentang Perbankan[13], maka fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal 53 Undang-Undang ini, beralih menjadi fungsi, tugas, dan wewenang OJK sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) UU tentang OJK.
Pasal 7 UU tentang OJK memberikan kewenangan kepada OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, yaitu:
a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi :
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
d. pemeriksaan bank.
Selain itu kewenangan mengenai pemberian perintah tertulis beralih dari Bank Indonesia kepada OJK sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 huruf d UU tentang OJK serta penetapan sanksi administratif kepada bank dan pihak terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannya beralih dari Bank Indonesia kepada OJK sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 huruf g. Demikian pula ketentuan Pasal 12 Undang-Undang tentang Perbankan, untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan menengah, kerjasama yang sebelumnya dilakukan oleh Bank Indonesia dengan pemerintah melalui Bank Umum juga beralih kepada OJK.
Selain peralihan kewenangan yang secara jelas diatur dalam UU tentang OJK, diatur pula hubungan kelembagaan dan kerjasama antar lembaga mengingat terdapat beberapa masalah yang sangat signifikan terkait proses peralihan ini. Namun demikian sebagaimana Bank Indonesia, OJK juga merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU tentang OJK.[14] Pengecualian ini sekalipun, seharusnya tidak mengurangi independensi OJK.
Pengawasan bank sendiri dibangun atas tiga pilar: regulasi, monitoring dan sanksi. Bila dianalogikan sebagai manusia: regulasi itu adalah badan, monitoring itu sebagai kepala (akal, mata dan telinga), dan penegakan hukum (sanksi) menjadi hati nuraninya. Agar efektif, kondisi ketiga elemen yang terintegrasi tersebut harus senantiasa dipelihara agar sehat (sound) dan difungsikan secara tepat (proper). Sistem perbankan itu sendiri dapat diibaratkan sebagai suatu bangunan yang bersendikan tiga pilar itu. Jika salah satu pilarnya lemah atau kurang kokoh, maka dia akan mudah rubuh dan mudah dimasuki atau disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.[15] Keberhasilan sebagai lembaga pengawas bank tidak akan berjalan dengan sendirinya hanya dengan reorganisasi atau pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral. Keberhasilan itu merupakan produk yang dikembangkan dari suatu filosofi orientasi-pasar yang fleksibel. Hanya dengan menjadi suatu lembaga yang berintegritas tinggi, dinamis, policy-driven, berkemampuan riset yang kuat, forward looking, dan market friendly serta senantiasa belajar (learning organization) pada akhirnya akan berhasil melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh rakyat dan menjadi lembaga yang kompeten dan independen. [16]
Istilah otoritas dalam penamaan lembaga pengawas sektor keuangan ini, pun untuk mencerminkan bahwa lembaga tersebut menjalankan fungsi pengaturan (regulasi) dan fungsi pengawasan (supervisi). Bila dibandingkan dengan konsep serupa di negara lain maka konsepsi struktur pengorganisasian OJK memiliki kesamaan dengan struktur pengorganisasian pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di Korea Selatan yang memisahkan fungsi pengaturan (regulator) yang dilakukan oleh Financial Services Commision dari fungsi pengawasan (supervisor) yang dilakukan oleh Financial Supervisory Service. Namun, OJK di Indonesia nantinya memisahkan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan di dalam satu organisasi dimana fungsi pengaturan akan dilaksanakan oleh Dewan Komisioner sedangkan fungsi pengawasan dilaksanakan oleh 3 (tiga) Pengawas yang berdiri sendiri yaitu Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal, dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank. Kesemuanya terintegrasi dalam satu organisasi OJK. Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi OJK melakukan pula fungsi pengawasan terhadap ketiga lembaga pengawas dimaksud. [17]
Khusus untuk pengawasan Perbankan, konsepsi model OJK di Indonesia memiliki kemiripan dengan model pengawasan perbankan yang diterapkan di Jerman di mana Bundesbank masih dapat melakukan pengawasan terhadap Perbankan bersama dengan Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht (BAFIN), demikian pula di Jepang di mana Bank of Japan juga masih dapat melakukan pengawasan terhadap Perbankan bersama dengan Japan Financial Services Agency (JFSA). Dengan demikian, di Indonesia nantinya, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dapat bersama-sama dengan OJK melaksanakan pengawasan terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada OJK, bahkan Bank Indonesia juga diperkenankan untuk bersama dengan OJK melakukan pemeriksaan lapangan di suatu bank (on site inspection). Selain itu, Bank Indonesia juga mendapatkan semua akses informasi tentang data perbankan di Indonesia.[18]
Hubungan kelembagaan antara OJK dengan Bank Indonesia (dan lembaga terkait lainnya), diatur dalam satu bab tersendiri dalam UU tentang OJK, hal ini sesuai perintah pasal 34 UU tentang BI.
C. Hubungan Kelembagaan Pengawas Sektor Perbankan dalam Perspektif UU tentang OJK
OJK sebagai lembaga otoritas yang dibentuk dari integrasi dua lembaga besar, yaitu Direktorat Pengatur dan Pengawas Perbankan BI dan Bapepam LK kementerian keuangan akan menghadapi beberapa persoalan teknis dalam pelaksanaan tugas dan wewenanganya sebagai akibat dari peralihan kewenangan dari lemabaga yang lama. Selain kendala kelambanan waktu, efektifitas lembaga dan cakupan wilayah kerja, OJK menghadapi permasalahan dalam mencapai model integrasi yang optimal karena peran dan kepentingan masing-masing cenderung berbeda yakni antara prinsip prudensial pada perbankan dan lembaga keuangan serta disclosure pada pasar modal.
Dalam penjelasan umum UU tentang OJK telah tampak adanya kesadaran preventif dari pembentuk UU ini terhadap masalah keterkaitan kewenangan OJK dengan beberapa otoritas lain seperti otoritas moneter dan otoritas fiscal. Hal ini tergambar antara lain dari struktur dan unsur kelembagaan dimana secara kelembagaan, OJK berada di luar pemerintah dan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah, Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah. Pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya. [19]
Dalam hal koordinasi makro, penambahan lembaga baru ini akan menambah jumlah anggota dalam forum pengambil kebijakan, khususnya di saat krisis. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Komite Koordinasi (KK) yang merupakan forum pengambilan keputusan di saat krisis yang sebelumnya hanya terdiri dari Bank Indonesia, Kementrian Keuangan, dan LPS akan bertambah dengan masuknya OJK hingga menjadi Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Penambahan anggota forum ini memiliki konsekuensi alotnya koordinasi di saat-saat genting, saat krisis. Penyatuan semua lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan dalam OJK diharapkan dapat memberikan perlakuan yang sama (the same level playing field) bagi seluruh sektor jasa keuangan. Penyatuan itu sekaligus diharapkan dapat meningkatkan efisiensi danmemudahkan koordinasi antar lembaga.[20]
Sebagaimana diketahui Bank Indonesia saat ini berperan sebagai pengawas perbankan sekaligus sebagai regulator di bidang moneter. Dengan struktur yang ada saat ini, Bank Indonesia berperan aktif dalam dua hal sekaligus,yaitu macro-prudential supervision dan micro-prudential supervision. Macroprudential supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas lembaga keuangan, khususnya perbankan, yang memiliki pengaruh signifikan pada sistem keuangan atau perekonomian. Di sisi lain, microprudential supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan, khususnya perbankan, dengan tujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu. Jika peran pengawasan sistem keuangan diberikan sepenuhnya kepada OJK sementara regulator moneter diemban oleh Bank Indonesia, maka akan muncul beberapa permasalahan antara lain:[21]
a. kemampuan OJk sebagai lembaga baru dengan kewenangan yang superpower di sektor jasa keuangan membutuhkan penyesuaian yang tidak sebentar;
b. koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia cenderung akan suboptimal, karena masing masing lembaga cenderung untuk fokus kepada tugas pokok fungsi masing-masing sementara seringkali tugas pokok fungsi masing-masing lembaga cenderungbertentangan;
c. lemahnya koordinasi dan pertukaran informasi antara OJK dan Bank Indonesia akan meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap krisis ekonomi, baik yang disebabkan oleh krisis moneter maupun krisis sistem keuangan;
d. fungsi lender of the last resort dari Bank Indonesia tidak akan optimal selama Bank Indonesia tidak memiliki informasi yang memadai tentang kondisi sistem keuangan di tingkat lembaga keuangan individual.
Hubungan kelembagaan antara OJK dengan Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan dalam konteks pengawasan terhadap sektor perbankan diatur dalam bab tersendiri yakni Bab X tentang hubungan Kelembagaan, terdapat pula beberapa pasal lain dalam UU tentang OJK yang pada akhirnya menghatur konsep hubungan kelembagaan terutama antara OJK dengan Bank Indonesia.
Terdapat beberapa Catatan kritis atas pengaturan hubungan kelembagaan antar kedua institusi tersebut, hal ini terkait dengan permasalahan yang telah didiskusikan pada bagian sebelumnya, yakni kekhawatiran kehadiran OJK yang mengambil fungsi pengawasan Bank Indonesia atas Bank-bank Umum, bertabrakan dengan fungsi pengaturan Bank Indonesia yang secara tidak langsung akan bersinggungan dengan fungsi pengawasan (macroprudential), kekhawatiran apakah kehadiran OJK sudah benar-benar merupakan kebutuhan atau justru hanya merupakan efouria karena trauma masa lalu sebagai dampak dari krisis perbankan yang berkepanjangan yang satu diantaranya karena tidak optimalnya fungsi pengawasan Bank Indonesia.[22]
Tampaknya kekhawatiran ini dicoba dijawab melalui penjelasan Pasal 7 UU tentang OJK yang menyebutkan bahwa ”Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan”.
Dari sisi teknik perancangan peraturan perundang-undangan, ketentuan ini kurang tepat jika dimasukkan sebagai penjelasan dari pasal 7, mengingat ketentuan penjelasan tersebut mengandung norma, yakni norma kewenangan. Ketentuan penjelasan tersebut sangat jelas merupakan norma pembagian kewenangan antara OJK dan Bank Indonesia. Pun masih tersisa persoalan karena tidak ada pembagian kategori yang jelas dari lingkup microprudential dan macroprudential. Seharusnya UU ini memberikan ketentuan yang jelas mengingat jika dirujuk pada teori dan praktik, terdapat pula cakupan yang lintas kategori atau bahkan beririsan antara yang microprudential dan macroprudential, belum ada pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut, apakah dikerjasamakan atau dikoordinasikan? atau seperti apa?pun dalam pasal kerjasama dan koordinasi masih tidak ada kejelasan seperti apa kewenangan macroprudential Bank Indonesia. Ketiadaan kejelasan ini dapat menimbulkan penafsiran yang beragam dan berakibat pada arah perubahan UU tentang perbankan dan UU perubahan tentang Bank Indonesia, dan justru akan menimbulkan tumpang tindih seperti kekhawatiran banyak pihak. Bahkan konstalasi politik pada saat Perubahan kedua UU tersebut bisa jadi lebih menentukan daripada konsistensi dan hamonisasi dengan UU tentang OJK.
Masalah penafsiran ini dapat dipicu dengan pemaknaan yang berbeda dari penjelasan pasal 7 yang berbunyi “Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia”, frasa “selain hal yang diatur dalam pasal ini”, memberikan kewenangan yang sangat luas dan tidak terbatas kepada Bank Indonesia terkait kewenangan pengawasan terhadap sektor perbankan. Selama bentuk pengawasan ini dapat dikategorikan sebagai pengawasan macroprudential, yang sekali lagi secara praktik dan teori tidak terdapat kesamaan persepsi tentang hal tersebut, membuat ketentuan penjelasan pasal 7 ini menjadi satu masalah tersendiri. Terlebih, ada bentuk kegiatan perbankan yang dinyatakan merupakan bagian pengawasan macroprudential dan microprudential secara bersamaan atau beririsan.
Terkait koordinasi kelembagaan, Pasal 39 UU tentang OJK menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:
Abstrak
Lahirnya UU No.12 Tahun 2011 secara nyata merubah konstalasi kewenangan pengawasan di sektor jasa keuangan termasuk perbankan. Peralihan kewenangan pengawasan di sektor perbankan yang semula berada di satu tangan yakni di Bank Indonesia baik pengawasan bidang macroprudential maupun microprudential, berdasarkan UU ini diserahkan kepada OJK. Namun demikian UU ini memberi ruang kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan kewenangan pengawasan yang bersifat macroprudential dengan tetap berkoordinasi dengan OJK. Pengaturan hubungan kelembagaan yang belum secara rinci dan jelas memungkinkan timbulnya multi penafsiran dan berpengaruh pada arah kebijakan peraturan perundang-undangan terkait di sektor perbankan, Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan-peraturan terkait tersebut harus dilakukan dengan juga menghindari konflik kepentingan jangka pendek.
Kata Kunci: Hubungan kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, pengawasan, jasa keuangan, sektor perbankan.
Abstract
Law No 12/2011 has significantly changed and transformed the supervisory authority constellation of financial services sector including banking. It was the single supervisory of central bank both macroprudential dan microprudential supervisions, under the Law No.12/2011, the authority to supervise banking sector that was originally in the hand of Bank Indonesia submitted to The Financial Services Authority (OJK). However, the law gives space to the central bank to implement macroprudential supervisory authority that is fixed in coordination with the OJK. The unclear stipulation of Institutional relations allows the multi-interpretation which will influence the direction of policyof related legislations in the banking sector. Harmonization and synchronization of related regulations should be emphasized, moreover avoiding short-term conflicts of interest.
Keywords: institutional relations, Financial Services Authority, Bank of Indonesia, supervisory, Financial services, banking sector.
I. Pendahuluan
Secara yuridis, Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) sebagai Lembaga Pengawas Jasa Keuangan lahir dari amanat Undang-Undang No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut UU tentang BI), dimana dalam Pasal 34 diamanatkan pengalihan wewenang pengawasan terhadap bank dari Bank Indonesia sebagai pengawas sektor perbankan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dalam penjelasan Pasal 34 disebutkan pula selain pengawasan terhadap sektor perbankan, lembaga pengawas ini akan pula mengawasi sektor jasa keuangan lainya seperti asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Sehingga pengawasan sektor jasa keuangan selain bank yang semula dilakukan antara lain oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) juga beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan sendiri kemudian dikukuhkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU tentang OJK). UU tentang OJK mengatur secara lengkap mengenai pembentukan dan status kelembagaan, tugas dan wewenang, struktur organisasi lembaga, kode etik dan akuntabilitas, perlindungan konsumen dan masyarakat serta hubungan kelembagaan. Sebagai suatu undang-undang yang lahir dalam rangka pengalihan fungsi dan wewenang yang sudah berjalan, UU tentang OJK rentan terhadap irisan kewenangan dari lembaga lain yang sebelumnya memiliki tugas dan wewenang yang diamanatkan kepada OJK. Sebagaimana disebutkan sebelumnya kelahirannya mencakup kewenangan beberapa lembaga pengawas sektor keuangan bank dan non bank yang saat ini dijalankan oleh beberapa institusi. Terkait dengan kondisi ini, pengaturan pengalihan dan hubungan fungsional antar beberapa lembaga yang ada merupakan materi yang sangat signifikan. Sehingga pengaturan mengenai hal tersebut seharusnya dibuat dengan hati-hati sekaligus jelas, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih kewenangan atau bahkan kekosongan kewenangan.
Tulisan ini hendak membahas bagaimana konsep pengaturan hubungan kelembagaan yang diatur dalam UU tentang OJK terhadap pengawasan sektor perbankan. Pembahasan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji dan menelaah berbagai sumber pustaka terkait dengan materi tersebut baik dari peraturan perundang-undangan maupun hasil karya ilmiah lainnya. Analisa akan berangkat dari latar belakang ide lahirnya OJK, kemudian mencoba menganalisa keterkaitan beberapa pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan terutama peralihan kewenangan pengawasan sektor perbankan dan bagaimana pengaturan tentang hubungan kelembagaan tersebut dalam UU tentang OJK. Dengan alur sedemikian diharapkan tergambar kritisi dan catatan penting tentang apakah UU tentang OJK telah mengatur secara lengkap hubungan kelembagaan dan mampu menjawab permasalahan yang melatarbelakangi lahirnya OJK sendiri.
II. Pembahasan
A. Latar Belakang Yuridis Pembentukan OJK
Sebagaimana telah dihantarkan dalam pendahuluan, secara yuridis lahirnya UU tentang OJK merupakan amanat dari Pasal 34 UU tentang BI. Dalam Pasal I angka 6 disebutkan bahwa “Penjelasan Pasal 34 ayat (1) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan, dan ketentuan Pasal 34 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 34 berbunyi sebagai berikut : (1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.”
Dalam penjelasan angka 6, Pasal 34 Ayat (1) dijelaskan bahwa “Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan”.
Adapun pada ayat (2) dijelaskan bahwa “pengalihan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dalam penjelasan umum UU tentang BI tersebut secara jelas digambarkan bahwa tugas Bank Indonesia untuk mengawasi bank menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 bersifat sementara. Namun demikian, mengingat amanat pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yaitu selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2002 telah terlampaui, maka dengan Undang-Undang tersebut ditegaskan kembali bahwa pengawasan terhadap bank akan dilaksanakan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang akan dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2010. Pengunduran batas waktu pembentukan lembaga tersebut, ditetapkan dengan memperhatikan kesiapan sumber daya manusia dan infra struktur lembaga tersebut dalam menerima pengalihan pengawasan bank dari Bank Indonesia.
Sehingga jelaslah bahwa amanat kelahiran lembaga pengawas sektor perbankan bukan semata-mata lahir dari UU tentang BI tahun 2004 tersebut, amanat ini sudah dinyatakan pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang bank Indonesia yang diubah dengan UU tentang BI tahun 2004 tersebut. Dalam Pasal 34 ayat (1) dinyatakan bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Sedangkan pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002 {ayat (2)}. Pasal 35 menegaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang ini tugas pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia pada hakikatnya bersifat sementara. Pasal 35 secara jelas menyebutkan: “Sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan Bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia.”
Penjelasan dari Pasal 34 ayat (1) dalam Undang-Undang ini sama persis seperti penjelasan Pasal 34 ayat (1) dalam Undang-Undang Perubahannya (UU tentang BI No. 3 tahun 2004), namun jika kita cermati dan kaji lebih dalam, terdapat kalimat dalam penjelasan pasal 34 yang kemudian tidak diatur ulang (diakomodir) dalam perubahan UU tentang BI tersebut, yakni kalimat terakhir dalam penjelasan pasal 34 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1999 yakni kalimat “Adapun tugas mengatur akan tetap dilakukan oleh Bank Indonesia”. Yang kemudian perlu untuk dikritisi adalah apakah hal ini merupakan kesengajaan, mengingat hilangnya kalimat ini berdampak pada kontsalasi kewenangan pengaturan di sektor perbankan yang akan diterjemahkan dalam undang-undang mengenai lembaga pengawas sektor jasa keuangan tersebut yang kemudian melahirkan OJK. Catatan ini selengkapnya akan dikaji pada bagian pembahasan selanjutnya.
Yang kemudian menarik untuk menjadi catatan dan kritisi dari latar belakang lahirnya OJK adalah latar belakang sosiologis dan ekonomis pada saat ide pembentukkan OJK mengemuka, yakni pada saat dibentuknya UU No.23 Tahun 1999. Ide pembentukan otoritas pengawas sektor keuangan yang terpisah dari otoritas moneter sejak awal telah menuai perdebatan dan kontroversi. Bismar Nasution menyebutkan bahwa amanat pembentukan OJK harus dikritisi secara mendalam, apakah amanat demikian itu dapat membuat pengawasan bank lebih baik dan dapat membawa perubahan lebih baik dalam sistem ekonomi terutama dalam pengaturan dan dan pengawasan pengelolaan kegiatan sektor keuangan yang diselenggarakan oleh lembaga jasa keuangan. Pengalihan fungsi pengawasan bank dari bank sentral di negara yang industri keuangannya didominasi oleh industri perbankan tentunya menimbulkan perdebatan dan memicu kontroversi.[2] Bismar menyebutkan bahwa dalam penyusunan RUU tentang OJK ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait konsep hukum dan pembangunan, dimana terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan dalam proses pembentukan hukum sebagai alat rekayasa sosial supaya tidak menghambat ekonomi, yaitu “stabilitas” (stability), “prediksi” (preditability), “keadilan” (fairness), “pendidikan” (education), dan “pengembangan khusus dari sarjana hukum” (the special development abilities of the lawyer).[3] Unsur stabilitas dan prediksi merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini “stabilitas” berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sedangkan “prediksi” merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu Negara.
Selanjutnya, Anggito Abimanyu[4] dalam makalah yang disampaikan kepada Panitia Seleksi OJK menyitir pendapat Joseph Stiglitz yang menyebutkan bahwa sektor keuangan merupakan “pusat” dari sistem dalam sebuah perekonomian sehingga kegagalan sektor keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistem dalam perekonomian, sehinggas salah satu kunci utama pendalaman keuangan adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui ekspansi akses untuk pihak-pihak yang tidak memiliki kecukupan finansial. Yang tak kalah pentingnya adalah kekuatan struktur permodalan, infrastruktur dan inovasi produk jasa keuangan. Struktur aset jasa keuangan di Indonesia masih terkonsentrasi di bank (80%), sementara yang lain seperti asuransi, 10%, Dana Pensiun 2,5%, pembiayaan 5,5% masih belum memadai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara merata. Sektor perbankan Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar.Hal ini yang kemudian menjadi catatan atas pemilihan bentuk dan model kelembagaan pengawasan jasa keuangan.
Sebagaimana tergambar dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum UU tentang BI tahun 1999, bahwa pembentukan suatu otoritas moneter yang independen dengan reorientasi sasaran Bank Indonesia merupakan salah satu bentuk kebijakan pemulihan dan reformasi perekonomian untuk keluar dari krisis ekonomi yang tengah melanda Indonesia pada saat itu. Hal itu sekaligus meletakkan landasan yang kukuh bagi pelaksanaan dan pengembangan perekonomian Indonesia di tengah-tengah perekonomian dunia yang semakin kompetitif dan terintegrasi. Reorientasi sasaran tersebut diarahkan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dalam mewujudkan tujuan tersebut, Bank Indonesia perlu ditopang dengan tiga pilar utama yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat.
Selain catatan yuridis dan sosiologis yang dapat kita pahami berdasarkan ruh dan norma dari Undang-Undang sendiri, timbul beberapa penafsiran dan kritisi terhadap hal ini, misalnya ditundanya pembentukan OJK dari 31 Desember 2002 sampai 31 Desember 2010 atau sekitar 8 tahun, menjadi pertanyaan tersendiri, benarkah faktor kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang menjadi alasan mendasar perubahan ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum? Sebagaimana diketahui selain berbagai pekerjaan rumah bagi sektor perbankan akibat krisis ekonomi dan moneter 1998 dan maraknya kasus kejahatan perbankan sekaligus kinerja pengawasan sektor perbankan oleh Bank Indonesia, pembentukan lembaga pengawasan sektor keuangan ini sebenarnya masuk dalam salah satu poin Letter of Intend (LOI) antara pemerintah dan IMF sebagai salah satu persyaratan bagi pemerintah mendapatkan pinjaman pada saat krisis ekonomi pertengahan 1997-1998. Walaupun banyak keberatan dari berbagai pihak, siapa pun baik DPR, Pemerintah apalagi Bank Indoenesia hampir-hampir tidak mempunyai kekuatan untuk menolak ketentuan IMF, termasuk pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan ini.[5]
Jika mengacu pada LOI dimaksud, lembaga pengawas sektor perbankan seharusnya dibentuk pada tahun 1999 seiring dengan perubahan Undang-Undang tentang Bank Sentral yang hendak membentuk otoritas moneter yang Independen (BI) lepas dari pengaruh pemerintah, namun meskipun tercantum dalam LOI dengan IMF, Bank Indoenesia keberatan dengan pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan. Sehingga pembentukan lembaga pengawasan ini ditangguhkan sampai pada tahun 2002, bukan pada tahun yang sama dengan perubahan UU tentang BI dengan alasan memberi kesempatan kepada seluruh komponen pembuat kebijakan terutama pemerintah mempersiapkan segala sesuatunya sehubungan dengan akan dibentuknya lembaga pengawasan perbankan yang baru.[6]
Dalam perjalanannya, memang terdapat sikap yang berbeda dari pihak Bank Indonesia terkait amanat pembentukan lembaga pengawasan ini, bahkan dalam amandemen UU Nomor 23 tahun 1999, pembentukan lembaga ini kemudian diundur sampai 2010 dengan alasan kesiapan infrastruktur, pendanaan dan sumber daya manusia. Kesiapan bidang infrastruktur dan pendanaan menjadi alasan utama Bank Indoenesia yang menganggap pemerintah belum siap membentuk atau mengoperasionalkan sebuah lembaga super di bidang pengawasan sektor keuangan di Indonesia. Tarik ulur pembentukan badan pengawas menjadi lebih kencang karena pada tahun yang sama LOI antara pemerintah dan IMF akan segera berakhir.[7]
Di lain pihak, pemerintah menyikapi amanat undang-undang untuk membentuk lembaga pengawas ini dengan menyiapkan beberapa payung hukum. Pada saat pengajuan RUU bidang keuangan (tahun 2003), pemerintah telah menyertakan pula RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan di samping RUU untuk mengamandemen undang-undang bidang jasa finansial, seperti pasar modal, asuransi, dan dana pensiun. Meskipun yang lolos menjadi UU ternyata hanya amandemen UU tentang BI, yaitu UU No 3 Tahun 2004. Dari segi infrastruktur, pemerintah telah menyiapkan diri dengan memerger Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dengan Direktorat Lembaga Keuangan (DJLK) menjadi Bapepam LK.[8] Dari sisi pendanaan sendiri, kerugian Negara dari beban tanggungan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia akibat lemahnya pengawasan Bank Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan triliun secara tidak langsung menjawab keraguan pentingnya lembaga pengawasan sektor keuangan, guna mencegah kejadian dan kerugian yang sama. Munculnya kasus perbankan yang baru seperti kasus bank century dan beberapa perusahaan sekuritas kemudian makin mendorong kebutuhan percepatan pembentukan lembaga pengawasan sektor keuangan termasuk perbankan.
Pada tataran global, pro dan kontra pembentukan otoritas pengawas sektor keuangan yang terpisah dari otoritas moneter juga tidak terelakkan. Berbagai Negara menggunakan konsep dan praktik yang juga beragam, bahkan ada kecenderungan terjadinya perubahan konsep seiring dengan perubahan di sektor keuangan dunia yang makin dinamis. Di Inggris, konsep pemisahan dikembangkan dengan membentuk Financial Services Authority (FSA). Jepang pun melakukan hal serupa dengan membentuk Japan FSA. Sementara Australia membentuk Australian Prudential Regulatory Authority (APRA). Masih banyak negara maju maupun berkembang yang mengembangkan konsep serupa. Keberadaan badan ini dimaksudkan untuk dapat mengikuti perkembangan yang cepat pada sektor jasa keuangan, terutama dengan munculnya konglomerasi di sektor tersebut. Walaupun terdapat berbagai bentuk lembaga pengawasan, struktur OJK di Indonesia menggunakan pendekatan intergrated approach, di mana OJK mengawasi seluruh lembaga keuangan seperti halnya FSA di Inggris, di Australia dan di Korea Selatan. Sejarah menunjukkan gagalnya koordinasi dengan Bank of England (BoE) dalam penanganan Northern Rock. Di Korsel, FSA saat ini sedang dalam tekanan politik yang hebat agar pengawasan dikembalikan ke bank sentral akibat maraknya kasus korupsi. Tantangan ke depan OJK adalah agar masalah yang terjadi di Inggrsi dan Kore Selatan tidak berulang di Indonesia.
Namun demikian, terdapat argumen yang mendukung pengawasan bank tetap di tangan bank sentral adalah fungsi pengawasan bank membantu bank sentral menjalankan fungsinya dengan baik, karena bank sentral dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan secara cepat dan menyeluruh. Pengetahuan tentang keadaan dan kesehatan sistem perbankan dapat meningkatkan kualitas analisis dan prediksi kondisi keuangan yang dibuat oleh bank sentral. Alasan lainnya, yakni bisa mengantisipasi konflik kepentingan antarlembaga dan juga lebih ekonomis.[9] Mengingat otoritas moneter perlu melakukan transmisi kebijakan moneter melalui perbankan, maka kewenangan bank sentral untuk mengawasi bank akan memberi pemahaman yang mendalam bagi bank sentral tentang bagaimana perbankan akan bereaksi terhadap kebijakan moneter yang dibuatnya. Bahkan, bila terjadi krisis keuangan, peran bank sentral bertambah penting karena kebijakan di bidang moneter dan sistem pembayaran selalu menjadi solusi terbaik.[10]
Pro dan kontra terhadap pembentukan OJK, pada akhirnya berujung pada pengesahan UU tentang OJK pada tahun 2011 sebagai pelaksanaan amanat pasal 34 UU tentang BI Tahun 2004. Dalam Naskah Akademik Pembentukan OJK dinyatkan bahwa salah satu dasar pertimbangan pembentukan OJK adalah best practices di beberapa Negara dan memperhatikan model pengawasan industri jasa keuangan di berbagai negara di dunia.[11] Meskipun sangat beragam, namum model pengawasannya yang dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kelompok besar yaitu[12] :
1. Multi Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh lebih dari dua otoritas. Masing-masing industri jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnya diatur dan diawasi oleh masing-masing regulator yang berbeda. Model ini diterapkan oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat China.
2. Twin Peak Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh dua otoritas utama yang pembagiannya didasarkan pada aspek prudential dan aspek market conduct. Dalam model ini lembaga keuangan prudensial seperti bank dan perusahaan asuransi berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri, sedangkan perusahaan efek dan lembaga keuangan lainnya serta seluruh produk-produk jasa keuangan berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri pula. Model ini diterapkan oleh negara-negara seperti Australia dan Canada.
3. Unified Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh otoritas yang terintegrasi dibawah satu lembaga atau badan yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan mencakup perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya. Model ini mulai cenderung diterapkan di beberapa negara sejak tahun 1997. Yang pertama kali menerapkan model ini adalah Norwegia di tahun 1986. Sampai saat ini sudah lebih dari 30 negara menerapkan model ini. Model ini diterapkan oleh negara-negara yang sektor keuangannya cukup besar dan maju seperti antara lain Inggris, Jepang, Korea Selatan dan Jerman.
Kemudian berdasarkan berbagai pertimbangan pokok yang telah diuraikan di atas dan pengalaman krisis perbankan yang pernah terjadi di Indonesia serta struktur dan sistem keuangan yang saat ini berlaku, maka model pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang sangat sesuai dengan Indonesia adalah Unified Supervisory Model, yaitu suatu sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di dalam suatu lembaga tunggal yang disebut Otoritas Jasa Keuangan.
B. Peralihan Peran dan Fungsi Pengawasan Sektor Perbankan Kepada OJK
Kewenangan pengawasan sektor perbankan sebagai salah satu sektor bidang jasa keuangan secara otomatis beralih dari Bank Indonesia kepada OJK. Beberapa kewenangan pengawasan sektor perbankan yang semula berada di Bank Indonesia diatur dalam UU tentang BI kemudian dialihkan kepada OJK . Dalam Pasal 8 UU tentang BI ditentukan bahwa pengaturan dan pengawasan Bank merupakan salah satu tugas Bank Indonesia. Dalam rangka melaksanakan tugas ini, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakan pengawasan bank, serta mengenakan sanksi terhadap bank (Pasal 24). Selain itu, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehatihatian (Pasal 25). Kemudian terkait perizinan, dalam Pasal 26 ditegaskan Bank Indonesia memberikan dan mencabut izin usaha bank; memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank; memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank; memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi pengawasan langsung dan tidak langsung (Pasal 27). Bank Indonesia berwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dimana hal ini dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan (Pasal 28). Pemeriksaan terhadap bank dilakukan secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan dan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan (Pasal 29).
Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaaan terhadap bank (Psl. 30) Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan (Psl. 31). Dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Perbankan yang berlaku (Psl. 33).
Pengalihan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada OJK, dalam penjelasan Psal 34 UU tentang BI Tahun 1999 tidak termasuk tugas pengaturan bank serta tugas yang berkaitan dengan perizinan. Namun demikian dalam penjelasan pasal 34 pada UU tentang BI tahun 2004, pengecualian (pembatasan) ini tidak diatur atau dinyatakan dalam pasal perubahannya, sehingga dalam UU tentang OJK, aspek pengaturan termasuk di dalamnya perizinan menjadi wewenang OJK. Jika dikaitkan dengan Undang-Undang tentang Perbankan[13], maka fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal 53 Undang-Undang ini, beralih menjadi fungsi, tugas, dan wewenang OJK sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) UU tentang OJK.
Pasal 7 UU tentang OJK memberikan kewenangan kepada OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, yaitu:
a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
- 1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
- 2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi :
- likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
- laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
- sistem informasi debitur;
- pengujian kredit (credit testing); dan
- standar akuntansi bank;
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
- manajemen risiko;
- tata kelola bank;
- prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
- pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d. pemeriksaan bank.
Selain itu kewenangan mengenai pemberian perintah tertulis beralih dari Bank Indonesia kepada OJK sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 huruf d UU tentang OJK serta penetapan sanksi administratif kepada bank dan pihak terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannya beralih dari Bank Indonesia kepada OJK sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 huruf g. Demikian pula ketentuan Pasal 12 Undang-Undang tentang Perbankan, untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan menengah, kerjasama yang sebelumnya dilakukan oleh Bank Indonesia dengan pemerintah melalui Bank Umum juga beralih kepada OJK.
Selain peralihan kewenangan yang secara jelas diatur dalam UU tentang OJK, diatur pula hubungan kelembagaan dan kerjasama antar lembaga mengingat terdapat beberapa masalah yang sangat signifikan terkait proses peralihan ini. Namun demikian sebagaimana Bank Indonesia, OJK juga merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU tentang OJK.[14] Pengecualian ini sekalipun, seharusnya tidak mengurangi independensi OJK.
Pengawasan bank sendiri dibangun atas tiga pilar: regulasi, monitoring dan sanksi. Bila dianalogikan sebagai manusia: regulasi itu adalah badan, monitoring itu sebagai kepala (akal, mata dan telinga), dan penegakan hukum (sanksi) menjadi hati nuraninya. Agar efektif, kondisi ketiga elemen yang terintegrasi tersebut harus senantiasa dipelihara agar sehat (sound) dan difungsikan secara tepat (proper). Sistem perbankan itu sendiri dapat diibaratkan sebagai suatu bangunan yang bersendikan tiga pilar itu. Jika salah satu pilarnya lemah atau kurang kokoh, maka dia akan mudah rubuh dan mudah dimasuki atau disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.[15] Keberhasilan sebagai lembaga pengawas bank tidak akan berjalan dengan sendirinya hanya dengan reorganisasi atau pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral. Keberhasilan itu merupakan produk yang dikembangkan dari suatu filosofi orientasi-pasar yang fleksibel. Hanya dengan menjadi suatu lembaga yang berintegritas tinggi, dinamis, policy-driven, berkemampuan riset yang kuat, forward looking, dan market friendly serta senantiasa belajar (learning organization) pada akhirnya akan berhasil melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh rakyat dan menjadi lembaga yang kompeten dan independen. [16]
Istilah otoritas dalam penamaan lembaga pengawas sektor keuangan ini, pun untuk mencerminkan bahwa lembaga tersebut menjalankan fungsi pengaturan (regulasi) dan fungsi pengawasan (supervisi). Bila dibandingkan dengan konsep serupa di negara lain maka konsepsi struktur pengorganisasian OJK memiliki kesamaan dengan struktur pengorganisasian pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di Korea Selatan yang memisahkan fungsi pengaturan (regulator) yang dilakukan oleh Financial Services Commision dari fungsi pengawasan (supervisor) yang dilakukan oleh Financial Supervisory Service. Namun, OJK di Indonesia nantinya memisahkan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan di dalam satu organisasi dimana fungsi pengaturan akan dilaksanakan oleh Dewan Komisioner sedangkan fungsi pengawasan dilaksanakan oleh 3 (tiga) Pengawas yang berdiri sendiri yaitu Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal, dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank. Kesemuanya terintegrasi dalam satu organisasi OJK. Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi OJK melakukan pula fungsi pengawasan terhadap ketiga lembaga pengawas dimaksud. [17]
Khusus untuk pengawasan Perbankan, konsepsi model OJK di Indonesia memiliki kemiripan dengan model pengawasan perbankan yang diterapkan di Jerman di mana Bundesbank masih dapat melakukan pengawasan terhadap Perbankan bersama dengan Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht (BAFIN), demikian pula di Jepang di mana Bank of Japan juga masih dapat melakukan pengawasan terhadap Perbankan bersama dengan Japan Financial Services Agency (JFSA). Dengan demikian, di Indonesia nantinya, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dapat bersama-sama dengan OJK melaksanakan pengawasan terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada OJK, bahkan Bank Indonesia juga diperkenankan untuk bersama dengan OJK melakukan pemeriksaan lapangan di suatu bank (on site inspection). Selain itu, Bank Indonesia juga mendapatkan semua akses informasi tentang data perbankan di Indonesia.[18]
Hubungan kelembagaan antara OJK dengan Bank Indonesia (dan lembaga terkait lainnya), diatur dalam satu bab tersendiri dalam UU tentang OJK, hal ini sesuai perintah pasal 34 UU tentang BI.
C. Hubungan Kelembagaan Pengawas Sektor Perbankan dalam Perspektif UU tentang OJK
OJK sebagai lembaga otoritas yang dibentuk dari integrasi dua lembaga besar, yaitu Direktorat Pengatur dan Pengawas Perbankan BI dan Bapepam LK kementerian keuangan akan menghadapi beberapa persoalan teknis dalam pelaksanaan tugas dan wewenanganya sebagai akibat dari peralihan kewenangan dari lemabaga yang lama. Selain kendala kelambanan waktu, efektifitas lembaga dan cakupan wilayah kerja, OJK menghadapi permasalahan dalam mencapai model integrasi yang optimal karena peran dan kepentingan masing-masing cenderung berbeda yakni antara prinsip prudensial pada perbankan dan lembaga keuangan serta disclosure pada pasar modal.
Dalam penjelasan umum UU tentang OJK telah tampak adanya kesadaran preventif dari pembentuk UU ini terhadap masalah keterkaitan kewenangan OJK dengan beberapa otoritas lain seperti otoritas moneter dan otoritas fiscal. Hal ini tergambar antara lain dari struktur dan unsur kelembagaan dimana secara kelembagaan, OJK berada di luar pemerintah dan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah, Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah. Pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya. [19]
Dalam hal koordinasi makro, penambahan lembaga baru ini akan menambah jumlah anggota dalam forum pengambil kebijakan, khususnya di saat krisis. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Komite Koordinasi (KK) yang merupakan forum pengambilan keputusan di saat krisis yang sebelumnya hanya terdiri dari Bank Indonesia, Kementrian Keuangan, dan LPS akan bertambah dengan masuknya OJK hingga menjadi Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Penambahan anggota forum ini memiliki konsekuensi alotnya koordinasi di saat-saat genting, saat krisis. Penyatuan semua lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan dalam OJK diharapkan dapat memberikan perlakuan yang sama (the same level playing field) bagi seluruh sektor jasa keuangan. Penyatuan itu sekaligus diharapkan dapat meningkatkan efisiensi danmemudahkan koordinasi antar lembaga.[20]
Sebagaimana diketahui Bank Indonesia saat ini berperan sebagai pengawas perbankan sekaligus sebagai regulator di bidang moneter. Dengan struktur yang ada saat ini, Bank Indonesia berperan aktif dalam dua hal sekaligus,yaitu macro-prudential supervision dan micro-prudential supervision. Macroprudential supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas lembaga keuangan, khususnya perbankan, yang memiliki pengaruh signifikan pada sistem keuangan atau perekonomian. Di sisi lain, microprudential supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan, khususnya perbankan, dengan tujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu. Jika peran pengawasan sistem keuangan diberikan sepenuhnya kepada OJK sementara regulator moneter diemban oleh Bank Indonesia, maka akan muncul beberapa permasalahan antara lain:[21]
a. kemampuan OJk sebagai lembaga baru dengan kewenangan yang superpower di sektor jasa keuangan membutuhkan penyesuaian yang tidak sebentar;
b. koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia cenderung akan suboptimal, karena masing masing lembaga cenderung untuk fokus kepada tugas pokok fungsi masing-masing sementara seringkali tugas pokok fungsi masing-masing lembaga cenderungbertentangan;
c. lemahnya koordinasi dan pertukaran informasi antara OJK dan Bank Indonesia akan meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap krisis ekonomi, baik yang disebabkan oleh krisis moneter maupun krisis sistem keuangan;
d. fungsi lender of the last resort dari Bank Indonesia tidak akan optimal selama Bank Indonesia tidak memiliki informasi yang memadai tentang kondisi sistem keuangan di tingkat lembaga keuangan individual.
Hubungan kelembagaan antara OJK dengan Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan dalam konteks pengawasan terhadap sektor perbankan diatur dalam bab tersendiri yakni Bab X tentang hubungan Kelembagaan, terdapat pula beberapa pasal lain dalam UU tentang OJK yang pada akhirnya menghatur konsep hubungan kelembagaan terutama antara OJK dengan Bank Indonesia.
Terdapat beberapa Catatan kritis atas pengaturan hubungan kelembagaan antar kedua institusi tersebut, hal ini terkait dengan permasalahan yang telah didiskusikan pada bagian sebelumnya, yakni kekhawatiran kehadiran OJK yang mengambil fungsi pengawasan Bank Indonesia atas Bank-bank Umum, bertabrakan dengan fungsi pengaturan Bank Indonesia yang secara tidak langsung akan bersinggungan dengan fungsi pengawasan (macroprudential), kekhawatiran apakah kehadiran OJK sudah benar-benar merupakan kebutuhan atau justru hanya merupakan efouria karena trauma masa lalu sebagai dampak dari krisis perbankan yang berkepanjangan yang satu diantaranya karena tidak optimalnya fungsi pengawasan Bank Indonesia.[22]
Tampaknya kekhawatiran ini dicoba dijawab melalui penjelasan Pasal 7 UU tentang OJK yang menyebutkan bahwa ”Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan”.
Dari sisi teknik perancangan peraturan perundang-undangan, ketentuan ini kurang tepat jika dimasukkan sebagai penjelasan dari pasal 7, mengingat ketentuan penjelasan tersebut mengandung norma, yakni norma kewenangan. Ketentuan penjelasan tersebut sangat jelas merupakan norma pembagian kewenangan antara OJK dan Bank Indonesia. Pun masih tersisa persoalan karena tidak ada pembagian kategori yang jelas dari lingkup microprudential dan macroprudential. Seharusnya UU ini memberikan ketentuan yang jelas mengingat jika dirujuk pada teori dan praktik, terdapat pula cakupan yang lintas kategori atau bahkan beririsan antara yang microprudential dan macroprudential, belum ada pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut, apakah dikerjasamakan atau dikoordinasikan? atau seperti apa?pun dalam pasal kerjasama dan koordinasi masih tidak ada kejelasan seperti apa kewenangan macroprudential Bank Indonesia. Ketiadaan kejelasan ini dapat menimbulkan penafsiran yang beragam dan berakibat pada arah perubahan UU tentang perbankan dan UU perubahan tentang Bank Indonesia, dan justru akan menimbulkan tumpang tindih seperti kekhawatiran banyak pihak. Bahkan konstalasi politik pada saat Perubahan kedua UU tersebut bisa jadi lebih menentukan daripada konsistensi dan hamonisasi dengan UU tentang OJK.
Masalah penafsiran ini dapat dipicu dengan pemaknaan yang berbeda dari penjelasan pasal 7 yang berbunyi “Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia”, frasa “selain hal yang diatur dalam pasal ini”, memberikan kewenangan yang sangat luas dan tidak terbatas kepada Bank Indonesia terkait kewenangan pengawasan terhadap sektor perbankan. Selama bentuk pengawasan ini dapat dikategorikan sebagai pengawasan macroprudential, yang sekali lagi secara praktik dan teori tidak terdapat kesamaan persepsi tentang hal tersebut, membuat ketentuan penjelasan pasal 7 ini menjadi satu masalah tersendiri. Terlebih, ada bentuk kegiatan perbankan yang dinyatakan merupakan bagian pengawasan macroprudential dan microprudential secara bersamaan atau beririsan.
Terkait koordinasi kelembagaan, Pasal 39 UU tentang OJK menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:
- a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
- b. sistem informasi perbankan yang terpadu;
- c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;
- d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;
- e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan
- f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
UU tentang OJK mengamanatkan tata cara koordinasi antara OJK dan BI diatur bersama oleh kedua institusi dimaksud. Lebih lanjut, Pasal 40 dan Pasal 41 menyebutkan bahwa penilaian terhadap tingkat kesehatan bank merupakan kewenangan OJK sehingga dalam hal Bank Indoenesia melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya dalam lingkup macroprudential memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
Demikian pula dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia.[23] Ketentuan ini diperjelas dengan penjelasan pasal dimaksud yang menyatakan bahwa pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK. Namun, dalam hal Bank Indonesia melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important bank dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang macroprudential. Untuk kelancaran kegiatan pemeriksaan oleh Bank Indonesia, pemberitahuan secara tertulis dimaksud paling sedikit memuat tujuan, ruang lingkup, jangka waktu, dan mekanisme pemeriksaan.
Penjelasan pasal 40 tersebut pada hakikatnya mengandung norma pengaturan yang menguatkan norma pada pasal 40, kembali masalah “kegalauan” pembentuk undang-undang terhadap fakta bahwa akan terjadi benturan, irisan dan tumpang tindih kewenangan pengawasan sektor perbankan antara OJK dengan otoritas moneter (Bank Indonesia) sehingga setelah membuka peran Bank Indonesia dalam hal pemeriksaan langsung terhadap bank terkait dengan systemically important banking dan/atau bank lain dalam lingkup macroprudential , ditegaskan pada bagian awal penjelasan bahwa “ Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK”.
Sebagaimana Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK (Pasal 43). Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK. Lingkup pemeriksaan meliputi pemeriksaan premi, posisi simpanan bank, tingkat bunga, kredit macet dan tercatat, bank bermasalah, kualitas aset, dan kejahatan di sektor perbankan. Berbeda dengan irisan dengan otortitas moneter, terkait singgungan kewenangan OJK dan LPS, UU ini memberikan cakupan kewenangan pemeriksaan yang dilakukan LPS dengan cakupan yang jelas dan limitatif.
Secara sederhana dapat dilihat bahwa konsep dalam UU tentang OJK ini mencoba memotret pengawasan sektor keuangan yang dilaksanakan untuk memastikan pelaksanaan regulasi terkait sektor tersebut dimana secara umum, fungsi pengawasan sektor keuangan dibagi menjadi tiga yaitu: Macroprudential Supervision; Microprudential Supervision; dan Conduct of Business Supervision[24] dengan memetakan masing-masing kewenangan dari institusi pengawasan terkait.
Amanat yang juga sangat penting dari UU tentang OJK adalah kewajiban membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi oleh ketiga institusi pengawas sektor perbankan tersebut (OJK, Bank Indonesia, dan LPS),[25] meskipun pada prinsipnya OJK yang seharusnya membangun, memelihara dan mengembangkan sistem informasi sesuai dengan tugas dan kewenangnya. Yang dimaksud dengan sarana pertukaran informasi secara terintegrasi adalah bahwa sistem yang dibangun oleh OJK, Bank Indonesia, dan LPS saling terhubung satu sama lain, sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat (timely basis). Informasi tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia, LPS atau oleh OJK, dan informasi lain dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, ketiga lembaga pengawas ini juga membentuk suatu Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang protocol koordinasinya telah diatur dalam UU tentang OJK. Namun demikian Ketentuan mengenai protokol koordinasi hanya berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang mengenai jaring pengaman sistem keuangan (Pasal 69).
III. Penutup
Meskipun secara jelas dinyatakan bahwa pengawasan dan pengaturan sektor perbankan telah dialihkan kepada OJK namun UU tentang OJK mencoba mendesain sedemkian hubungan kelembagaan antar pengawas di sektor perbankan baik dari sisi microprudential supervision , macroprudential supervision maupun conduct of business supervision. Namun demikian beberapa pengaturan yang masih sumir dalam ketentuan UU tentang OJK dapat mengakibatkan munculnya penafsiran yang beragam terkait kewenangan pengawasan di sektor perbankan yang akan berakibat pada arah kebijakan dari berberapa Rancangan Undang-Undang di sektor perbankan seperi RUU Perubahan tentang Perbankan dan RUU Perubahan tentang bank Indoesia, selain juga pada peraturan pelaksanaan dari UU tentang OJK sendiri, dan beberapa peraturan bersama yang dimungkinkan untuk dilahirkan berdasarkan UU dimaksud. Sehingga harmonisasi semua perangkat hukum tersebut kemudian menjadi sangat penting.
Dalam hal ini ada empat hal yang perlu diperhatikan, yakni menjauhkan konflik kepentingan ekonomi politik jangka pendek dalam menyusun ketentuan perundang-undangan; mewaspadai keteledoran dalam perumusan detail dalam rangka mengantisipasi dampak negatif kebijakan yang dipilih; melakukan sinkronisasi dengan peraturan terkait; dan menghindarkan diri dari ketergesa-gesaan hanya karena harus memenuhi target waktu, karena hal itu hanya akan berakibat pada pembahasan substansi secara dangkal dan tidak matang.
Daftar Pustaka
Buku/Jurnal/artikel
- Abimanyu, Anggito, Tantangan OJK, (Ringkasan Makalah yang disampaikan kepada Pansel OJK), ditulis 08 April 2012, updated 24 April 2012
- Batunanggar, S., Strategi Pengawasan Bank Strategi Pengawasan Bank Yang Efektif,
- dimuat dengan (sedikit revisi) dalam Pengembangan Perbankan, Insitut Bankir Indonesia, Edisi No.78 Juli-Agustus 1999 dengan judul ‘Strategi Pengawasan Bank yang Efektif di Indonesia’
- Menimbang (Kembali) Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan, Senin, 22 Juni 2009 , diunduh pada tanggal 17 Juli 2012 dari http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/06/22/279/231503/menimbang-kembali-keberadaan-otoritas-jasa-keuangan
- Nasution, Bismar, Kajian Terhadap RUU Tentang OtoritasJasa Keuangan, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 2, Mei 2010
- Pramono, Nindyo, Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010
- Sitompul, Zulkarnaen, Pilars No.02/Th.VII/12-18 Januari 2004
- Theberge, Leonard J., Law and Economic Development, Journal of International Law and Policy, (Vol. 9, 1980)
- Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM & FE UI, “Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik”, (Draft III) 23 Agustus 2010.
- Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2010
- Triwahjana R, Rijanta, Otoritas Jasa Keuangan, (5 Februari 2008) diunduh pada tanggal 17 Juli 2012 dari http://klikeku.blogspot.com/2008/02/otoritas-jasa-keuangan.html
Peraturan Perundang-undangan
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Catatan kaki
[1] Tenaga Perancang Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI
[2] Bismar Nasution, Kajian Terhadap RUU Tentang OtoritasJasa Keuangan, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 2, Mei 2010 hal 5.
[3] Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, Journal of International Law and Policy, (Vol. 9, 1980) : 232, sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution, Ibid.
[4] Anggito Abimanyu, Tantangan OJK, (Ringkasan Makalah yang disampaikan kepada Pansel OJK), ditulis 08 April 2012, updated 24 April 2012
[5] Rijanta Triwahjana R, Otoritas Jasa Keuangan, (5 Februari 2008) diunduh pada tanggal 17 Juli 2012 dari http://klikeku.blogspot.com/2008/02/otoritas-jasa-keuangan.html
[6] ibid
[7] ibid
[8] Sebelumnya keduanya merupakan organisasi di bawah wewenang menteri keuangan dan dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, Bapepam, dan DJLK resmi bergabung menjadi Bapepam LK. [9] Konsep ini didukung oleh hasil penelitian Haubrich,Joseph G and Thomson, James B (2005) “Umbrella Supervision and the Role of the Central Bank”. Dengan menambahkan indikator tingkat kesehatan perbankan (yang bersifat rahasia) ke dalam suatu model, secara signifikan meningkatkan akurasi prediksi kondisi ekonomi yang dilakukan oleh bank sentral.
[10] Menimbang (Kembali) Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan, Senin, 22 Juni 2009 , diunduh pada tanggal 17 Juli 2012 dari http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/06/22/279/231503/menimbang-kembali-keberadaan-otoritas-jasa-keuangan
[11] Zulkarnaen Sitompul dalam Pilars No.02/Th.VII/12-18 Januari 2004 menyebutkan ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan UU tentang BI oleh DPR. Fungsi pengawasan perbankan yang tadinya dipegang oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral, kini dipisahkan mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank. Idenya datang dari konsultan asal Jerman. Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan.
[12] Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2010 hal 10-12
[13] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
[14] Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang OJK
[15] S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank Strategi Pengawasan Bank Yang Efektif,
dimuat dengan (sedikit revisi) dalam Pengembangan Perbankan, Insitut Bankir Indonesia, Edisi No.78 Juli-Agustus 1999 dengan judul ‘Strategi Pengawasan Bank yang Efektif di Indonesia’.
[16] Ibid
[17] Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Loc Cit.
18] Ibid
[19] Penjelasan Umum Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
[20] Anggito Abimanyu, Loc Cit.
[21] Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM & FE UI, “Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik”, (Draft III) 23 Agustus 2010, hal 4
[22] Nindyo Pramono, Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010
[23] Selengkapnya bunyi Pasal 40 dan 41 sebagai berikut: Pasal 40 (1) Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK. (2) Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. (3)Laporan hasil pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Pasal 41: (1) OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia.
[24] Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM & FE UI, Op Cit, hal 24
[25] Pasal 43 UU tentang OJK.
Anda berada di kesulitan keuangan? Apakah Anda ingin memulai bisnis Anda sendiri? Perusahaan pinjaman didirikan organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia dengan tujuan tunggal membantu orang miskin dan orang-orang dengan kesulitan keuangan yang hidup. Jika Anda ingin mengajukan pinjaman, kembali ke kami dengan rincian di bawah email: julietowenloancompany@gmail.com
BalasHapusNama lengkap:
jumlah pinjaman :
Pinjaman Durasi:
Pendapatan bulanan :
negara:
Seks:
Nomor telepon:
Tanggal lahir :
Terima kasih dan Tuhan memberkati
JULIETOWENLOANCOMPANY
(Julietowenloancompany@gmail.com)
Ibu Juliet