Minggu, 02 Februari 2014

Prospek Penegakan Hukum di Laut Indonesia Melalui Rancangan Undang-Undang tentang Kelautan

Tulisan ini dimuat dalam Jurnal legislasi Indonesia Vol. 7 No.3 - Oktober 2010

Abstract

The bill of sea consists of various stipulations regarding the complexity of related marine areas. In addition to regulate new provisions in term of the development of the marine sector in Indonesia, in fact the bill is significantly interrelated to the existing laws on the related marine issues. Therefore, the bill should be synchronized with the existing laws to prevent an overlap regulation. The bill furthermore could be a comprehensive law in favor of the law enforcement in the Indonesian sea. Another important aspect is an integrated stipulation regarding authority in support of the law enforcement of the sea considering there many institutions mandated by many laws whose authority to enforce the law in the Indonesian sea.

Keywords: sea, the bill of sea, law enforcement

Abstraksi


Substansi pengaturan dalam RUU tentang Kelautan mencakup berbagai persoalan di bidang kelautan yang sangat kompleks dan terkait dengan berbagai sektor. Selain mengatur hal-hal baru yang membutuhkan pengaturan dalam rangka pembangunan kelautan di Indonesia, RUU ini sangat erat terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang sudah ada. Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan tersebut merupakan hal yang sangat penting dan signifikan guna menghindari tumpang tindih serta menyinegrikan penegakan hukum di laut Indonesia dalam satu peraturan yang komprehensif. Sinergi ini juga harus dilakukan terhadap aspek kelembagaan aparat penegak hukum di laut yang saat ini masih belum terintegrasi antar aparat penegak hukum yang mendapat kewenangan dari berbagai peraturan perundangan lainnya.

Kata kunci: laut, RUU tentang Kelautan, penegakan hukum.

I. Pendahuluan

Indonesia sebagai Negara kepulauan yang dikelilingi lautan dan memiliki perbatasan laut dengan negara-negara tetangga memikul sebuah tugas berat dalam menjaga kedaulatan wilayah laut. Tentu belum hilang dari ingatan kita lepasnya pulau Ligitan dan Sipadan serta memanasnya kasus Ambalat. Kasus terakhir adalah penahanan para petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia oleh Polis Maritim Malaysia yang menggungah kembali kesadaran bangsa Indonesia betapa lemahnya penegakan hukum laut kita.

Pada hakikatnya, ini bukan semata-mata persoalan kedaulatan, karena permasalahan ini terkait dan berkelindan dengan berbagai isu lainnya, isu ekonomi, sosial bahkan politik. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia , sumber daya laut baik hayati maupun non hayati merupakan aset yang sangat berharga dan mengandung potensi ekonomi yang sangat signifikan bagi kesejahteraan masyarakat jika mampu dijaga, dikelola, dan dimanfaatkan secara baik dan bertanggungjawab.


Permasalahan lain yang menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia dalam upaya penegakan hukum di laut adalah tumpang tindih tugas pokok dan fungsi masing-masing aparat penegak hukum di laut. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada pihak penegak hukum yang berbeda-beda dalam menjalankan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia, antara lain Undang-Undang tentang Kepabeanan, Undang-Undang tentang Perikanan, Undang-Undang tentang TNI dan Undang-Undang tentang POLRI. Disharmonisasi ini menimbulkan masalah tersendiri, terutama terkait dengan sejauh mana masing-masing penegak hukum menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.

Terkait dengan adanya tumpang tindih pengaturan hukum dan kelembagaan di laut, Dewan kelautan Indonesia (2009) melakukan pengkajian terhadap hal tersebut yakni: pertama, melakukan sinkronisasi dan harmoniasi peraturan perundangan yang berlaku yang selama ini tumpang tindih. Kedua, mengkompilasi terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada. Semua peraturan perundang-undangan di laut dihimpun agar lebih memudahkan dalam acuan penegakan hukum di laut. Ketiga, membuat data base peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1] Dirumuskannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kelautan salah satunya ditujukan untuk menyinergikan kebijakan berkaitan dengan sektor kelautan serta koordinasi lintas sektoral dalam penanganan laut.

Tulisan ini akan mencoba mendeskripsikan secara analitis tentang sejauh mana prospek penegakan hukum di laut Indonesia melalui pembentukan RUU tentang Kelautan. Sebagaimana diketahui aspek aturan atau sumber hukum (tertulis) merupakan salah satu faktor penting dalam rangka penegakan hukum secara keseluruhan. RUU tentang Kelautan, sesungguhnya merupakan salah satu RUU yang diagendakan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005-2009, namun ternyata tidak terselesaikan pada periode 2005-2009. RUU ini kembali ditetapkan dalam Prolegnas 2010-2014 bahkan masuk dalam prioritas Prolegnas 2010 dengan harapan mampu menjawab berbagai persoalan di sektor kelautan diantaranya terkait perikanan, pertambangan, pelayaran, industri kelautan, pariwisata, penegakan kedaulatan, dan perlindungan laut.


II. Konsep Penegakan Hukum


Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Hukum se­ba­gai suatu kesatuan sistem mengandung beberapa elemen yakni: (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (ele­men instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hu­kum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural).[2] Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau pene­rapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan per­adil­an atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Elemen ketiga merupakan bentuk penegakan hukum dalam arti sempit. [3]


Penegakan hukum dalam arti luas merupakan suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari subyeknya, penegakan hukum dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum yang melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Penegakan hukum dalam arti sempit, dari segi subyeknya dapat diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.[4]


Pengertian penegakan hukum dapat ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya, dalam hal ini pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Penegakan hukum dalam arti luas mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalam aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Penegakan hukum dalam arti sempit hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Pembedaan antara aturan formal hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya juga muncul dalam bahasa inggris, yaitu dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” . Istilah “ the rule of law” mengandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam arti formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.[5]


Beberapa faktor yang penting dalam rangka penegakan hukum adalah faktor aparat penegak hukum, faktor hukum sebagai suatu aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, faktor fasilitas pendukung yang mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya, serta faktor masyarakat sebagai unsur terpenting karena asal dan tujuan dari penegakan hukum adalah kenyamanan dan kedamaian dalam masyarakat. Jadi, penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. [6]


Terkait dengan ruang lingkup dan fokus dalam tulisan ini, - yakni melihat sejauh mana prospek penegakan hukum di laut Indoesaia dalam RUU tentang Kelautan - salah satu aspek yang penting bagi berjalannya suatu proses penegakan hukum adalah adanya dasar hukum atau aturan hukum yang memadai dan jelas bagi para aparatur hukum maupun bagi subyek hukum untuk dapat mengimplementasikan hukum dimaksud. Setidaknya terdapat 3 (tiga) elemen penting yang mempengaruhi mekanisme bekerjanya aparatur penegak hukum, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat diwujudkan secara nyata.[7]


III. Urgensi RUU tentang Kelautan bagi Penegakan Hukum Laut di Indonesia


Secara filosofis dirumuskannya RUU tentang Kelautan didasari oleh pemikiran bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara memiliki sumber daya alam yang melimpah wajib dipertahankan, dimanfaatkan sebesar-besarnya, serta dikelola secara berkelanjutan dan terpadu untuk kemakmuran rakyat Indonesia sesuai dengan tujuan pembangunan nasional sebagaiman tercantum dalam pembukaan UUD Tahun 1945. Pasal 25 A UUD Tahun 1945 menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang.“


Wilayah laut merupakan bagian terbesar dari wilayah Indonesia memiliki posisi dan nilai strategis secara politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, ekologi, belum dimanfaatkan dan dikelola secara baik sehingga Indonesia harus memiliki visi pembangunan kelautan bagi kepentingan pembangunan nasional yang ditujukan untuk: a. mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara; b. menciptakan laut yang lestari, aman, serta teridentifikasi sumberdaya lautnya, dalam wilayah dan yurisdiksi nasional dan diluar yurisdiksi nasional; c. memanfaatkan sumberdaya kelautan dan kekayaan laut dalam yurisdksi Negara Kesatuan Republik Indonesia, laut lepas/laut bebas dan dasar samudera dalam, secara berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang; d. menciptakan sumberdaya manusia kelautan yang profesional, beretika, berdedikasi, dan mampu mendukung pembangunan kelautan secara optimal; e. membentuk pemerintahan yang berorientasi pada pembangunan kelautan bagi kepentingan pembangunan nasional (oceans governance); f. mengembangkan budaya dan atau pengetahuan kebaharian bagi masyarakat untuk menumbuhkan pembangunan yang berorientasi kelautan.[8] Tujuan pembangunan kelautan ini akan sangat bergantung pada penegakan hukum di laut Indonesia.


Ciri nusantara dari NKRI memiliki landasan historis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun diatas tiga pilar utama. Pilar pertama adalah Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menyatakan Kesatuan Kejiwaan kebangsaan Indonesia. Pilar yang kedua adalah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 1 7 Agustus 1945, yang telah menjadi satu bangsa, hidup dalam satu Kesatuan Kenegaraan. Pilar yang ketiga yaitu Kesatuan Kewilayahan melalui Deklarasi Djuanda tahun 1957, Deklarasi Djuanda lahir berdasarkan pertimbangan geografis, ekonomis, pertahanan, keamanan, politis dan sosial. Konsep negara kepulauan yang dijadikan dasar penetapan garis dasar, diperjuangkan dan berhasil disepakati pada Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut.[9]


Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil laut dari garis pantai (Coastal baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 dalam Soewito et al 2000). Namun ketetapan batas tersebut, yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara (Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957.[10] Dekralasi Juanda menegaskan bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.[11]


Ketetapan wilayah Republik Indonesia yang semula sekitar 2 juta km2 (daratan) berkembang menjadi sekitar 5,1 juta km2 (meliputi daratan dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan luas sebesar sekitar 3,1 juta km2, dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2 dan perairan laut nusantara sekitar 2,8 juta km2. Konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. IV tahun 1973.


Pada konferensi hukum laut di Geneva tahun 1958, Indonesia belum berhasil mendapatkan pengakuan internasional. Baru pada konferensi hukum laut pada sidang ke tujuh di Geneva tahun 1978. Konsepsi Wawasan Nusantara mendapat pengakuan dunia internasional. Hasil perjuangan yang berat selama sekitar 21 tahun mengisyaratkan kepada bangsa Indonesia bahwa visi maritim seharusnya merupakan pilihan yang tepat dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[12]


Melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982, negara-negara kepulauan (Archipelagic states) memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Eksklusif seluas 200 mil laut diluar wilayahnya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai hak mengelola (yurisdiksi) terhadap Zona Ekonomi Eksklusif, meskipun baru meratifikasinya. Hal itu kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). [13]


Pengaturan di bidang kelautan selama ini diatur dalam beberapa undang-undang yang terpisah, sektoral, kurang tegas dan tumpang tindih sehingga membingungkan pelaksanaannya di lapangan. Oleh karena itu, RUU tentang Kelautan diharapkan dapat berperan sebagai perekat dan penyelaras undang-undang yang telah ada sebelumnya serta mengisi kekosongan pengaturan yang telah ada dalam beberapa undang-undang sebelumnya, sehingga keseluruhan aspek kelautan dapat diatur secara komprehensif.


Setidaknya ada 5 (lima) undang-undang terkait dengan penarikan batas wilayah negara yang harus menjadi bahan sinkronisasi dari RUU Kelautan, yakni: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indoensia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Adapun undang-undnag yang terakit dengan pengelolaan sumber daya dan lingkungan di laut antara lain Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Dalam undang-undang tersebut diatur pula aparat penegak hukum terkait dengan masing-masing bidang. Selain itu aparat penegakan hukum di laut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeaanan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, Undang –Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.


Adanya kepastian penegakan hukum di laut merupakan sesuatu yang mutlak bagi tercapainya kedaulatan, keamanan dan kenyamanan bagi seluruh masyarakat. Kondisi ini penting secara sosiologis karena keamanan laut bisa diwujudkan dengan penegakan kedaulatan dan penegakan hukum di laut. Disamping itu, keamanan laut juga mengandung pengertian bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh pengguna dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktivitas pemanfaatan laut. Hal ini juga penting bagi pengembangan usaha dan perekonomian yang berbasis dan berhubungan dengan laut. Banyaknya aparat penegak hukum dan berbagai aturan hukum di laut yang tidak harmonis merugikan pelaku usaha di laut dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.


Sejatinya, pembangunan hukum bidang kelautan tidak semata-mata terkait dengan pengaturan dan pengelolaan batas wilayah (laut) Indonesia, namun juga dititikberatkan pada pengelolaan sumber daya dan lingkungan serta pengaturan lembaga penegak hukum. [14] Beberapa materi muatan yang menjadi pokok pengaturan dalam RUU ini antara lain: pengaturan kewilayahan laut, pembangunan dan arah pengelolaan kelautan, sumberdaya manusia kelautan dan budaya kelautan, data dan system informasi kelautan, penataan ruang kelautan, leingkungan hidup dan konservasi laut, penegakan kedaulatan, hukum, keamanan dan keselamatan di laut, penelitian dan pengembangan kelautan serta tata kelola dan kelembagaan.


Dari gambaran diatas tampak bahwa secara filosofis, historis, sosiologis dan yuridis diperlukan penataan hukum laut dalam suatu sistem hukum nasional dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan hukum internasional yang berlaku.


IV. Kelembagaan Aparat Penegak Hukum di Laut


Penegakan hukum di laut antara lain meliputi kegiatan kepabeanan, keimigrasian, pelayaran, karantina, perikanan, l ingkungan hidup, kepolisian dan pertahanan. Fakta yang terjadi hingga hari ini adalah bahwa penegakan hukum di laut tidak hanya ditangani satu instansi. Berbagai undang-undang memberikan mandat kepada beberapa instansi pemerintah yang diberi wewenang untuk melaksanakan penegakan hukum tersebut. Undang-undang memberikan kepada pemerintah dan aparat keamanan beberapa kewenangan tertentu seperti: kepabeanan, keimigrasian, keselamatan kapal dan navigasi. Aparat penegak hukum di laut terkotak-kotak dalam sistem yang tidak terintegrasi dengan baik karena bersifat sektoral. Sifat sektoral ini menimbulkan permasalahan hukum tersendiri, diantaranya tumpang tindih wewenang yang menimbulkan konflik antar penegak hukum.


Setidaknya terdapat 8 (delapan) lembaga pemerintah yang diberikan wewenang di wilayah laut oleh masing-masing perundang-undangan yakni Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Kepolisian RI (Polri), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan (PPNS KKP), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Perhubungan (PPNS Kemenhub), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea Cukai (PPNS Bea Cukai), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi (PPNS Imigrasi), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Lingkungan Hidup ( PPNS LH), dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kehutanan (PPNS Kemenhut).[15]Bahkan jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, ke delapan lembaga tersebut memiliki kewenangan penegakan hukum di laut.


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia memberikan kewenangan kepada TNI AL. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya penegak hukum di wilayah laut adalah TNI AL, Polri dan PPNS Kemenhut. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian memberikan kewenangan kepada Polri dan PPNS Imigrasi. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang berwenang adalah PPNS LH selain TNI AL dan Polri. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan kewenangan penegakan diberikan kepada PPNS KKP selain pada TNI AL dan Polri. PPNS Bea Cukai dan Polri mendapat mandat penegakan hukum di laut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeaanan.


Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menunjuk Polri dan PPNS KKP sebagai aparat penegak hukum di wilayah laut. Sedangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyebutkan TNI AL, Polri dan PPNS Kemenhub sebagai penegak hukum di laut. Selain itu TNI AL berdasarkan Undang –Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, memiliki tugas antara lain: menegakkan hukum dan menjaga keamanan di laut yurisdiksi nasional sesuai ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi (Pasal 9 huruf (b) Undang-Undang No. 34 Tahun 2004). Dalam menghadapi bentuk dan ancaman nonmiliter, penanggulangannya dikoordinasikan oleh pimpinan instansi sesuai bidangnya (Pasal 19 Undang-Undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara) .


Adapun permasalahan hukum yang terjadi antara lain penentuan batas wilayah kedaulatan, prosedur keimigrasian (pelintas batas secara illegal), penyelundupan barang / orang, pencurian sumber kekayaan alam hingga menjaga keamanan laut yang luas, penyelesaian permasalahan tersebut sulit dan tidak maksimal. Hal ini dimungkinkan karena kurangnya sinkronisasi serta harmonisasi perundang-undangan nasional.[16] Seharusnya penegakan hukum di laut di lakukan secara terpadu oleh berbagai instansi dan tunduk pada undang-undang tersendiri.


RUU tentang Kelautan mengatur mengenai penegakan kedaulatan, hukum, keamanan dan keselamatan di laut. Penegakan kedaulatan di wilayah laut, termasuk udara di atasnya, didasarkan pada asas satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk memelihara, menjaga, dan melindungi keutuhan wilayah laut serta kepentingan nasional. Adapun fungsi–fungsi penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut yang mencakup kegiatan pelayaran, kepabeanan, keselamatan kapal, kepelabuhanan, kenavigasian, keimigrasian, kesehatan, kekarantinaan, lingkungan laut, sumber daya kelautan dan perikanan, pencarian dan penyelamatan, serta tindak pidana di laut diselenggarakan oleh pemerintah yang dilaksanakan secara terkoordinasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali.


Berangkat dari fakta yuridis akan ketiadaan koordinasi dan keterpaduan antar para penegak hukum dilaut saat ini, muncul suatu gagasan untuk menyerahkan pelaksanaan penegakan hukum tersebut pada suatu lembaga sebagai satu kesatuan komando. Satu komando artinya tidak sekedar koordinatif tetapi ada satu perintah dan pemegang keputusan yang menaungi masing-masing aparat penegak hukum yang telah ada. Hal ini mengingat bahwa penegakan hukum di laut mempunyai ciri-ciri yang khusus dan ruang lingkup yang khusus pula sesuai dengan rejim-rejim hukum yang berlaku di wilayah laut yang bersangkutan. Oleh karena itu diperlukan adanya badan/lembaga yang khusus yang bersifat tunggal dan integratif yang diharapkan memiliki kewenangan penegakan hukum dan operasional penuh, terpadu dalam satu kesatuan. Keberadaan badan/lembaga ini tidak menghapus fungsi-fungsi utama yang diemban oleh instansi, lembaga yang ada sesuai peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepadanya, tetapi pelaksanaan penegakan hukum di laut dilakukan secara integratif, efektif, sinergis, dan tidak sendiri-sendiri.[17]


Adanya badan khusus diharapkan dapat menghindari pelaksanaan penegakan hukum di laut yang saat ini tidak efektif, menimbulkan persaingan kewenangan atau kepentingan antar instansi, yang kesemuanya merugikan pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri dan juga merugikan pengguna jasa kelautan. Kekhawatiran adanya badan penegakan hukum di laut akan menghapus fungsi-fungsi utama instansi/lembaga yang ada, kuranglah tepat mengingat lembaga ini tidak mengahpus fungsi-fungsi utama lembaga yang sudah ada apalagi mencabut peraturan perundang-undangan yang memberi wewenang kepada instansi atau lembaga yang bersangkutan.[18] Sesungguhnya ide semacam ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru karena Pasal 24 Undang-undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan menyatakan bahwa apabila diperlukan untuk pelaksanaan penegakan hukum dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Hingga saat ini badan koordinasi telah berjalan lebih dari 30 tahun, namun hasilnya belum memenuhi harapan. Perbedaan konsep kelembagaan dalam RUU tersebut dengan badan koordinasi ini adalah tidak ada penegasan akan adanya satu komando dan bersifat koordinatif semata sehingga tidak mampu mengatasi ego sektoral masing-masing lembaga.


Disamping ide pembentukan satu lembaga khusus yang bersifat integratif tersebut, muncul pula gagasan mengenai pembentukan badan semacam “coast guard”. Lembaga semacampun ini sebetulnya telah diwacanakan pembentukannya dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Undang-undang tersebut memberikan waktu tiga tahun sejak diundangkan harus sudah terbentuk sebuah badan yang disebut Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard), yakni lembaga yang melaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri Perhubungan. Namun menurut sebagian pakar, pembentukan badan yang hampir menyerupai coast guard di Amerika atau Jepang itu akan sulit diterapkan di Indonesia dalam jangka waktu dekat. Hal ini mengingat upaya penegakan hukum tersebut sudah ada pada masing-masing sektor yang diatur dengan undang-undang tersendiri sehingga untuk melebur aparat tersebut menjadi satu, tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang sangat panjang. [19]


Meski terdapat dua pemikiran terkait kelembagaan aparat penegak hukum di laut namun terdapat garis merah yakni bahwa kewenangan penegakan hukum di laut harus berada pada satu kebijakan dan komando yang sama sehingga jikapun aparat penegak pada masing-masing sektor, bidang dan tanggungjawab tetap ada, namun kesemuanya berjalan berdasarkan arahan kebijakan dan perintah serta komando yang sama. Sedangkan pada praktiknya, cukup ada satu institusi yang menjadi penegak di laut meskipun terdiri dari beragam komponen aparat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hanya akan ada satu kapal yang menjaga wilayah laut Indonesia, meskipun dimungkinkan dalam kapal tersebut terdiri dari beragam penegak hukum sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing sektor.


V. Penutup


Lahirnya Undang-Undang tentang Kelautan diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan yang ada di wilayah laut Indonesia. Mengingat dari sisi hukum, permasalahan-permasalahan muncul salah satunya sebagai akibat dari disharmonisasi antar peraturan perundangan terkait kelautan, maka RUU tentang Kelautan diharapkan mampu menjadi aturan yang dapat menyinergikan ketidaksinkronan serta tumpang tindihnya pengaturan di bidang kelautan. Hal ini dimungkinkan apabila dilakukan pengharmonisasian yang mendalam terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait.


Disharmonisasi juga terjadi pada kelembagaan aparat penegak hukum di laut yang dilahirkan oleh bermacam peraturan perundangan yang memberikan kewenangan pada masing-masing sektor sehingga dilemma penegakan hukum di laut dapat pula diselesaikan dengan menyinergikan seluruh aparat penegak hukum tersebut dalam satu kesatuan arah dan kebijakan, baik dengan membentuk suatu lembaga yang mewadahi semua penegak hukum yang sudah ada dalam satu komando maupun dengan melebur semua aparat penegak hukum tersebut dan membentuk lembaga yang sama sekali baru namun memiliki multi kewenangan dan terdiri dari multi bidang/sektor.


Daftar Pustaka


Buku dan Artikel:

Asshiddiqie, Jimly, Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum, Bahan Orasi Hukum pada acara “ Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007 – 2012”. Bandung, 19 Januari 2008.

---------------,Penegakan Hukum, diunduh dari http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php

Dahuri, Rokhmin, Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, 2003, diunduh dari http://greenreefsindonesia.blogspot.com/2008/06/dasar-hukum-laut-indonesia.html

Dilema Kontroversi Hukum RUU Kelautan, 15 Desember 2007, diunduh dari http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=artikle&id=178&halaman=172 Pada tanggal 18 Agustus 2010
 
Friedman, Lawrence M., American Law: An Introduction , New York: W.W. Norton and Company, 1984.

Kajian Naskah Akademik RUU tentang Kelautan, Dewan Kelautan Indonesia, 2005

Laporan Akhir Tim Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Kelautan, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, BPHN Depkumham RI, Jakarta 2008

Pokok-Pokok Pikiran RUU Kelautan, Tim Kerja Penyusunan NA dan RUU tentang Kelautan Setjen DPR RI, 2 Juni 2010.

Sulit Melebur Aparat Penegak Hukum di Laut, diunduh dari http://www.dekin.dkp.go.id/yopi/index.php?p=3&id=18092008135517, pada tanggal 18 Agustus 2010
 
Upaya Mengharmonisasikan Peraturan di Laut, diunduh dari http://www.dekin.dkp.go.id/yopi/index.php?p=3&id=03112008165001 pada tanggal 18 Agustus 2010

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indoensia
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeaanan
Undang –Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Undang-Undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara

 Catatan kaki
[1] Upaya Mengharmonisasikan Peraturan di Laut, diunduh dari http://www.dekin.dkp.go.id/yopi/index.php?p=3&id=03112008165001 pada tanggal 18 Agustus 2010

[2] Dalam Konteks yang sama dimensi atau elemen dari dari sistem hukum ini lazimnya merujuk pada pemikiran Lawrence M. Friendman yang mensarikan 3 unsur sistem hukum dalam a. structure (tatanan kelembagaan dan kinerja lembaga); b. substance (materi hukum); dan c. legal culture (budaya hukum). Lihat Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction , New York: W.W. Norton and Company, 1984.
[3] Jimly Asshiddiqie, Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum, Bahan Orasi Hukum pada acara “ Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007 – 2012”. Bandung, 19 Januari 2008.

[4]Jimmly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, diunduh dari http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php
[5] ibid
[6] Ibid
7] Ibid
[8] Pokok-Pokok Pikiran RUU Kelautan, Tim Kerja Penyusunan NA dan RUU tentang Kelautan Setjen DPR RI, 2 Juni 2010.
[9] Kajian Naskah Akademik RUU tentang Kelautan, Dewan Kelautan Indonesia, 2010, hal 46.
[10] Rokhmin Dahuri, Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, 2003, diunduh dari http://greenreefsindonesia.blogspot.com/2008/06/dasar-hukum-laut-indonesia.html
[11] Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
[12] Ibid
[13] Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu, 1. Perairan Pedalaman (Internal waters), 2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuki ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, 3. Laut Teritorial (Teritorial waters), 4. Zona tambahan ( Contingous waters), 5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone), 6. Landas Kontinen (Continental shelf), 7. Laut lepas (High seas), 8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).
[14] Laporan Akhir Tim Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Kelautan, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, BPHN Depkumham RI, Jakarta 2008, hal 69
[15] Ibid, hal 86
[16] Dilema Kontroversi Hukum RUU Kelautan, 15 Desember 2007, diunduh dari http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=artikle&id=178&halaman=172 Pada tanggal 18 Agustus 2010
[17] Kajian Naskah Akademik RUU tentang Kelautan, Op. Cit, hal 41-42
[18] Ibid.
[19] Sulit Melebur Aparat Penegak Hukum di Laut, diunduh dari http://www.dekin.dkp.go.id/yopi/index.php?p=3&id=18092008135517, pada tanggal 18 Agustus 2010


4 komentar:

  1. Sangat menarik tulisannya Mba Ophi.. Salam jumpa kembali di dumay...hehehe

    BalasHapus
  2. Wah mba coba kenal jaman ku skripsi dulu bisa jd bahan skripsiku nih. Hehehe

    BalasHapus
  3. PlaynGo Casino (PlaynGo Review) | Dr.MD
    PlaynGo 전라북도 출장샵 Casino 과천 출장안마 Review 전라북도 출장마사지 Casino 평택 출장마사지 review. Play n Go Casino is an online gambling platform that has 안성 출장샵 been around since 1996.

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan komentar anda di sini. Untuk penggunaan referensi harap mencantumkan sumber.