(Lack of Legal Basis for Regional Owned Enterprise Management)
Khopiatuziadah
dimuat dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.11 No.3 September 2014
Abstrak
Landasan hukum bagi beroperasinya BUMD pada hakikatnya masih merujuk kepada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Undang-Undang yang
lahir pada masa demokrasi terpimpin ini belum digantikan hingga hari ini,
meskipun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 telah mencabut Undang-Undang
tersebut dengan syarat terdapat
pengaturan pengganti terkait BUMD. Ketidakjelasan landasan hukum bagi
pengelolaan BUMD terjadi akibat tidak mutakhirnya pengaturan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang sudah tidak sesuai dengan
perkembangan politik dan dinamika legislasi saat ini. Hal ini disadari
sepenuhnya oleh Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang dengan
memasukkan rencana penggantian terhadap Undang-Undang tersebut dalam Prolegnas
dua periode keanggotaan (2004-2009 dan 2010-2014). Namun wacana ini baru dapat
diwujudkan pada akhir periode 2014, pun bukan dalam bentuk RUU pengganti namun penyisipan
ketentuan mengenai BUMD dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Kata Kunci: perusahaan daerah, badan usaha milik daerah, pemerintah daerah.
Abstract
Legal basis for the regional owned enterprises (as called ROE/BUMD)
basically refers to the Law number 5 year 1962 regarding regional enterprise. Until
nowadays There is no amandment yet towards this law that passed during guided
democracy regim. In fact, there is the Law number 6 year 1969 which revoked
such law with condition that there is an amandemnt and replacement for ROE regulation. To the lack of a legal
basis for the management of ROE is a result of old fashioned the law number 5
year 1962. It is not in accordance with
the political developments and the dynamics of the current legislation. This
fact is fully realized by the Government and the House of Representatives as
the embodiment of the law, then they insert a replacement plan for the Law in the
National Legislation Program within two periods (2004-2009 and 2010-2014). However
it can be created recently at the end of the period of 2014. It is actually not
an amandment and substitute bill, but insertment of the regulation reganding ROE
into the amandemnt of the Law Number 32 Year 2004 regarding Regional
Government.
Keywords: regional company, regional
owned enterprises, local/regional government
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Pengaturan tentang perusahaan daerah yang sering disebut
sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), pada hakikatnya masih merujuk kepada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah ( UU tentang
Perusahaan Daerah). UU tentang Perusahaan Dearah ini kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan
Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Penjelasan dalam
Tambahan Lembaran Negara No. 2901)
yang mencabut beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang yang materi muatannya dianggap bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 atau sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi politik dan hukum
itu.
Namun demikian ketentuan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1969 menyebutkan bahwa ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah tetap berlaku sampai dibentuknya undang-undang baru yang mengatur
mengenai perusahaan daerah. Pada
kenyataannya sampai sekarang belum dibentuk undang-undang baru sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962.
Kondisi ini
menimbulkan permasalahan legalitas bagi pengelolaan perusahaan daerah karena
dasar hukum yang sekarang berlaku yakni Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, secara substansi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan
masyarakat. Berbagai undang-undang yang
terkait dengan pengelolaan perusahaan daerah terutama
undang-undang sektoral telah mengalami
perkembangan yang sangat dinamis. Hal
ini menyebabkan materi muatan dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah menjadi tidak ”up to date”dan
tidak sesuai lagi dengan undang-undang terkait lainnya.
Ketertinggalan ini
kemudian dalam praktiknya membuat pengelolaan perusahaan daerah menjadi tidak
satu irama, perusahaan daerah
yang berbentuk perseroan mengacu
dan tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Daerah yang dijadikan
rujukan pengelolaan secara Bussines Life Corporation. Sedangkan
Perusahaan Daerah yang tidak berbentuk
perseroan terbatas merujuk pada Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah setempat.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
memiliki keterkaitan langsung telah mengalami banyak perubahan semenjak tahun
1965. Bahkan saat ini undang-undang tersebut tengah dalam proses perubahan
di lembaga legislatif. Beberapa undang-undang terkait juga telah mengalami
perkembangan yang secara filosofis, yuridis dan terutama sosiologis mengalami
perubahan pengaturan sesuai dengan kondisi politik hukum dan perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat hari ini, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Udang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
2.
Permasalahan
Berdasarkan latar
belakang di atas, tulisan ini mencoba mengkaji dan menganalisa:
a.
apakah
landasan yuridis bagi pengelolaan BUMD, yakni ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah masih relevan bagi
pengelolaan perusahaan daerah saat ini?
b.
bagaimana sinkronisasi
pengaturan pengelolaan BUMD dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah dengan dinamika perubahan peraturan perundang-undangan
terkait?
c.
bagaimana solusi
menghadapi persoalan yuridis terkait pengaturan mengenai pengelolaan BUMD
tersebut?
3.
Tujuan
Tulisan ini ditujukan guna mendapatkan
jawaban atas permasalahan sebelumnya
yakni mendapatkan pengetahuan mengenai:
a.
relevansi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah bagi pengelolaan BUMD saat ini
b.
sinkronisasi pengaturan
pengelolaan BUMD dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan
Daerah dengan dinamika perubahan peraturan perundang-undangan terkait
c.
solusi yang dapat
ditawarkan menghadapi persoalan yuridis terkait pengaturan mengenai pengelolaan
BUMD
4.
Metode Penulisan
Guna mencapai tujuan penulisan maka penulis
melakukan kajian secara yuridis normatif terhadap berbagai literatur terkait
pengelolaan perusahaan daerah, baik melalui kajian terhadap berbagai ketentuan
peraturan perundang-undangan terkait maupun literatur pendukung lainnya
termasuk Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah (RUU tentang Pemerintah Daerah) yang saat ini tengah
dalam proses pembahasan tingkat I
di DPR. Dalam kajian tersebut, penulis
juga menganalisa data-data dari berbagai literatur dengan kondisi empiris
pengelolaan perusahaan daerah saat ini, guna menemukan solusi bagi permasalahan
yang telah diidentikasi pada bagian sebelumnya.
B.
Pembahasan
1.
Kerangka konseptual
Sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terutama Pasal 18 ayat (1) dan (2), Daerah
memiliki hak dan kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah dan mengelola
kekayaan daerah. Daerah memiliki kebebasan untuk mengatur, mengurus, dan
mengoptimalkan segala potensi dari sumber daya yang dimiliki guna mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kesejahteraan
masyarakat, peningkatan pendapatan, pemberdayaan, serta peningkatan daya saing
daerah melalui pembangunan perekonomian dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
transparansi, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tercapainya
kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan pembangunan di segala bidang yang
sejalan dengan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam kerangka itulah
setiap potensi daerah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat
terutama di daerah yang bersangkutan. Pengaturan terhadap berbagai potensi
daerah yang dinilai dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat tentunya perlu diatur secara komprehensif sehingga dapat memaksimalkan
tujuan yang hendak dicapai dan meminimalisir efek-efek negatif yang mungkin
timbul.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada setiap
daerah. Otonomi yang bertanggungjawab merupakan perwujudan pertanggungjawaban atas konsekuensi dari pemberian hak dan kewenangan kepada Kepala
Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi yakni peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi dan pemerataan
daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan.
Pelaksanaan
otonomi daerah tentu saja mempengaruhi pola
keuangan daerah, pendapatan daerah yang sebelumnya lebih banyak dikirim
ke Pemerintah Pusat, kini porsinya lebih banyak masuk ke kas daerah, namun
sebaliknya kondisi ini juga berdampak terhadap pendapatan daerah yang memiliki
sumber daya minim, yang selama ini biaya pembangunannya disubsidi oleh
pemerintah pusat. Dalam hubungan ini, sebagai sumber-sumber penerimaan daerah
keseluruhannya dalam pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ini adalah: (a)
Pendapatan Asli Daerah; (b) Dana Perimbangan; (c) Pinjaman Daerah dan (d)
Lain-lain Penerimaan yang sah. Sedangkan PAD tersebut bersumber dari: (a) hasil
pajak daerah; (b) hasil retribusi daerah; (c) hasil perusahaan milik daerah dan
hasil kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan (d) lain lain PAD yang sah.[1]
Pada
dasarnya, setiap pemerintah daerah mempunyai potensi ekonomi tersendiri, salah
satunya adalah Perusahaan Daerah atau BUMD yang keberadaannya saat ini masih
dipandang sebelah mata, yang kadang-kadang malah dianggap sebagai beban bagi
Pemerintah Daerah. Keberadaan badan
usaha yang mengelola kekayaan daerah sebagai salah satu penggerak pembangunan
ekonomi Daerah belum memberikan sumbangan yang optimal bagi peningkatan
pendapatan daerah pada khususnya dan kontribusi terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Seiring
dengan tuntutan otonomi daerah, penyelenggaraan pembangunan perekonomian di
daerah perlu merestrukturisasi berbagai badan usaha yang ada sehingga mampu menjadi salah satu pelaku utama
kegiatan perekonomian daerah melalui pengurusan, pelaporan dan pengawasan yang
profesional dan berdasarkan demokrasi ekonomi. Hal ini mengingat daya dukung sumber
pendapatan daerah dalam menggantikan penerimaan yang diperoleh dari Pemerintah
pusat merupakan salah satu isu strategis dari pelaksanaan otonomi daerah dan
sebagai wujud kemandirian daerah dari segi pembiayaan pembangunan.
Visi
serta misi dan fungsi sosial dari BUMD sendiri terkandung dalam Pasal 33 UUD
1945 yang dinyatakan sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan mengenai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu BUMD dituntut agar dapat
menggali potensi daerah dengan tujuan mendulang profit yang sebesar-besarnya
dan mensejahterahkan masyarakat daerah dengan menempatkan manajemen BUMD yang
professional, akuntabilitas, kredibilitas dan integritas.
Mengingat
dipandang cukup pentingnya peran BUMD khususnya sebagai salah satu sumber PAD
di Daerah, maka tentu saja BUMD dituntut agar lebih profesional dan lebih
efisien dalam melaksanakan usahanya. Kebijakan dan upaya ke arah itu telah
banyak dilakukan, namum karena berbagai kendala, ternyata BUMD pada umumnya,
khususnya di luar PDAM dan BPD menunjukkan hasil yang belum menggembirakan. Hal
ini tampak, antara lain, relatif masih kecilnya peran dan kontribusi laba BUMD
dalam penerimaan PAD di daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.[2]
Komposisi
bentuk BUMD dari Jumlah Total BUMD sejak tahun Maret 2011, sumber data BPKP
2012
Berdasarkan diagram yang bersumber dari Dirjen Keuangan
Daerah Kemendagri, kontribusi dari laba BUMD atau hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan masih merupakan sumbangan terkecil dalam komposisi PAD
dari 535 Kabupaten/Kota di 2014.
Secara umum profil BUMD di Indonesia, digambarkan
belum mampu memberikan kontribusi
ke PAD pada sejumlah daerah karena merugi, bahkan beberapa daerah tidak
memiliki BUMD. Peranan BUMD bagi Pemerintah Daerah tingkat Provinsi masih
kecil. Provinsi masih bertumpu pada pajak daerah dan retribusi. Prestasi yang
mampu dicatat oleh BUMD-BUMD di seluruh Indonesia memang relatif ketinggalan
dibandingkan dengan BUMN yang sama-sama dimiliki oleh pemerintah.
Dampak dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah terhadap
pengelolaan pemerintah daerah antara lain bahwa pemerintah daerah harus lebih
bersikap profesional dalam pengelolaan daerahnya mengingat setiap daerah harus
mampu menghidupi kebutuhan daerahnya
sendiri dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakatnya, sehingga
perlu adanya identifikasi bentuk organisasi BUMD yang sesuai dengan otonomi daerah. BUMD diharapkan menjadi salah satu dari
sumber pendapatan asli daerah yang sangat penting dan menjadi salah satu profit
center bagi pemerintah daerah dan keberadaannya sebagai jantung bagi penggerak
kegiatan di segala sektor yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Secara sosiologis, pentingnya pengaturan yang memadai
guna mengatur dan merustrukturisasi BUMD terlihat dari banyaknya persoalaan
yang muncul di berbagai daerah seputar BUMD. Persoalan ini sudah tidak dapat
diakomodir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
Kondisi dari mayoritas badan usaha saat ini yang dimiliki oleh daerah atau
selama ini disebut sebagai perusahaan daerah setidaknya menunjukkan adanya
pengelolaan yang kurang efektif.
Persoalan yang sering menjadi kendala antara lain
terkait sumber daya manusia, managerial, modal dan pengawasan. Secara garis
besar permasalahan-permasalahan tersebut dapat dikelompokkan pada beberapa hal
yaitu: Pertama, masalah
efisiensi. Kebanyakan BUMD di Indonesia beroperasi secara tidak efisien.
Hal ini terjadi antara lain disebabkan oleh tidak profesionalnya pengelola dan
pengelolaan BUMD sehingga banyak keputusan managerial yang diputuskan secara
tidak professional seperti dalam hal investasi baru atau penentuan tarif
sehingga terjadi pemborosan dana. Inefesiensi BUMD juga disebabkan oleh
ketertinggalan pemanfaatan tekonologi. Penggunaan mesin-mesin peninggalan
kolonial misalnya, justru menjadi beban bagi perusahaan daripada meningkatkan
produktifitas, mengingat beban pemeliharaan mesin tidak sebanding dengan output
yang diperoleh. [3]
Kedua, masalah intervensi dan birokrasi. Besarnya
campur tangan dan lambannya pemerintah daerah dalam mengantisipasi perubahan
situasi dan kondisi bisnis merupakan penghambat kemajuan BUMD. Keputusan bisnis baik yang bersifat strategis
maupun keputusan-keputusan konvensional lainnya harus melalui proses birokrasi
dan perijinan kepada pemerintah yang bisa dipastikan memakan waktu dan pada
akhirnya mengganggu gerak perusahaan. [4]
Dari aspek governance, misalnya, BUMD juga masih diperlakukan sama dengan
institusi pemerintah. Padahal, BUMD bukanlah institusi pemerintah.
Implikasinya, berbagai kewajiban yang melekat pada pemerintah, melekat pula
pada BUMD. Sebagai contoh, BUMD masih harus mengikuti ketentuan pengadaan
barang yang diberlakukan di pemerintahan, yang semestinya tidak perlu karena
BUMD adalah perusahaan. [5]
Ketiga, pengendalian dan pengawasan. Selaku
pemilik, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengawasi perkembangan
BUMD-BUMD di wilayahnya. Kinerja pengawasan inipun seringkali menjadi kendala
karena unsur yang berada dalam badan pengawasan adalah pejabat daerah yang tidak dapat bekerja secara penuh untuk
mengawasi dan mengendalikan perkembangan BUMD tersebut.[6]
Keempat,
permodalan. BUMD juga menghadapi masalah minimnya permodalan akibat kurangnya
perhatian pemerintah daerah. Ironisnya, Pemerintah daerah yang memiliki
perhatian lebih terhadap aspek permodalan, pun masih harus menghadapi ganjalan
politik dari pihak legislative, sehingga proses penguatan permodalan BUMD
menjadi tidak efisien. Setiap penyertaan modal harus dilakukan melalui
Peraturan Daerah. Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam Pasal 75 dinyatakan:
“Penyertaan modal pemerintah daerah dapat
dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan
telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah
berkenaan”.
Pada hakikatnya ketentuan ini sejalan dengan Pasal 41
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan
“Penyertaan modal pemerintah daerah pada perusahaan negara/daerah/swasta
ditetapkan dengan peraturan daerah”. Mengacu pada Undang-Undang ini, memang
sudah tepat bila setiap penyertaan modal Pemerintah daerah ke BUMD harus
melalui Peraturan Daerah (yang berarti harus mendapat persetujuan DPRD). Namun
terkadang ketentuan ini diinterpretasikan secara berlebihan dimana penyertaan
modal ini harus diatur secara tersendiri dalam satu Perda khusus, sehingga
tidak efisien. Padahal, bila dianalogikan, praktek penyertaan modal oleh
pemerintah pusat di BUMN, tidak harus melalui mekanisme persetujuan tersendiri
oleh DPR (atau tidak melalui Undang-Undang tersendiri). Praktek di tingkat
pusat, setiap penyertaan modal pemerintah kepada BUMN ditetapkan secara bersama-sama
dalam setiap pembahasan mengenai Undang-Undang tentang APBN, tidak dengan UU
tersendiri. Setelah Undang-Undang tentang APBN disahkan, mekanisme penyertaan
modal pemerintah pusat kepada BUMN ditetapkan melalui peraturan pemerintah yang
tidak membutuhkan persetujuan DPR. [7]
Selain beberapa permasalahan managerial diatas,
terdapat masalah klasik yang membelenggu kinerja sebagian BUMD, prinsip dasar
peranan dan fungsi BUMD yang mengharuskan badan usaha menjalankan fungsi “public service obligation” sekaligus
dengan fungsi “profit gained”. Pada
praktiknya dualisme fungsi dan peranan ini merupakan kondisi yang sulit untuk
diterapkan. Dilema inilah yang kemudian menjadi persoalan bagi sebagian besar
BUMD. Terutama BUMD yang bergerak di bidang yang terkait dengan kebutuhan dasar
masyarakat dan ditekankan untuk menjadi perusahaan yang melayani publik
sementara secara managerial dan permodalan BUMD ini membutuhkan status sebagai
perusahaan terbuka karena harus bersaing dengan perusahaan sejenis milik
swasta. Sebagai contoh, PDAM yang mengalami kesulitan dengan peran “public service company” sementara perusahaan yang bergerak di
bidang yang sama terus bergerak dengan tanpa ada beban kewajiban peayanan
publik semata tetapi dikelola secara profesional dan mencari keuntungan
sebesar-besarnya.
Yang menarik, ketika ada konsep pembedaan bidang usaha
antara perusahaan yang berorientasi pada profit dan perusahaan yang melayani
kebutuhan dasar masyarakat (sebagaimana konsep yang tersirat dalam
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara). Hal ini memunculkan
wacana untuk mengkaji ulang barang atau benda mana yang dikategorikan sebagai
“barang publik” atau barang privat.
Namun demikian, dalam pendirian suatu BUMD, penting
juga untuk memperhatikan multiflier efek yang dihasilkan dalam memenuhi kebutuhan rakyat banyak sebagai penjewatahan
Pasal 33 UUD 1945, maka perusahaan yang bergerak dibidang listrik, air minum,
dan kebutuhan masyarakat banyak, haruslah menjadi perhatian yang serius dari
pemerintah.[8] Seperti air minum, pada 5 tahun mendatang
akan menjadi kebutuhan utama pada kota-kota besar. Pada praktiknya PDAM adalah
contoh BUMD yang mempunyai fungsi pelayanan publik dominan sekaligus sumber
dana pembangunan daerah. Pelaksanaan kedua fungsi tersebut justru menjadi
distortif karena kesulitan untuk tetap menjalankan fungsi service padahal perlu
menyesuaikan perkembangan biaya produksi. Pemerintah daerah sebagai pemilik
perusahaan yang berkewajiban membina dan mengawasi terkadang cenderung
eksploitatif dan menargetkan penerimaan APBD dari perusahaan daerah tanpa
menghiraukan, apakah perusahaan untung atau rugi.
Dalam berbagai survei penilaian perusahaan misalnya
dari sisi best brand, customer
satisfaction, service excellent, good corporate governance, hampir tidak
pernah dijumpai perusahaan-perusahaan milik daerah bisa menembus daftar 10
besar. Sementara itu, banyak BUMN-BUMN yang dahulu sering dianggap dikelola
dengan tidak profesional, dalam beberapa tahun terakhir ini mampu menunjukkan
kinerja positif dan berada pada urutan puncak. Dalam hal penerapan praktik
pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG), selain Bank
Pembangunan Daerah, BUMD umumnya relatif ketinggalan.[9]
Padahal perusahaan yang mempunyai GCG yang baik akan mempunyai kinerja yang
lebih baik.
Sejalan dengan gambaran diatas, terdapat berbagai
permasalahan yang dihadapi BUMD dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) lemahnya
kemampuan manajemen perusahaan; (2) lemahnya kemampuan modal usaha; (3) kondisi mesin dan peralatan yang sudah
tua atau ketinggalan dibandingkan usaha lain yang sejenis; (4) lemahnya
kemampuan pelayanan dan pemasaran sehingga sulit bersaing; (5) kurang adanya
koordinasi antar BUMD khususnya dalam kaitannya dengan industri hulu maupun
hilir; (6) kurangnya perhatian dan kemampuan atas pemeliharaan aset yang
dimiliki, sehingga rendahnya produktivitas, serta mutu dan ketepatan hasil
produksi; (7) besarnya beban administrasi, akibat relatif besarnya jumlah
pegawai dengan kualitas yang rendah; dan (8) masih dipertahankannya BUMD yang
merugi, dengan alasan menghindarkan PHK dan “kewajiban” pemberian pelayanan
umum bagi masyarakat; (9) adanya berbagai kendala lain dalam pembinaan dan
pengembangan usaha BUMD diantaranya adanya campur tangan pemerintah daerah yang
cukup besar atas jalannya organisasi BUMD serta adanya keterbatasan kewenangan
tertentu dalam operasionalisasi perusahaan.[10]
Adapun berdasarkan studi literatur dari BUMD di
berbagai Negara, beberapa hal yang perlu diperhatikan guna perbaikan kondisi
BUMD antaralain terkait pengaturan
mekanisme kepemilikan BUMD, pengaturan untuk mengurangi korupsi dan intervensi
oleh Pemerintah Daerah, ketentuan sumber pemodalan BUMD dan pengelolaan utang
BUMD, ketentuan
tentang sistem peningkatan kompetensi SDM BUMD, dan dukungan kerjasama
dengan pihak ketiga. Pada intinya BUMD harus beroperasi dengan dasar hukum yang jelas dan
didukung oleh mekanisme penegakannya sehingga dibutuhkan suatu prosedur operasi
standar efisien.
2.
Kajian terhadap Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1962 dan Sinkronisasinya dengan Undang-Undang Terkait.
a.
Undang-Undang Nomor 5
tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
Hal-hal
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah diantaranya mengenai sifat, tujuan dan
lapangan usaha BUMD, Pengawasan BUMD, Kepemilikan BUMD mengingat perubahan dan perkembangan sistem
pemerintahan, ketatanegaraan serta pengaruh era globalisasi maka undang-undang sudah tidak sesuai dengan
perkembangan ekonomi nasional.
Sebagaimana disadari
kondisi saat itu yang masih berada dalam semangat demokrasi/ekonomi terpimpin., perekonomian daerah belum terbangun dengan baik, penyediaan
jasa kepentingan umum bagi masyarakat di daerah belum terselenggara dengan baik, dan ersaingan
dunia usaha belum berkembang karena terbatasnya jumlah pelaku pasar.[11]
Mengingat
perubahan dan perkembangan sistem pemerintahan, ketatanegaraan serta pengaruh
era globalisasi maka undang-undang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
perekonomian saat ini. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 sudah tidak
relevan dan kurang mampu mengakomodasi penyelenggaraan BUMD dan justru membuka
celah salah kelola dan penyimpangan . Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 yang
dianggap perlu dievaluasi antara lain:
a.
dasar
dan tatacara pendirian BUMD;
b.
bentuk
BUMD yang memaksimalkan profit dan yang memaksimalkan pelayanan publik;
c.
kerjasama
dengan pihak ketiga;
d.
mekanisme
kepemilikan dan pengambilan keputusan BUMD;
e.
pengangkatan
dan kewenangan direksi;
f.
perencanaan
jangka panjang dan pendek perusahaan;
g.
pertanggungjawaban
dan pengawasan BUMD;
h.
kepegawaian; dan
i.
kebijakan
manajemen peningkatan kinerja BUMD: restrukturisasi dan lain-lain.
Pengaturan mengenai materi tersebut sudah
tidak dapat mengikuti perkembangan ekonomi nasional yang semakin berkembang di
tambah dengan arus globalisasi yang menuntut setiap daerah untuk dapat
bersaing. Dengan kondisi seperti ini pengaturan mengenai BUMD harus ada pijakan
hukum oleh karena itu Undang-Undang BUMD nantinya di bentuk untuk memenuhi asas
ketertiban dan kepastian hukum bagi BUMD.
b.
Undang-Undang Nomor 37
Tahun 1969
Undang-Undang ini mengatur mengenai
pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tetapi dalam salah satu pasalnya di
sebutkan bahwa selama belum ada undang-undang pengganti mengenai perusahaan
daerah maka undang-undang yang lama masih berlaku. Melihat kondisi ekonomi yang
berkembang, Udang-Undang Nomor 5 tahun 1962 sudah tidak dapat lagi mengakomodir
perkembangan-perkembangan tersebut maka sangat di butuhkan undang-undang baru
yang mengatur perusahaan daerah.
c.
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Mengenai ketentuan yang berkaitan dengan
APBD, pengelolaan barang milik daerah, pengguna barang milik daerah, pengelola
Investasi Pemerintah Daerah dan persetujuan pemindahtanganan barang milik
daerah dalam BUMD mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
d.
Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Pendekatan yang di gunakan dalam merumuskan
Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek
yang di maksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kegiatan dan kebijakan dalam bidang
fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala
sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat di jadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi
subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh objek sebagaimana
tersebut di atas yang di miliki negara, dan atau di kuasai oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah.
e.
Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Mengingat BUMD merupakan badan usaha yang
serupa dengan BUMN, maka pengaturan mengenai BUMD banyak mengacu pada
prinsip-prinsip yang ada dalam BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003. Prinsip-prinsip pengaturan yang paling signifikan adalah
penerapan Good Coorporate Governance
dalam pengelolaan BUMD sebagaimana yang telah berjalan di BUMN. Selain itu
pembagian dua bentuk BUMD sesuai titik berat fungsi yang diemban BUMD sebagai public service oriented dan provit oriented, yakni berbentuk
Perusahaan Daerah (Perusda) yang dianalogikan dengan Perusahaan Umum (Perum) di
BUMN dan Perseroan Daerah (Perseroda) sebagaimana Persero (PT) di lingkungan
BUMN.
f.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
Bentuk BUMD terdiri dari perusahaan daerah dan persero daerah (Perseroda),
Pengaturan mengenai Perseroda mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas baik dari segi pembentukan,
kepengurusan dan pembubarannya.
g.
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip
otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa menangani urusan pemerintah dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang, dan senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan
demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan
daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab
adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan
tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian
utama dari tujuan nasional.
Dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi
daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam
masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah juga diharapkan dapat meningkatkan
penghasilan daerah dengan menggali potensi daerah yang ada. Salah satunya
dengan dibentuknya BUMD untuk memanfaatkan sumber daya di daerah yang hasilnya
diharapkan dapat meningkatkan PAD dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
daerah.
h.
Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah, Penyerahan, pelimpahan dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah
secara nyata dan bertanggungjawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian,
dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan antara
pemerintah dan pemerintahan daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Pendanaan penyelenggaraan pemerintah agar
terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih
ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari APBD.
Pendapatan asli Daerah merupakan pendapatan
Daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah, yang memberi keleluasaan kepada daerah dalam menggali
pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas
desentralisasi
BUMD merupakan salah satu sumber pendapatan
asli daerah dapat dikembangkan dengan memperhatikan potensi sumber daya yang
ada di daerah. Dengan pengelolaan yang baik dan efisien diharapkan BUMD dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.
3.
Solusi
bagi Ketidakjelasan
Landasan Hukum Pengelolaan BUMD
Berdasarkan pada kajian dan evaluasi terhadap
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 dan sinkronisasinya dengan berbagai
undang-undang terkait, maka kita dapat melihat adanya kebutuhan hukum untuk
mengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962.
Secara filosofis, sosiologis dan yuridis tampak adanya urgensi untuk
membuat pengaturan yang baru terkait pengelolaan BUMD yang sesuai dengan
konteks kekinian, baik dari sisi hukum maupun sisi praktik
empiris.
Dari sisi substansi, dalam rangka revitalisasi BUMD
perlunya adanya redefinisi BUMD
agar menjadi perusahaan yang mendukung perekonomian daerah. Dalam hal ini definisi yang paling mencakup
adalah definisi yang sejalan dengan pengertian BUMN. Selain itu perlu
peningkatan daya saing berfokus pada peluang pasar dan mekanisme pasar, peningkatan kerjasama dengan pemerintah daerah yang terkait,
peningkatan kualitas sumber daya
manusia secara keseluruhan, penetapan peraturan yang mendukung kegiatan
operasional BUMD serta optimalisasi Badan Pengawas.
Wacana penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 dengan sebuah undang-undang baru telah lama dikembangkan. Pada
Prolegnas Jangka Panjang tahun 2005-2009, wacana ini diwujudkan dengan masuknya
RUU tentang Perubahan/Penggantian atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 dalam
daftar dengan nomor urut 128. Deputi Perundang-undangan Sekretariat Jenderal
DPR RI bahkan telah menyusun draft awal naskah akademik dan rancangan
undang-undangnya, namun ternyata RUU ini tidak tersentuh sama sekali.
Pada periode keanggotaan DPR tahun 2010-1014, RUU
ini kembali masuk dalam daftar panjang Prolegnas tahun 2010-2014 di nomor urut
55, dengan judul RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah yang ditetapkan akan
diinisiasi oleh Pemerintah.
Menjelang akhir masa keanggotaan DPR tahun
2010-2014, dengan beberapa alasan kemudian Pemerintah memasukkan substansi RUU
tentang Badan Usaha Milik Daerah ke dalam RUU tentang Perubahan atas UU Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Materi muatan mengenai BUMD dimasukkan
ke dalam satu bab khusus. Berdasarkan perkembangan terakhir, Pada masa sidang
III lalu RUU ini tengah dalam masa pembahasan tingkat I di DPR di tingkat
pembahasan tim perumus.
Beberapa materi muatan pokok dalam Bab XI Tentang
BUMD dalam RUU RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah meliputi:[12]
a.
Pendirian
dan tujuan pendirian BUMD
Daerah
dapat mendirikan BUMD, yang pendiriannya ditetapkan dengan Perda dan didasarkan pada:
1). kebutuhan daerah; dan
2). kelayakan bidang usaha BUMD yang akan dibentuk.
Pendirian
BUMD bertujuan untuk:
1). memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian daerah pada
umumnya;
2). menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai
kondisi, karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata
kelola perusahaan yang baik; dan
3). memperoleh laba dan/atau keuntungan.
b.
Sumber Modal BUMD
Sumber
Modal BUMD terdiri atas:
1). penyertaan modal daerah;
2). pinjaman;
3). hibah;
4). sumber lainnya, seperti:
kapitalisasi cadangan; keuntungan revaluasi aset; dan agio saham.
c.
Bentuk BUMD
BUMD
terdiri atas perusahaan umum daerah dan perusahaan perseroan daerah.
1). Perusahaan
Umum Daerah
Perusahaan
umum daerah adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu Daerah dan
tidak terbagi atas saham. Dalam hal perusahaan umum daerah akan dimiliki oleh
lebih dari satu Daerah, perusahaan umum daerah
tersebut harus merubah bentuk hukum menjadi perusahaan perseroan daerah.
Perusahaan umum daerah dapat membentuk anak perusahaan dan/atau memiliki saham
pada perusahaan lain.
Laba
perusahaan umum daerah ditetapkan oleh kepala daerah selaku wakil daerah
sebagai pemilik modal sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan peraturan
perundang-undangan. Laba perusahaan umum daerah yang menjadi hak daerah disetor
ke kas daerah setelah disahkan oleh kepala daerah selaku wakil Daerah sebagai
pemilik modal. Laba perusahaan umum daerah dapat ditahan atas persetujuan
kepala daerah selaku wakil daerah sebagai pemilik modal dan dapat digunakan
untuk keperluan investasi kembali (reinvestment) berupa penambahan, peningkatan
dan perluasan prasarana dan sarana pelayanan fisik dan non fisik serta untuk
peningkatan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanan umum, pelayanan dasar
dan usaha perintisan.
Perusahaan umum daerah dapat melakukan
restruksturisasi untuk menyehatkan perusahaan umum daerah agar dapat beroperasi
secara efisien, akuntabel, transparan, dan profesional. Perusahaan umum daerah
dapat dibubarkan dan ditetapkan dengan Perda. Kekayaan perusahaan umum daerah
yang telah dibubarkan dan menjadi hak daerah dikembalikan kepada Daerah.
2). Perusahaan
Perseroan Daerah
Perusahaan
Perseroan Daerah adalah BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya
terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu
persen) sahamnya dimiliki oleh satu Daerah yang
ditetapkan dengan Perda. Adapun
pembentukan badan hukumnya dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan di bidang perseroan terbatas. Dalam hal pemegang saham
perusahaan perseroan daerah terdiri atas
beberapa Daerah dan bukan Daerah, salah satu Daerah merupakan pemegang saham
mayoritas. Dalam hal terjadi pengurangan porsi kepemilikan saham oleh Daerah
yang memiliki saham mayoritas sehingga tidak ada satu Daerah yang memiliki
saham mayoritas, perusahaan perseroan
daerah menjadi perseroan terbatas.
Perusahaan
perseroan daerah dapat membentuk anak
perusahaan dan atau memiliki saham pada perusahaan lain didasarkan atas analisa
kelayakan investasi oleh analis investasi yang profesional dan independen.
Perusahaan
perseroan daerah dapat dibubarkan dan
dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Kekayaan daerah hasil
pembubaran perusahaan perseroan daerah
yang menjadi hak Daerah dikembalikan kepada Daerah.
d.
Pengelolaan BUMD
Pengelolaan
BUMD paling kurang harus memenuhi unsur:
1)
tata cara penyertaan
modal;
2)
organ dan kepegawaian;
3)
tata cara evaluasi;
4)
tata kelola perusahaan
yang baik;
5)
perencanaan, pelaporan,
pembinaan, pengawasan;
6)
kerjasama;
7)
penggunaan laba;
8)
penugasan Pemerintah
Pusat;
9)
pinjaman;
10)
satuan pengawas intern,
komite audit dan komite lainnya;
11)
penilaian tingkat
kesehatan, restrukturisasi, privatisasi;
12)
perubahan bentuk hukum;
13)
kepailitan; dan
14)
penggabungan, peleburan,
dan pengambilalihan.
Kepala
daerah dan/atau direksi BUMD dilarang
membuat kebijakan yang merugikan BUMD.
RUU ini juga mengamanatkan pencabutan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan menyatakan ketidakberlakuannya.
Untuk peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut selama tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam RUU yang baru, maka dinyatakan tetap berlaku.
C.
Penutup
Berdasarkan kajian pada bagian pembahasan, penulis
melihat bahwa ketidakjelasan landasan hukum bagi pengelolaan BUMD akibat tidak
mutakhirnya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah sudah disadari sepenuhnya oleh Pemerintah dan DPR sebagai
pembentuk undang-undang dengan memasukkan rencana penggantian terhadap
Undang-Undang tersebut dalam Prolegnas dua periode (2004-2009 dan 2010-2014).
Namun baru pada akhir periode 2014 ini wacana ini
diwujudkan, pun bukan dalam bentuk perubahan atau penggantian undang-undang,
namun hanya menyisipkan materi pengaturan tentang BUMD dalam satu bab khusus
dari RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Materi yang diatur dalam Bab
tersebut tidak secara komprehensif mengatur dan menggantikan materi muatan yang
ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
Pengaturan secara lebih dlanjut didelegasikan ke dalam Peraturan Pemerintah.
Tentu saja terdapat kekurangan dan kelebihan dari solusi
yang dijalankan oleh pembentuk undang-undang saat ini. Dengan waktu yang sudah
tidak memadai lagi, akan sulit jika mencoba membentuk RUU penggantian atau
perubahan secara keseluruhan. Proses pembentukan undang-undang yang relatif
tidak pendek, tidak memungkinkan pembentukan RUU tersebut pada periode
keanggotaan saat ini. Namun dari sisi substansi, dengan materi pengaturan yang
hanya memuat garis besar pengaturan dan memberikan delegasi kepada peraturan
pemerintah untuk pengaturan lebih lanjut maka dikhawatirkan akan ada materi
yang tidak atau belum terakomodir.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah memastikan bahwa
peraturan pemerintah pelaksana dari ketentuan mengenai BUMD harus dapat
mengakomodir berbagai hal yang belum terangkum dalam RUU sehingga tidak terjadi
kekosongan pengaturan. Hal yang lebih penting adalah menyegerakan pembentukan
peraturan pemerintah yang dimaksud setelah RUU disahkan menjadi undang-undang.
Daftar Pustaka
Buku/Makalah/Artikel/Website
“Implementasi Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah,” Bahan
Presentasi Kementerian Dalam Negeri Dalam Diskusi Dengan Bagian Pengawasan
Pelaksanaan Undang-Undang Setjen DPR RI, 21 Juli 2014
Andayani, Yusrizal., “BUMD, Antara Harapan dan Kenyataan”
RIAU POS, Selasa, 27 Desember 2005
Kamaluddin, Rustian., “Peran dan Pemberdayaan
BUMD Dalam Rangka Peningkatan Perekonomian Daerah”, (Pokok- pokok pikiran dalam
tulisan ini, naskah aslinya dalam bentuk dan analisis yang berbeda disusun dan
disajikan pada Rapat Koordinasi Pemberdayaan BUMD oleh Depdagri dan Otda di
Jakarta, 4 – 6 Desember 2000), Majalah
Perencaan Pembangunan, Edisi 23 Tahun
2001
Sunarsip,
“Membuka Belenggu BUMD”, Jawa Pos Group, Jum’at, 13 Maret 2009.
Taridi, Tirmidzi.,
“Menyehatkan BUMD dengan GCG” Bisnis Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008
Yulianto, Eko.,
“
BUMD: Potret Buram Perusahaan Daerah” Yogyakarta, 5 Juni 2000,
diunduh dari http://kskkp.tripod.com/kelompokstudikeuangandankebijakanpublik/id9.html
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
Undang-Undang
Nomor 6
Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Draft
RUU tentang Perubahan Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
Bahan Timus, Per Tanggal 23 Juni 2014.
[2] Rustian Kamaluddin, “Peran dan Pemberdayaan BUMD Dalam Rangka
Peningkatan Perekonomian Daerah”, (Pokok- pokok pikiran dalam tulisan ini,
naskah aslinya dalam bentuk dan analisis yang berbeda disusun dan disajikan
pada Rapat Koordinasi Pemberdayaan BUMD oleh Depdagri dan Otda di Jakarta, 4 –
6 Desember 2000), Majalah Perencaan Pembangunan, Edisi 23
Tahun 2001
[3] Eko Yulianto, “ BUMD:
Potret Buram Perusahaan Daerah” Yogyakarta, 5 Juni 2000, diunduh dari http://kskkp.tripod.com/kelompokstudikeuangandankebijakanpublik/id9.html
[4] ibid
[5]
Sunarsip, “Membuka Belenggu BUMD”, Jawa Pos Group, Jum’at, 13 Maret 2009.
[6] Eko Yulianto, Loc. Cit.
[7] Sunarsip, Loc Cit.
[9]
Tirmidzi Taridi, “Menyehatkan BUMD dengan GCG” Bisnis Indonesia, Rabu, 23 Juli
2008
[10] Rustian Kamaludin, Op
cit., hal-8
[11]Implementasi Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah, Bahan
Presentasi Kementerian Dalam Negeri Dalam Diskusi Dengan Bagian Pengawasan
Pelaksanaan Undang-Undang Setjen Dpr Ri, 21 Juli 2014
[12] Draft RUU tentang
Perubahan Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bahan
Timus, Per Tanggal 23 Juni 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan komentar anda di sini. Untuk penggunaan referensi harap mencantumkan sumber.