Senin, 18 Mei 2015

Landasan Hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah: Antara Ada dan Tiada

(Lack of Legal Basis for Regional Owned Enterprise Management)
Khopiatuziadah

dimuat dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.11 No.3 September 2014
Abstrak
Landasan hukum bagi beroperasinya BUMD pada hakikatnya masih merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Undang-Undang yang lahir pada masa demokrasi terpimpin ini belum digantikan hingga hari ini, meskipun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 telah mencabut Undang-Undang tersebut  dengan syarat terdapat pengaturan pengganti terkait BUMD. Ketidakjelasan landasan hukum bagi pengelolaan BUMD terjadi akibat tidak mutakhirnya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan politik dan dinamika legislasi saat ini. Hal ini disadari sepenuhnya oleh Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang dengan memasukkan rencana penggantian terhadap Undang-Undang tersebut dalam Prolegnas dua periode keanggotaan (2004-2009 dan 2010-2014). Namun wacana ini baru dapat diwujudkan pada akhir periode 2014, pun bukan dalam bentuk RUU pengganti namun penyisipan ketentuan mengenai BUMD dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Kata Kunci: perusahaan daerah, badan usaha milik daerah, pemerintah daerah.
Abstract
Legal basis for the regional owned enterprises (as called ROE/BUMD) basically refers to the Law number 5 year 1962 regarding regional enterprise. Until nowadays There is no amandment yet  towards this law that passed during guided democracy regim. In fact, there is the Law number 6 year 1969 which revoked such law with condition that there is an amandemnt and replacement  for ROE regulation. To the lack of a legal basis for the management of ROE is a result of old fashioned the law number 5 year 1962. It is not  in accordance with the political developments and the dynamics of the current legislation. This fact is fully realized by the Government and the House of Representatives as the embodiment of the law, then they insert a replacement plan for the Law in the National Legislation Program within two periods (2004-2009 and 2010-2014). However it can be created recently at the end of the period of 2014. It is actually not an amandment and substitute bill, but insertment of the regulation reganding ROE into the amandemnt of the Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Government.
Keywords:  regional company, regional owned enterprises, local/regional government
A.                Pendahuluan
1.             Latar Belakang
Pengaturan tentang perusahaan daerah yang sering disebut sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), pada hakikatnya masih merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah ( UU tentang Perusahaan Daerah). UU tentang Perusahaan Dearah ini kemudian  dicabut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2901) yang mencabut beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang materi muatannya dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi politik dan hukum itu.


Namun demikian ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 menyebutkan bahwa ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah tetap berlaku sampai dibentuknya undang-undang baru yang mengatur mengenai perusahaan daerah. Pada kenyataannya sampai sekarang belum dibentuk undang-undang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962.
Kondisi ini menimbulkan permasalahan legalitas bagi pengelolaan perusahaan daerah karena dasar hukum yang sekarang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, secara substansi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.  Berbagai undang-undang yang terkait dengan pengelolaan perusahaan daerah terutama undang-undang sektoral telah mengalami perkembangan yang sangat dinamis.  Hal ini menyebabkan materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah menjadi tidak ”up to date”dan tidak sesuai lagi dengan undang-undang terkait lainnya.
Ketertinggalan ini kemudian dalam praktiknya membuat pengelolaan perusahaan daerah menjadi tidak satu irama, perusahaan daerah  yang berbentuk perseroan  mengacu dan tunduk kepada Undang-Undang Nomor  40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Daerah yang dijadikan rujukan pengelolaan secara Bussines Life Corporation. Sedangkan Perusahaan Daerah yang tidak berbentuk  perseroan terbatas merujuk pada Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah setempat.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memiliki keterkaitan langsung telah mengalami banyak perubahan semenjak tahun 1965. Bahkan saat ini undang-undang  tersebut tengah dalam proses perubahan di lembaga legislatif. Beberapa undang-undang terkait juga telah mengalami perkembangan yang secara filosofis, yuridis dan terutama sosiologis mengalami perubahan pengaturan sesuai dengan kondisi politik hukum dan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat hari ini, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Udang  Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.


2.             Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini mencoba mengkaji dan menganalisa:
a.    apakah landasan yuridis bagi pengelolaan BUMD, yakni ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah masih relevan bagi pengelolaan perusahaan daerah saat ini?
b.   bagaimana sinkronisasi pengaturan pengelolaan BUMD dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dengan dinamika perubahan peraturan perundang-undangan terkait?
c.    bagaimana solusi menghadapi persoalan yuridis terkait pengaturan mengenai pengelolaan BUMD tersebut?
3.    Tujuan
Tulisan ini ditujukan guna mendapatkan jawaban atas permasalahan sebelumnya  yakni mendapatkan pengetahuan mengenai:
a.        relevansi  ketentuan dalam  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah bagi pengelolaan BUMD saat ini
b.        sinkronisasi pengaturan pengelolaan BUMD dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dengan dinamika perubahan peraturan perundang-undangan terkait
c.         solusi yang dapat ditawarkan menghadapi persoalan yuridis terkait pengaturan mengenai pengelolaan BUMD
4.             Metode Penulisan
Guna mencapai tujuan penulisan maka penulis melakukan kajian secara yuridis normatif terhadap berbagai literatur terkait pengelolaan perusahaan daerah, baik melalui kajian terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan terkait maupun literatur pendukung lainnya termasuk Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (RUU tentang Pemerintah Daerah) yang saat ini tengah dalam proses pembahasan tingkat  I di  DPR. Dalam kajian tersebut, penulis juga menganalisa data-data dari berbagai literatur dengan kondisi empiris pengelolaan perusahaan daerah saat ini, guna menemukan solusi bagi permasalahan yang telah diidentikasi pada bagian sebelumnya.
B.       Pembahasan
1.        Kerangka konseptual
Sesuai dengan  amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama Pasal 18 ayat (1) dan (2), Daerah memiliki hak dan kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah dan mengelola kekayaan daerah. Daerah memiliki kebebasan untuk mengatur, mengurus, dan mengoptimalkan segala potensi dari sumber daya yang dimiliki guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan, pemberdayaan, serta peningkatan daya saing daerah melalui pembangunan perekonomian dengan memperhatikan prinsip demokrasi, transparansi, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tercapainya kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan pembangunan di segala bidang yang sejalan dengan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam kerangka itulah setiap potensi daerah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat terutama di daerah yang bersangkutan. Pengaturan terhadap berbagai potensi daerah yang dinilai dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat tentunya perlu diatur secara komprehensif sehingga dapat memaksimalkan tujuan yang hendak dicapai dan meminimalisir efek-efek negatif yang mungkin timbul.
          Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada setiap daerah. Otonomi yang bertanggungjawab merupakan perwujudan  pertanggungjawaban atas konsekuensi dari  pemberian hak dan kewenangan kepada Kepala Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi yakni peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi dan pemerataan daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan.
Pelaksanaan otonomi daerah tentu saja mempengaruhi pola  keuangan daerah, pendapatan daerah yang sebelumnya lebih banyak dikirim ke Pemerintah Pusat, kini porsinya lebih banyak masuk ke kas daerah, namun sebaliknya kondisi ini juga berdampak terhadap pendapatan daerah yang memiliki sumber daya minim, yang selama ini biaya pembangunannya disubsidi oleh pemerintah pusat. Dalam hubungan ini, sebagai sumber-sumber penerimaan daerah keseluruhannya dalam pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ini adalah: (a) Pendapatan Asli Daerah; (b) Dana Perimbangan; (c) Pinjaman Daerah dan (d) Lain-lain Penerimaan yang sah. Sedangkan PAD tersebut bersumber dari: (a) hasil pajak daerah; (b) hasil retribusi daerah; (c) hasil perusahaan milik daerah dan hasil kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan (d) lain lain PAD yang sah.[1]
Pada dasarnya, setiap pemerintah daerah mempunyai potensi ekonomi tersendiri, salah satunya adalah Perusahaan Daerah atau BUMD yang keberadaannya saat ini masih dipandang sebelah mata, yang kadang-kadang malah dianggap sebagai beban bagi Pemerintah Daerah.  Keberadaan badan usaha yang mengelola kekayaan daerah sebagai salah satu penggerak pembangunan ekonomi Daerah belum memberikan sumbangan yang optimal bagi peningkatan pendapatan daerah pada khususnya dan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Seiring dengan tuntutan otonomi daerah, penyelenggaraan pembangunan perekonomian di daerah perlu merestrukturisasi berbagai badan usaha yang ada sehingga  mampu menjadi salah satu pelaku utama kegiatan perekonomian daerah melalui pengurusan, pelaporan dan pengawasan yang profesional dan berdasarkan demokrasi ekonomi.  Hal ini mengingat daya dukung sumber pendapatan daerah dalam menggantikan penerimaan yang diperoleh dari Pemerintah pusat merupakan salah satu isu strategis dari pelaksanaan otonomi daerah dan sebagai wujud kemandirian daerah dari segi pembiayaan pembangunan.
Visi serta misi dan fungsi sosial dari BUMD sendiri terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 yang dinyatakan sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan;  (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan mengenai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu BUMD dituntut agar dapat menggali potensi daerah dengan tujuan mendulang profit yang sebesar-besarnya dan mensejahterahkan masyarakat daerah dengan menempatkan manajemen BUMD yang professional, akuntabilitas, kredibilitas dan integritas.
Mengingat dipandang cukup pentingnya peran BUMD khususnya sebagai salah satu sumber PAD di Daerah, maka tentu saja BUMD dituntut agar lebih profesional dan lebih efisien dalam melaksanakan usahanya. Kebijakan dan upaya ke arah itu telah banyak dilakukan, namum karena berbagai kendala, ternyata BUMD pada umumnya, khususnya di luar PDAM dan BPD menunjukkan hasil yang belum menggembirakan. Hal ini tampak, antara lain, relatif masih kecilnya peran dan kontribusi laba BUMD dalam penerimaan PAD di daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.[2]
Komposisi bentuk BUMD dari Jumlah Total BUMD sejak tahun Maret 2011, sumber data BPKP 2012
Berdasarkan diagram yang bersumber dari Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri, kontribusi dari laba BUMD atau hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan masih merupakan sumbangan terkecil dalam komposisi PAD dari 535 Kabupaten/Kota di 2014.
Secara umum profil BUMD di Indonesia, digambarkan belum mampu memberikan kontribusi ke PAD pada sejumlah daerah karena merugi, bahkan beberapa daerah tidak memiliki BUMD. Peranan BUMD bagi Pemerintah Daerah tingkat Provinsi masih kecil. Provinsi masih bertumpu pada pajak daerah dan retribusi.  Prestasi yang mampu dicatat oleh BUMD-BUMD di seluruh Indonesia memang relatif ketinggalan dibandingkan dengan BUMN yang sama-sama dimiliki oleh pemerintah.
Dampak dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah  terhadap pengelolaan pemerintah daerah antara lain bahwa pemerintah daerah harus lebih bersikap profesional dalam pengelolaan daerahnya mengingat setiap daerah harus mampu  menghidupi kebutuhan daerahnya sendiri dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakatnya, sehingga perlu adanya identifikasi bentuk organisasi BUMD  yang sesuai dengan otonomi daerah.  BUMD diharapkan menjadi salah satu dari sumber pendapatan asli daerah yang sangat penting dan menjadi salah satu profit center bagi pemerintah daerah dan keberadaannya sebagai jantung bagi penggerak kegiatan di segala sektor yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Secara sosiologis, pentingnya pengaturan yang memadai guna mengatur dan merustrukturisasi BUMD terlihat dari banyaknya persoalaan yang muncul di berbagai daerah seputar BUMD. Persoalan ini sudah tidak dapat diakomodir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Kondisi dari mayoritas badan usaha saat ini yang dimiliki oleh daerah atau selama ini disebut sebagai perusahaan daerah setidaknya menunjukkan adanya pengelolaan yang kurang efektif.
Persoalan yang sering menjadi kendala antara lain terkait sumber daya manusia, managerial, modal dan pengawasan. Secara garis besar permasalahan-permasalahan tersebut dapat dikelompokkan pada beberapa hal yaitu: Pertama, masalah efisiensi. Kebanyakan BUMD di Indonesia beroperasi secara tidak efisien. Hal ini terjadi antara lain disebabkan oleh tidak profesionalnya pengelola dan pengelolaan BUMD sehingga banyak keputusan managerial yang diputuskan secara tidak professional seperti dalam hal investasi baru atau penentuan tarif sehingga  terjadi pemborosan dana.  Inefesiensi BUMD juga disebabkan oleh ketertinggalan pemanfaatan tekonologi. Penggunaan mesin-mesin peninggalan kolonial misalnya, justru menjadi beban bagi perusahaan daripada meningkatkan produktifitas, mengingat beban pemeliharaan mesin tidak sebanding dengan output yang diperoleh. [3]
  Kedua, masalah intervensi dan birokrasi. Besarnya campur tangan dan lambannya pemerintah daerah dalam mengantisipasi perubahan situasi dan kondisi bisnis merupakan penghambat kemajuan BUMD.  Keputusan bisnis baik yang bersifat strategis maupun keputusan-keputusan konvensional lainnya harus melalui proses birokrasi dan perijinan kepada pemerintah yang bisa dipastikan memakan waktu dan pada akhirnya mengganggu gerak perusahaan. [4] Dari aspek governance, misalnya, BUMD juga masih diperlakukan sama dengan institusi pemerintah. Padahal, BUMD bukanlah institusi pemerintah. Implikasinya, berbagai kewajiban yang melekat pada pemerintah, melekat pula pada BUMD. Sebagai contoh, BUMD masih harus mengikuti ketentuan pengadaan barang yang diberlakukan di pemerintahan, yang semestinya tidak perlu karena BUMD adalah perusahaan. [5]
Ketiga, pengendalian dan pengawasan. Selaku pemilik, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengawasi perkembangan BUMD-BUMD di wilayahnya. Kinerja pengawasan inipun seringkali menjadi kendala karena unsur yang berada dalam badan pengawasan adalah pejabat daerah yang  tidak dapat bekerja secara penuh untuk mengawasi dan mengendalikan perkembangan BUMD tersebut.[6]
         Keempat, permodalan. BUMD juga menghadapi masalah minimnya permodalan akibat kurangnya perhatian pemerintah daerah. Ironisnya, Pemerintah daerah yang memiliki perhatian lebih terhadap aspek permodalan, pun masih harus menghadapi ganjalan politik dari pihak legislative, sehingga proses penguatan permodalan BUMD menjadi tidak efisien. Setiap penyertaan modal harus dilakukan melalui Peraturan Daerah. Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam Pasal 75 dinyatakan:
 “Penyertaan modal pemerintah daerah dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah berkenaan”. 

Pada hakikatnya ketentuan ini sejalan dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan “Penyertaan modal pemerintah daerah pada perusahaan negara/daerah/swasta ditetapkan dengan peraturan daerah”. Mengacu pada Undang-Undang ini, memang sudah tepat bila setiap penyertaan modal Pemerintah daerah ke BUMD harus melalui Peraturan Daerah (yang berarti harus mendapat persetujuan DPRD). Namun terkadang ketentuan ini diinterpretasikan secara berlebihan dimana penyertaan modal ini harus diatur secara tersendiri dalam satu Perda khusus, sehingga tidak efisien. Padahal, bila dianalogikan, praktek penyertaan modal oleh pemerintah pusat di BUMN, tidak harus melalui mekanisme persetujuan tersendiri oleh DPR (atau tidak melalui Undang-Undang tersendiri). Praktek di tingkat pusat, setiap penyertaan modal pemerintah kepada BUMN ditetapkan secara bersama-sama dalam setiap pembahasan mengenai Undang-Undang tentang APBN, tidak dengan UU tersendiri. Setelah Undang-Undang tentang APBN disahkan, mekanisme penyertaan modal pemerintah pusat kepada BUMN ditetapkan melalui peraturan pemerintah yang tidak membutuhkan persetujuan DPR. [7]
Selain beberapa permasalahan managerial diatas, terdapat masalah klasik yang membelenggu kinerja sebagian BUMD, prinsip dasar peranan dan fungsi BUMD yang mengharuskan badan usaha menjalankan fungsi “public service obligation” sekaligus dengan fungsi “profit gained”. Pada praktiknya dualisme fungsi dan peranan ini merupakan kondisi yang sulit untuk diterapkan. Dilema inilah yang kemudian menjadi persoalan bagi sebagian besar BUMD. Terutama BUMD yang bergerak di bidang yang terkait dengan kebutuhan dasar masyarakat dan ditekankan untuk menjadi perusahaan yang melayani publik sementara secara managerial dan permodalan BUMD ini membutuhkan status sebagai perusahaan terbuka karena harus bersaing dengan perusahaan sejenis milik swasta. Sebagai contoh, PDAM yang mengalami kesulitan dengan peran “public service company” sementara perusahaan yang bergerak di bidang yang sama terus bergerak dengan tanpa ada beban kewajiban peayanan publik semata tetapi dikelola secara profesional dan mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Yang menarik, ketika ada konsep pembedaan bidang usaha antara perusahaan yang berorientasi pada profit dan perusahaan yang melayani kebutuhan dasar masyarakat (sebagaimana konsep yang tersirat dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara). Hal ini memunculkan wacana untuk mengkaji ulang barang atau benda mana yang dikategorikan sebagai “barang publik” atau barang privat.
Namun demikian, dalam pendirian suatu BUMD, penting juga untuk memperhatikan multiflier efek yang dihasilkan dalam memenuhi  kebutuhan rakyat banyak sebagai penjewatahan Pasal 33 UUD 1945, maka perusahaan yang bergerak dibidang listrik, air minum, dan kebutuhan masyarakat banyak, haruslah menjadi perhatian yang serius dari pemerintah.[8]  Seperti air minum, pada 5 tahun mendatang akan menjadi kebutuhan utama pada kota-kota besar. Pada praktiknya PDAM adalah contoh BUMD yang mempunyai fungsi pelayanan publik dominan sekaligus sumber dana pembangunan daerah. Pelaksanaan kedua fungsi tersebut justru menjadi distortif karena kesulitan untuk tetap menjalankan fungsi service padahal perlu menyesuaikan perkembangan biaya produksi. Pemerintah daerah sebagai pemilik perusahaan yang berkewajiban membina dan mengawasi terkadang cenderung eksploitatif dan menargetkan penerimaan APBD dari perusahaan daerah tanpa menghiraukan, apakah perusahaan untung atau rugi.
Dalam berbagai survei penilaian perusahaan misalnya dari sisi best brand, customer satisfaction, service excellent, good corporate governance, hampir tidak pernah dijumpai perusahaan-perusahaan milik daerah bisa menembus daftar 10 besar. Sementara itu, banyak BUMN-BUMN yang dahulu sering dianggap dikelola dengan tidak profesional, dalam beberapa tahun terakhir ini mampu menunjukkan kinerja positif dan berada pada urutan puncak. Dalam hal penerapan praktik pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG), selain Bank Pembangunan Daerah, BUMD umumnya relatif ketinggalan.[9] Padahal perusahaan yang mempunyai GCG yang baik akan mempunyai kinerja yang lebih baik.
Sejalan dengan gambaran diatas, terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi BUMD dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) lemahnya kemampuan manajemen perusahaan; (2) lemahnya kemampuan modal usaha;  (3) kondisi mesin dan peralatan yang sudah tua atau ketinggalan dibandingkan usaha lain yang sejenis; (4) lemahnya kemampuan pelayanan dan pemasaran sehingga sulit bersaing; (5) kurang adanya koordinasi antar BUMD khususnya dalam kaitannya dengan industri hulu maupun hilir; (6) kurangnya perhatian dan kemampuan atas pemeliharaan aset yang dimiliki, sehingga rendahnya produktivitas, serta mutu dan ketepatan hasil produksi; (7) besarnya beban administrasi, akibat relatif besarnya jumlah pegawai dengan kualitas yang rendah; dan (8) masih dipertahankannya BUMD yang merugi, dengan alasan menghindarkan PHK dan “kewajiban” pemberian pelayanan umum bagi masyarakat; (9) adanya berbagai kendala lain dalam pembinaan dan pengembangan usaha BUMD diantaranya adanya campur tangan pemerintah daerah yang cukup besar atas jalannya organisasi BUMD serta adanya keterbatasan kewenangan tertentu dalam operasionalisasi perusahaan.[10]
Adapun berdasarkan studi literatur dari BUMD di berbagai Negara, beberapa hal yang perlu diperhatikan guna perbaikan kondisi BUMD antaralain terkait pengaturan mekanisme kepemilikan BUMD, pengaturan untuk mengurangi korupsi dan intervensi oleh Pemerintah Daerah, ketentuan sumber pemodalan BUMD dan pengelolaan utang BUMD, ketentuan tentang sistem peningkatan kompetensi SDM BUMD, dan dukungan kerjasama dengan pihak ketiga. Pada intinya BUMD harus beroperasi dengan dasar hukum yang jelas dan didukung oleh mekanisme penegakannya sehingga dibutuhkan suatu prosedur operasi standar efisien.
2.        Kajian terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 dan Sinkronisasinya dengan Undang-Undang Terkait.
a.        Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah  diantaranya mengenai sifat, tujuan dan lapangan usaha BUMD, Pengawasan BUMD, Kepemilikan BUMD mengingat  perubahan dan perkembangan sistem pemerintahan, ketatanegaraan serta pengaruh era globalisasi maka  undang-undang sudah tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi nasional.
Sebagaimana disadari kondisi saat itu yang masih berada dalam semangat demokrasi/ekonomi terpimpin., perekonomian daerah belum terbangun dengan baik, penyediaan jasa kepentingan umum bagi masyarakat di daerah belum terselenggara dengan baik, dan ersaingan dunia usaha belum berkembang karena terbatasnya jumlah pelaku pasar.[11]
Mengingat perubahan dan perkembangan sistem pemerintahan, ketatanegaraan serta pengaruh era globalisasi maka undang-undang sudah tidak sesuai dengan perkembangan perekonomian saat ini. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 sudah tidak relevan dan kurang mampu mengakomodasi penyelenggaraan BUMD dan justru membuka celah salah kelola dan penyimpangan . Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962  yang dianggap perlu dievaluasi antara lain:
a.            dasar dan tatacara pendirian BUMD;
b.            bentuk BUMD yang memaksimalkan profit dan yang memaksimalkan pelayanan publik;
c.             kerjasama dengan pihak ketiga;
d.           mekanisme kepemilikan dan pengambilan keputusan BUMD;
e.            pengangkatan dan kewenangan direksi;
f.              perencanaan jangka panjang dan pendek perusahaan;
g.            pertanggungjawaban dan pengawasan BUMD;
h.            kepegawaian; dan
i.              kebijakan manajemen peningkatan kinerja BUMD: restrukturisasi dan lain-lain.
Pengaturan mengenai materi tersebut sudah tidak dapat mengikuti perkembangan ekonomi nasional yang semakin berkembang di tambah dengan arus globalisasi yang menuntut setiap daerah untuk dapat bersaing. Dengan kondisi seperti ini pengaturan mengenai BUMD harus ada pijakan hukum oleh karena itu Undang-Undang BUMD nantinya di bentuk untuk memenuhi asas ketertiban dan kepastian hukum bagi BUMD.
b.             Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1969
Undang-Undang ini mengatur mengenai pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tetapi dalam salah satu pasalnya di sebutkan bahwa selama belum ada undang-undang pengganti mengenai perusahaan daerah maka undang-undang yang lama masih berlaku. Melihat kondisi ekonomi yang berkembang, Udang-Undang Nomor 5 tahun 1962 sudah tidak dapat lagi mengakomodir perkembangan-perkembangan tersebut maka sangat di butuhkan undang-undang baru yang mengatur perusahaan daerah.
c.              Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Mengenai ketentuan yang berkaitan dengan APBD, pengelolaan barang milik daerah, pengguna barang milik daerah, pengelola Investasi Pemerintah Daerah dan persetujuan pemindahtanganan barang milik daerah dalam BUMD mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
d.            Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Pendekatan yang di gunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang di maksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kegiatan dan kebijakan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat di jadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang di miliki negara, dan atau di kuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah.
e.             Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Mengingat BUMD merupakan badan usaha yang serupa dengan BUMN, maka pengaturan mengenai BUMD banyak mengacu pada prinsip-prinsip yang ada dalam BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003. Prinsip-prinsip pengaturan yang paling signifikan adalah penerapan Good Coorporate Governance dalam pengelolaan BUMD sebagaimana yang telah berjalan di BUMN. Selain itu pembagian dua bentuk BUMD sesuai titik berat fungsi yang diemban BUMD sebagai public service oriented dan provit oriented, yakni berbentuk Perusahaan Daerah (Perusda) yang dianalogikan dengan Perusahaan Umum (Perum) di BUMN dan Perseroan Daerah (Perseroda) sebagaimana Persero (PT) di lingkungan BUMN.
f.                        Undang-Undang  Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Bentuk BUMD terdiri dari perusahaan daerah dan persero daerah (Perseroda), Pengaturan mengenai Perseroda mengacu pada Undang-Undang  Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas baik dari segi pembentukan, kepengurusan dan pembubarannya.
g.                      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa menangani urusan pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah juga diharapkan dapat meningkatkan penghasilan daerah dengan menggali potensi daerah yang ada. Salah satunya dengan dibentuknya BUMD untuk memanfaatkan sumber daya di daerah yang hasilnya diharapkan dapat meningkatkan PAD dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
h.             Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, Penyerahan, pelimpahan dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggungjawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Pendanaan penyelenggaraan pemerintah agar terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari APBD.
Pendapatan asli Daerah merupakan pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang memberi keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi
BUMD merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah dapat dikembangkan dengan memperhatikan potensi sumber daya yang ada di daerah. Dengan pengelolaan yang baik dan efisien diharapkan BUMD dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.
3.             Solusi bagi Ketidakjelasan Landasan Hukum Pengelolaan BUMD
Berdasarkan pada kajian dan evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 dan sinkronisasinya dengan berbagai undang-undang terkait, maka kita dapat melihat adanya kebutuhan hukum untuk mengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962.  Secara filosofis, sosiologis dan yuridis tampak adanya urgensi untuk membuat pengaturan yang baru terkait pengelolaan BUMD yang sesuai dengan konteks kekinian, baik dari sisi hukum maupun sisi praktik empiris.
Dari sisi substansi, dalam rangka revitalisasi BUMD perlunya adanya redefinisi BUMD agar menjadi perusahaan yang mendukung perekonomian daerah.  Dalam hal ini definisi yang paling mencakup adalah definisi yang sejalan dengan pengertian BUMN. Selain itu perlu peningkatan daya saing berfokus pada peluang pasar dan mekanisme pasar, peningkatan kerjasama dengan pemerintah daerah yang terkait, peningkatan kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan, penetapan peraturan yang mendukung kegiatan operasional BUMD serta optimalisasi Badan Pengawas.
Wacana penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 dengan sebuah undang-undang baru telah lama dikembangkan. Pada Prolegnas Jangka Panjang tahun 2005-2009, wacana ini diwujudkan dengan masuknya RUU tentang Perubahan/Penggantian atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 dalam daftar dengan nomor urut 128. Deputi Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR RI bahkan telah menyusun draft awal naskah akademik dan rancangan undang-undangnya, namun ternyata RUU ini tidak tersentuh sama sekali.
Pada periode keanggotaan DPR tahun 2010-1014, RUU ini kembali masuk dalam daftar panjang Prolegnas tahun 2010-2014 di nomor urut 55, dengan judul RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah yang ditetapkan akan diinisiasi oleh Pemerintah.
Menjelang akhir masa keanggotaan DPR tahun 2010-2014, dengan beberapa alasan kemudian Pemerintah memasukkan substansi RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah ke dalam RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Materi muatan mengenai BUMD dimasukkan ke dalam satu bab khusus. Berdasarkan perkembangan terakhir, Pada masa sidang III lalu RUU ini tengah dalam masa pembahasan tingkat I di DPR di tingkat pembahasan tim perumus.
Beberapa materi muatan pokok dalam Bab XI Tentang BUMD dalam RUU RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah meliputi:[12]
a.             Pendirian dan tujuan pendirian BUMD
Daerah dapat mendirikan BUMD, yang pendiriannya ditetapkan dengan Perda dan  didasarkan pada:
1).     kebutuhan daerah; dan
2).     kelayakan bidang usaha BUMD yang akan dibentuk. 
Pendirian BUMD bertujuan untuk:
1).     memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian daerah pada umumnya;
2).     menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan
3).     memperoleh laba dan/atau keuntungan.
b.      Sumber Modal BUMD
Sumber Modal BUMD terdiri atas:
1).     penyertaan modal daerah;
2).     pinjaman;
3).     hibah;   
4).     sumber lainnya, seperti:  kapitalisasi cadangan; keuntungan revaluasi aset; dan  agio saham.
c. Bentuk BUMD
BUMD terdiri atas perusahaan umum daerah dan perusahaan perseroan daerah.
1).      Perusahaan Umum Daerah
Perusahaan umum daerah adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu Daerah dan tidak terbagi atas saham. Dalam hal perusahaan umum daerah akan dimiliki oleh lebih dari satu Daerah, perusahaan umum daerah  tersebut harus merubah bentuk hukum menjadi perusahaan perseroan daerah. Perusahaan umum daerah dapat membentuk anak perusahaan dan/atau memiliki saham pada perusahaan lain.
Laba perusahaan umum daerah ditetapkan oleh kepala daerah selaku wakil daerah sebagai pemilik modal sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Laba perusahaan umum daerah yang menjadi hak daerah disetor ke kas daerah setelah disahkan oleh kepala daerah selaku wakil Daerah sebagai pemilik modal. Laba perusahaan umum daerah dapat ditahan atas persetujuan kepala daerah selaku wakil daerah sebagai pemilik modal dan dapat digunakan untuk keperluan investasi kembali (reinvestment) berupa penambahan, peningkatan dan perluasan prasarana dan sarana pelayanan fisik dan non fisik serta untuk peningkatan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanan umum, pelayanan dasar dan usaha perintisan.
 Perusahaan umum daerah dapat melakukan restruksturisasi untuk menyehatkan perusahaan umum daerah agar dapat beroperasi secara efisien, akuntabel, transparan, dan profesional. Perusahaan umum daerah dapat dibubarkan dan ditetapkan dengan Perda. Kekayaan perusahaan umum daerah yang telah dibubarkan dan menjadi hak daerah dikembalikan kepada Daerah.
2).     Perusahaan Perseroan Daerah
Perusahaan Perseroan Daerah adalah BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh satu Daerah yang  ditetapkan dengan Perda. Adapun  pembentukan badan hukumnya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas. Dalam hal pemegang saham perusahaan perseroan daerah  terdiri atas beberapa Daerah dan bukan Daerah, salah satu Daerah merupakan pemegang saham mayoritas. Dalam hal terjadi pengurangan porsi kepemilikan saham oleh Daerah yang memiliki saham mayoritas sehingga tidak ada satu Daerah yang memiliki saham mayoritas,  perusahaan perseroan daerah  menjadi perseroan terbatas.
Perusahaan perseroan daerah  dapat membentuk anak perusahaan dan atau memiliki saham pada perusahaan lain didasarkan atas analisa kelayakan investasi oleh analis investasi yang profesional dan independen.
Perusahaan perseroan daerah dapat dibubarkan dan  dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Kekayaan daerah hasil pembubaran perusahaan perseroan daerah  yang menjadi hak Daerah dikembalikan kepada Daerah.
d.            Pengelolaan BUMD
Pengelolaan BUMD paling kurang harus memenuhi unsur:
1)             tata cara penyertaan modal;
2)             organ dan kepegawaian;
3)             tata cara evaluasi;
4)             tata kelola perusahaan yang baik;
5)             perencanaan, pelaporan, pembinaan, pengawasan;
6)             kerjasama;
7)             penggunaan laba;
8)             penugasan Pemerintah Pusat;
9)             pinjaman;
10)         satuan pengawas intern, komite audit dan komite lainnya;
11)         penilaian tingkat kesehatan, restrukturisasi, privatisasi;
12)         perubahan bentuk hukum;
13)         kepailitan; dan
14)         penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
Kepala daerah dan/atau direksi BUMD  dilarang membuat kebijakan yang merugikan BUMD.
RUU ini juga mengamanatkan pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan menyatakan ketidakberlakuannya. Untuk peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut selama tidak bertentangan dengan ketentuan dalam RUU yang baru, maka dinyatakan tetap berlaku.


C.            Penutup
Berdasarkan kajian pada bagian pembahasan, penulis melihat bahwa ketidakjelasan landasan hukum bagi pengelolaan BUMD akibat tidak mutakhirnya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah sudah disadari sepenuhnya oleh Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang dengan memasukkan rencana penggantian terhadap Undang-Undang tersebut dalam Prolegnas dua periode (2004-2009 dan 2010-2014).
Namun baru pada akhir periode 2014 ini wacana ini diwujudkan, pun bukan dalam bentuk perubahan atau penggantian undang-undang, namun hanya menyisipkan materi pengaturan tentang BUMD dalam satu bab khusus dari RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Materi yang diatur dalam Bab tersebut tidak secara komprehensif mengatur dan menggantikan materi muatan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Pengaturan secara lebih dlanjut didelegasikan ke dalam Peraturan Pemerintah.
Tentu saja terdapat kekurangan dan kelebihan dari solusi yang dijalankan oleh pembentuk undang-undang saat ini. Dengan waktu yang sudah tidak memadai lagi, akan sulit jika mencoba membentuk RUU penggantian atau perubahan secara keseluruhan. Proses pembentukan undang-undang yang relatif tidak pendek, tidak memungkinkan pembentukan RUU tersebut pada periode keanggotaan saat ini. Namun dari sisi substansi, dengan materi pengaturan yang hanya memuat garis besar pengaturan dan memberikan delegasi kepada peraturan pemerintah untuk pengaturan lebih lanjut maka dikhawatirkan akan ada materi yang tidak atau belum terakomodir.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah memastikan bahwa peraturan pemerintah pelaksana dari ketentuan mengenai BUMD harus dapat mengakomodir berbagai hal yang belum terangkum dalam RUU sehingga tidak terjadi kekosongan pengaturan. Hal yang lebih penting adalah menyegerakan pembentukan peraturan pemerintah yang dimaksud setelah RUU disahkan menjadi undang-undang.

Daftar Pustaka
Buku/Makalah/Artikel/Website
Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah,”  Bahan Presentasi Kementerian Dalam Negeri Dalam  Diskusi Dengan Bagian Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang Setjen DPR RI, 21 Juli 2014
Andayani, Yusrizal., “BUMD, Antara Harapan dan Kenyataan” RIAU POS, Selasa, 27 Desember 2005
Kamaluddin,  Rustian.,Peran dan Pemberdayaan BUMD Dalam Rangka Peningkatan Perekonomian Daerah”, (Pokok- pokok pikiran dalam tulisan ini, naskah aslinya dalam bentuk dan analisis yang berbeda disusun dan disajikan pada Rapat Koordinasi Pemberdayaan BUMD oleh Depdagri dan Otda di Jakarta, 4 – 6 Desember 2000), Majalah Perencaan Pembangunan, Edisi 23 Tahun  2001
Sunarsip, “Membuka Belenggu BUMD”, Jawa Pos Group, Jum’at, 13 Maret 2009.
Taridi, Tirmidzi., “Menyehatkan BUMD dengan GCG” Bisnis Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008

Yulianto, Eko., “ BUMD: Potret Buram Perusahaan Daerah” Yogyakarta, 5 Juni 2000, diunduh dari http://kskkp.tripod.com/kelompokstudikeuangandankebijakanpublik/id9.html

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Undang-Undang Nomor  40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Draft RUU tentang Perubahan Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bahan Timus, Per Tanggal 23 Juni 2014.





[1] Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[2] Rustian Kamaluddin, “Peran dan Pemberdayaan BUMD Dalam Rangka Peningkatan Perekonomian Daerah”, (Pokok- pokok pikiran dalam tulisan ini, naskah aslinya dalam bentuk dan analisis yang berbeda disusun dan disajikan pada Rapat Koordinasi Pemberdayaan BUMD oleh Depdagri dan Otda di Jakarta, 4 – 6 Desember 2000), Majalah Perencaan Pembangunan, Edisi 23 Tahun  2001
[3] Eko Yulianto, “ BUMD: Potret Buram Perusahaan Daerah” Yogyakarta, 5 Juni 2000, diunduh dari http://kskkp.tripod.com/kelompokstudikeuangandankebijakanpublik/id9.html
[4] ibid
[5] Sunarsip, “Membuka Belenggu BUMD”, Jawa Pos Group, Jum’at, 13 Maret 2009.
[6] Eko Yulianto, Loc. Cit.
[7] Sunarsip, Loc Cit.
[8] Yusrizal Andayani, “BUMD, Antara Harapan dan Kenyataan” RIAU POS, Selasa, 27 Desember 2005
[9] Tirmidzi Taridi, “Menyehatkan BUMD dengan GCG” Bisnis Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008
[10] Rustian Kamaludin, Op cit., hal-8
[11]Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah, Bahan Presentasi Kementerian Dalam Negeri Dalam  Diskusi Dengan Bagian Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang Setjen Dpr Ri, 21 Juli 2014

[12] Draft RUU tentang Perubahan Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bahan Timus, Per Tanggal 23 Juni 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan komentar anda di sini. Untuk penggunaan referensi harap mencantumkan sumber.